"Mereka datang bukan untuk menyelamatkan Irak, mereka ke sini untuk menghancurkan," katanya. "Kami sudah tahu agenda mereka adalah minyak."
Perempuan Irak ini tinggal di Ibu Kota Baghdad dan mengalami suasana mencekam sejak perang meletup di negara 1001 Malam itu.
Wanita itu meminta namanya cukup ditulis NM dengan alasan keamanan, masih 24 tahun dan sedang kuliah saat pasukan Amerika Serikat dan Inggris melancarkan invasi pada Maret 2003.
Dua hari setelah dia menyerahkan tesis untuk program magisternya, "Operasi Pembebasan Irak" itu dimulai dan ribuan tentara memasuki negeri Dua Sungai buat menumbangkan rezim Saddam Husain.
Ketika sebagian besar warga sipil Baghdad lari, keluarga NM memutuskan tetap bertahan. Mereka berharap serangan udara di Baghdad hanya akan berlangsung sebenar seperti saat Perang Teluk awal 1990-an. "Kami tadinya berpikir yang akan terjadi hanya saling mengebom. Kami tidak pernah mengira serangan berlangsung masif dan Saddam akan dilengserkan," kata NM kepada the Independent.
Namun ketika ayahnya menonton berita di televisi dan mendengar pernyataan dari menteri kebudayaan dan komunikasi Irak, menurut NM, sang ayah terguncang dan gemetaran. "Dia begitu takut, itu kelihatan dari parasnya. Kami tahu pasukan Irak akan kalah," ujarnya.
Beberapa hari kemudian, listrik padam. Keluarga NM berusaha mencari tahu perkembangan terjadi. Tidak lama kemudian, muncul peringatan pasukan koalisi dipimpin Amerika akan segera memasuki Baghdad dari arah tenggara menuju Az-Zafraniyah, kawasan tempat tinggal keluarga NM.
NM masih ingat dirinya bisa menyaksikan jet-jet tempur pasukan koalisi terbang di atas rumahnya. Gempuran dari udara berlangsung siang malam. "Kalau sirene berbunyi, kami sekeluarga berkumpul di satu ruangan, menunggu kematian," tuturnya. "Semua keluarga Irak melakoni hal serupa. Bila harus mati, kami ingin meninggal bareng."
Setelah mendengar selentingan pasukan koalisi memperkosa dan membunuhi penduduk sipil, orang tua NM bersama enam putri dan tiga putra mereka mengungsi ke Provinsi Diyala. Mereka tinggal di tenda, senasib dengan lusinan keluarga lainnya, tanpa listrik dan air hingga muncul kabar pada 9 April 2003, Baghdad telah jatuh.
Lalu ada pengumuman bagi seluruh pengungsi untuk kembali ke rumah masing-masing. Keluarga NM akhirnya pulang ke Baghdad. "Saat kami memasuki Baghdad, kami melihat pasukan koalisi telah membangun pos-pos pemeriksaan," kata NM. "Mereka berlaku baik, mereka hanya berdiri seraya menyapa warga dan mengarahkan mereka. Tapi kami sadar negara kami sudah dijajah sekarang."
Dia mengakui betapa keluarganya bergembira setelah Saddam tumbang dan berharap Irak bakal lebih baik. "Itu tadinya seperti mimpi, kami tidak pernah mngira hal ini akan terwujud," ujar NM. "Kami telah mencapai titik di mana semua orang berpikir dia tidak terkalahkan."
Namun dalam hitungan hari, keyakinan NM negerinya bakal menjadi lebih baik mulai redup ketika penjarahan dan kekerasan meletup di seantero Baghdad. Hubungan warga sipil Irak dan pasukan koalisi juga mulai keruh. "Kami melihat pasukan koalisi berpatroli di jalan-jalan seperti koboi," tuturnya. "Jika satu peluru ditembakkan ke arah mereka, mereka membalas dengan menembak ke siapa saja, rakyat Irak tewas saban hari."
Sampai akhirnya NM sampai pada satu kesimpulan. "Mereka datang bukan untuk menyelamatkan Irak, mereka ke sini untuk menghancurkan," katanya. "Kami sudah tahu agenda mereka adalah minyak."
Kepercayaannya kepada pasukan penjajah dihancurkan oleh penunjukkan pimpinan sementara Irak, berisi orang-orang sudah lama hidup di Inggris dan Amerika Serikat. Apalagi kemudian muncul kebijakan melarang semua anggota Partai Baath menduduki jabatan pemerintah dan pendidikan.
Padahal, menurut NM, semua orang anggota Baath, termasuk dirinya. Dengan melarang anggota Baath terlibat dalam politik dan pendidikan sama saja melarang semua orang. "Saya mengenal beberapa guru dan orang baik kehilangan pekerjaan mereka."
Kazim Syarif al-Jaburi, termasuk orang yang pada 2003 meruntuhkan patung Saddam Husain tegak di Alun-alun Firdaus, jantung Kota Baghdad, juga menyesalkan situasi Irak makin buruk setelah rezim Saddam jatuh. "Saddam memang telah membunuh banyak orang tapi pemerintahan sekarang jauh lebih buruk," katanya. "Saddam telah pergi tapi tempatnya digantikan oleh seribu Saddam."
