Turis arab di Puncak. (Foto: merdeka.com/muhammad lutfhi rahman)
Berlibur ke kawasan Puncak Bogor, Jawa Barat memang menyenangkan untuk melepas penat dari segudang aktivitas. Apalagi bila melakukannya bersama keluarga atau rekan sejawat.
Cuaca sejuk dan pemandangan alami tentu jadi pemikat masyarakat untuk sekedar singgah maupun menginap. Hal itu rupanya juga dirasakan warga asing khususnya masyarakat Timur Tengah.
Kehadiran mereka tentu membawa berkah tersendiri bagi warga lokal. Bagaimana tidak, aroma fulus warga Timur Tengah itu bagaikan oase di tengah gurun. Warga Puncak Bogor biasa memanggil mereka 'orang Arab'. Entah mau datang dari Arab Saudi, Qatar, Abu Dhabi, Afghanistan, Pakistan, dipanggilnya tetap orang Arab.
Bagi orang Arab, selain berlibur di kawasan sejuk itu, nyatanya mereka juga memiliki usaha. Tak tanggung-tanggung, usaha penyewaan vila atau kamar hotel di Puncak Bogor juga mulai dikuasainya.
Seorang warga Ciburial, Zaenudin menuturkan, bagi orang Arab yang memiliki uang berlimpah biasanya berasal dari negara Arab Saudi. Menurutnya saat ini beberapa bangunan dan tanah di sekitar lingkungannya dimiliki bangsa Arab tersebut.
"Di sini ada yang punya agen travel, tempat makan, vila dan hotel. Jadi kalau ada teman-temannya (orang Arab) yang mau datang tinggal hubungi dia. Tapi vila atau hotel bukan atas nama dia," kata Zaenudin, Kamis lalu.
Para Arab Kaya ini menikmati hidup di Puncak. Mereka biasanya kerap berkumpul di restoran bernuansa Timur Tengah yang betebaran di sana.
Tidak hanya bangsa Arab kaya yang tinggal di kawasan Puncak Bogor tepatnya di daerah Ciburial dan Warung Kaleng. Orang Arab miskin juga banyak yang menetap.
Arab miskin itu kebanyakan berasal dari negara Timur tengah yang dirundung konflik, seperti Pakistan, Afghanistan dan Irak. Meraka diduga imigran gelap yang menunggu untuk diberangkatkan ke Australia untuk mendapat suaka politik.
Zaenudin menceritakan, para Arab miskin ini mudah diidentifikasi. Mereka biasanya hidup bergerombol dan penuh kesederhanaan.
"Mereka nggak pernah nyewa ojek atau mobil. Bahkan pernah dari sini (Ciburial) ke Pasar Cisarua jalan kaki bolak-balik. Kan lumayan jauh itu," ujarnya.
Menurut dia, kehidupan mereka sehari-hari hanya bergantung pada dana yang didapatkan dari PBB. "Kalau dulu sih mereka dapat Rp 1 juta, mungkin kalau sekarang-sekarang Rp 1,5 juta kayanya," terangnya.
(Merdeka/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email