Kazim pernah bekerja memperbaiki motor-motor koleksi Saddam.
Ketika angka pengangguran meroket, kejahatan menyebar luas dan situasi kian menakutkan setelah konflik sektarian meletup. Profesor favorit NM, orang Kristen Armenia, tewas pada Juni 2003. Baghdad mulai berjalan tanpa hukum dan saat itulah gambar bendera hitam mulai bermunculan di tembok-tembok rumah dan bangunan lainnya.
Tidak lama setelah rezim Saddam jatuh, Abu Musab az-Zarqawi membentuk AQI (Al-Qaidah di Irak) untuk memerangi pasukan koalisi.
Di Zafraniyah, permukiman didominasi kaum Syiah dan merupakan tempat tinggal NM, sejatinya banyak berdiri pos-pos militer. Namun tidak cukup buat menghentikan pengeboman terhadap pasar, serangan teror, dan eksekusi.
Pada 2007, NM dan ibunya keluar rumah untuk menyaksikan dua mayat digantung di tiang listrik. "Ibu saya katakan 'jangan lihat ke atas'," kenang NM. "Kami masih belum tahu siapa mereka."
Laporan Sir John Chilcot, mengecam peran Inggris dalam Perang Irak, menemukan sedikitnya 150 ribu orang terbunuh dalam konflik berkepanjangan itu dan lebih dari sejuta lainnya mengungsi. Namun proyek the Iraq Body Count menyebutkan korban tewas sejak 2003 sebanyak 251 ribu orang, termasuk 179 ribu warga sipil. Hampir setengah dari total korban terbunuh di Baghdad.
Hasil investigasi selama tujuh tahun oleh Komisi Chilcot itu menyimpulkan sebelum invasi dilaksanakan, Perdana Menteri Inggris Tony Blair sudah diperingatkan soal risiko perang sektarian, pemberontakan, dan kemunculan kelompok-kelompok teror, termasuk AQI. Tapi rencana penyerbuan itu tetap dijalankan dengan perencanaan dan sumber-sumber daya tidak memadai buat memelihara stabilitas di Irak sehabis Saddam tumbang.
Komisi Chilcot menyatakan Inggris telah gagal mengantisipasi situasi keamanan terus memburuk di Baghdad dan tenggara Irak. Inggris juga disebut tidak memiliki strategi untuk melindungi warga sipil Irak.
(The-Independent/The-Telegraph/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Kazim Syarif al-Jaburi, memakai palu besar tengah meruntuhkan patung Saddam Husain di Alun-alun Firdaus, jantung Ibu Kota Baghdad, Irak, pada 9 April 2003. (Foto: Jerome Delay/Politiken)
Perempuan Irak ini tinggal di Ibu Kota Baghdad dan mengalami suasana mencekam sejak perang meletup di negara 1001 Malam itu.
Wanita itu meminta namanya cukup ditulis NM dengan alasan keamanan, masih 24 tahun dan sedang kuliah saat pasukan Amerika Serikat dan Inggris melancarkan invasi pada Maret 2003.
Dua hari setelah dia menyerahkan tesis untuk program magisternya, "Operasi Pembebasan Irak" itu dimulai dan ribuan tentara memasuki negeri Dua Sungai buat menumbangkan rezim Saddam Husain.
Ketika sebagian besar warga sipil Baghdad lari, keluarga NM memutuskan tetap bertahan. Mereka berharap serangan udara di Baghdad hanya akan berlangsung sebenar seperti saat Perang Teluk awal 1990-an. "Kami tadinya berpikir yang akan terjadi hanya saling mengebom. Kami tidak pernah mengira serangan berlangsung masif dan Saddam akan dilengserkan," kata NM kepada the Independent.
Namun ketika ayahnya menonton berita di televisi dan mendengar pernyataan dari menteri kebudayaan dan komunikasi Irak, menurut NM, sang ayah terguncang dan gemetaran. "Dia begitu takut, itu kelihatan dari parasnya. Kami tahu pasukan Irak akan kalah," ujarnya.
Beberapa hari kemudian, listrik padam. Keluarga NM berusaha mencari tahu perkembangan terjadi. Tidak lama kemudian, muncul peringatan pasukan koalisi dipimpin Amerika akan segera memasuki Baghdad dari arah tenggara menuju Az-Zafraniyah, kawasan tempat tinggal keluarga NM.
NM masih ingat dirinya bisa menyaksikan jet-jet tempur pasukan koalisi terbang di atas rumahnya. Gempuran dari udara berlangsung siang malam. "Kalau sirene berbunyi, kami sekeluarga berkumpul di satu ruangan, menunggu kematian," tuturnya. "Semua keluarga Irak melakoni hal serupa. Bila harus mati, kami ingin meninggal bareng."
Setelah mendengar selentingan pasukan koalisi memperkosa dan membunuhi penduduk sipil, orang tua NM bersama enam putri dan tiga putra mereka mengungsi ke Provinsi Diyala. Mereka tinggal di tenda, senasib dengan lusinan keluarga lainnya, tanpa listrik dan air hingga muncul kabar pada 9 April 2003, Baghdad telah jatuh.
Lalu ada pengumuman bagi seluruh pengungsi untuk kembali ke rumah masing-masing. Keluarga NM akhirnya pulang ke Baghdad. "Saat kami memasuki Baghdad, kami melihat pasukan koalisi telah membangun pos-pos pemeriksaan," kata NM. "Mereka berlaku baik, mereka hanya berdiri seraya menyapa warga dan mengarahkan mereka. Tapi kami sadar negara kami sudah dijajah sekarang."
Dia mengakui betapa keluarganya bergembira setelah Saddam tumbang dan berharap Irak bakal lebih baik. "Itu tadinya seperti mimpi, kami tidak pernah mngira hal ini akan terwujud," ujar NM. "Kami telah mencapai titik di mana semua orang berpikir dia tidak terkalahkan."
Namun dalam hitungan hari, keyakinan NM negerinya bakal menjadi lebih baik mulai redup ketika penjarahan dan kekerasan meletup di seantero Baghdad. Hubungan warga sipil Irak dan pasukan koalisi juga mulai keruh. "Kami melihat pasukan koalisi berpatroli di jalan-jalan seperti koboi," tuturnya. "Jika satu peluru ditembakkan ke arah mereka, mereka membalas dengan menembak ke siapa saja, rakyat Irak tewas saban hari."
Sampai akhirnya NM sampai pada satu kesimpulan. "Mereka datang bukan untuk menyelamatkan Irak, mereka ke sini untuk menghancurkan," katanya. "Kami sudah tahu agenda mereka adalah minyak."
Kepercayaannya kepada pasukan penjajah dihancurkan oleh penunjukkan pimpinan sementara Irak, berisi orang-orang sudah lama hidup di Inggris dan Amerika Serikat. Apalagi kemudian muncul kebijakan melarang semua anggota Partai Baath menduduki jabatan pemerintah dan pendidikan.
Padahal, menurut NM, semua orang anggota Baath, termasuk dirinya. Dengan melarang anggota Baath terlibat dalam politik dan pendidikan sama saja melarang semua orang. "Saya mengenal beberapa guru dan orang baik kehilangan pekerjaan mereka."
Kazim Syarif al-Jaburi, termasuk orang yang pada 2003 meruntuhkan patung Saddam Husain tegak di Alun-alun Firdaus, jantung Kota Baghdad, juga menyesalkan situasi Irak makin buruk setelah rezim Saddam jatuh. "Saddam memang telah membunuh banyak orang tapi pemerintahan sekarang jauh lebih buruk," katanya. "Saddam telah pergi tapi tempatnya digantikan oleh seribu Saddam."
Kazim pernah bekerja memperbaiki motor-motor koleksi Saddam.
Ketika angka pengangguran meroket, kejahatan menyebar luas dan situasi kian menakutkan setelah konflik sektarian meletup. Profesor favorit NM, orang Kristen Armenia, tewas pada Juni 2003. Baghdad mulai berjalan tanpa hukum dan saat itulah gambar bendera hitam mulai bermunculan di tembok-tembok rumah dan bangunan lainnya.
Tidak lama setelah rezim Saddam jatuh, Abu Musab az-Zarqawi membentuk AQI (Al-Qaidah di Irak) untuk memerangi pasukan koalisi.
Di Zafraniyah, permukiman didominasi kaum Syiah dan merupakan tempat tinggal NM, sejatinya banyak berdiri pos-pos militer. Namun tidak cukup buat menghentikan pengeboman terhadap pasar, serangan teror, dan eksekusi.
Pada 2007, NM dan ibunya keluar rumah untuk menyaksikan dua mayat digantung di tiang listrik. "Ibu saya katakan 'jangan lihat ke atas'," kenang NM. "Kami masih belum tahu siapa mereka."
Laporan Sir John Chilcot, mengecam peran Inggris dalam Perang Irak, menemukan sedikitnya 150 ribu orang terbunuh dalam konflik berkepanjangan itu dan lebih dari sejuta lainnya mengungsi. Namun proyek the Iraq Body Count menyebutkan korban tewas sejak 2003 sebanyak 251 ribu orang, termasuk 179 ribu warga sipil. Hampir setengah dari total korban terbunuh di Baghdad.
Hasil investigasi selama tujuh tahun oleh Komisi Chilcot itu menyimpulkan sebelum invasi dilaksanakan, Perdana Menteri Inggris Tony Blair sudah diperingatkan soal risiko perang sektarian, pemberontakan, dan kemunculan kelompok-kelompok teror, termasuk AQI. Tapi rencana penyerbuan itu tetap dijalankan dengan perencanaan dan sumber-sumber daya tidak memadai buat memelihara stabilitas di Irak sehabis Saddam tumbang.
Komisi Chilcot menyatakan Inggris telah gagal mengantisipasi situasi keamanan terus memburuk di Baghdad dan tenggara Irak. Inggris juga disebut tidak memiliki strategi untuk melindungi warga sipil Irak.
(The-Independent/The-Telegraph/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email