Jalan aspal di depan bangunan mungil berdinding kayu cokelat di Kemang Utara itu masih basah oleh rintik hujan saat ABI Press tiba di sana. Sekilas, mungkin orang tak akan menyangka bahwa tempat yang ternyata butik ini adalah milik salah seorang desainer kenamaan yang prestasinya sudah diakui, baik di dalam maupun di luar negeri: Dian Pelangi. Berkat karya desainnya yang dikenal berani, kreatif, dan modis, animo muslimah untuk tampil percaya diri dengan berjilbab diakui banyak pihak semakin tinggi. Selain itu, stigma lama bahwa wanita berjilbab identik dengan wanita kuno, tidak gaul, dan ketinggalan zaman, perlahan makin jauh panggang dari api.
Tengok saja Yona Intan Zariska, salah seorang ‘hijaber’ pengagum Dian Pelangi yang berprofesi sebagai Shift Marketing Officer Hijabspeak. Kepada ABI Press dia mengakui bahwa Dian Pelangi adalah seorang inspirator, penggerak utama dan kiblat tren busana muslimah saat ini. “Dulu perempuan yang berjilbab dianggap gak fashionable dan dicap kuno. Dian Pelangi bisa bikin jilbab gak kayak gitu. Jadi, pede kita ningkat. Tetep cantik dan keren meski pake jilbab,” aku Yona.
Di komunitas Hijabspeak sendiri, Yona menyebut banyak anggotanya yang meski berjilbab, tetap bisa berkreasi dan berprestasi tanpa halangan. Malah menurutnya hampir semua jenis profesi ada di komunitas itu. Mulai dari atlet karate, model, jurnalis, dokter, hampir semuanya ada. Dan mereka semua berjilbab. Ini membuktikan bahwa berjilbab bukanlah halangan untuk berprestasi. “Kami sering adain testimoni temen-temen hijaber yang meski berjilbab, tak menghalangi mereka untuk berprestasi,” terang Yona.
Uniknya, saat ditanya apakah jilbab yang dipakainya sudah sesuai tuntunan syariat atau belum, Yona mengakui bahwa ia sebenarnya merasa belum memenuhi syarat syar’i dalam berhijab. “Memang belum sejauh itu sih. Yang penting enak dipakai saja. Saya juga masih pakai celana panjang, habis pekerjaan saya menuntut saya mesti mobile,” kata Yona. Hal senada disampaikan Ida Nur Aida, staf administrasi sebuah universitas di Jakarta Selatan. “Saya sih pokoknya pake jilbab yang nyaman, mudah, dan enak saja,” katanya.
Yona dan Ida adalah sedikit dari banyak contoh muslimah yang berada dalam dilema ini. Satu sisi sebagai penganut Islam mereka menyadari bahwa memakai jilbab secara syar’i adalah kewajiban, di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan tuntutan pekerjaan dan lingkungan.
Apa itu Jilbab Syar’i?
Dr. Syaifudin Shidiq, MA, dosen Ilmu Fiqh UIN Syarif Hidayatullah saat kami konfirmasi mengenai fenomena maraknya muslimah berjilbab ini menyebutkan bahwa pada dasarnya, perintah menutupi aurat dengan jilbab adalah syariat yang tak boleh dilanggar. Mengutip pendapat Muhammad Nasir Albani, Syaifudin menyebutkan bahwa kriteria jilbab sesuai syar’i adalah yang menutup seluruh aurat kecuali wajah dan telapak tangan, selain tidak tipis, tidak ketat, tidak menyerupai pakaian pria, dan dipakai bukan untuk mencari popularitas.
Saat kami tanyakan bagaimana halnya jika muslimah berjilbab tapi belum memenuhi kriteria di atas, menurut Syaifudin, sebagai sebuah syari’at, pemakaian jilbab adalah kewajiban yang tak boleh dilanggar. “Menurut saya, niat mereka untuk berjilbab sudah benar. Tapi kalau sampai mengakibatkan maksiat dan hal-hal negatif akibat pakaian yang belum sempurna (sesuai syar’i), ia akan terkena dosa. Karena sesuatu yang menyebabkan maksiat juga adalah sebuah dosa tersendiri,” terangnya.
Lain Syaifudin, lain pula pendapat Abdul Rouf, Phd, MA. Menurut dosen UIN Syarif Hidayatullah yang juga mengajar Ulumul Qur’an dan Fiqih Muammalah di STAI Madinatul Ilmi, Depok ini, perintah berjilbab yang disebutkan dalam Al-Quran, surah Al-Ahzab 53, 59 dan surah An-Nur ini idealnya memang tidak sampai menampakkan lekuk tubuh dan tidak tipis. Tetapi menurutnya, kita mesti jeli memahami illat (alasan) hukum perempuan wajib berjilbab.
“Illat hukum di situ agar perempuan tidak diganggu oleh laki-laki karena penampilannya yang seronok dan membangkitkan birahi. Artinya, sebatas dia tidak menunjukkan pakaian yang seronok dan tidak etis, menurut saya model bagaimana pun masih bisa ditolelir,” ujar Abdul Rouf. “Tak harus seideal itu. Kan ada kaidah fikih, apa yang tak bisa dikerjakan dengan penuh (sempurna), sedikit pun tak apa sesuai kemampuan kita.”
Sementara itu, menurut anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, yang juga kandidat Doktor Bidang Kajian Islam & Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah, Abdullah Abdul Kadir, MA, yang wajib ditutupi itu kulit dan warna kulit. Juga tak boleh memakai pakaian ketat di bagian dada dan perut karena bisa menimbulkan fitnah. Tetapi bentuk tubuh itu tak ada kewajiban ditutupi. Yang penting tidak sampai menimbulkan fitnah. Selain itu, dilarang juga memakai baju yang sensasional (libas syuhro), yaitu yang menimbulkan perhatian berlebihan. Bisa dari warna yang menyolok atau modelnya yang berlebihan (tidak wajar). “Kalau sudah kepala tertutup, rambut, telinga, leher tak terlihat. Yang terlihat hanya wajah, sebatas yang wajib dibasuh dalam wudhu, maka itu sudah boleh. Terus jilbab menutup leher dan dada itu sudah cukup,” pungkas Abdullah.
Komersialisasi Jilbab
Mengenai fenomena jilbab gaul dan modis yang makin hari makin laris menjadi komoditi komersial, baik Syafiudin, Rouf, maupun Abdullah sepakat bahwa tidak ada masalah mengambil untung dan mengkomersialisasikan jilbab. Islam sendiri menurut mereka pada dasarnya tidak melarang usaha jual-beli dan mendapatkan keuntungan selama tidak merugikan orang lain. Di sisi lain tren hijaber pun bisa juga menjadi ajang syiar kepada umat.
Satu pesan terakhir Syafiudin mengenai tren komersialisasi jilbab ini adalah agar umat jangan sampai abai dengan hal yang utama, yaitu semangat menjalankan perintah agama. Jangan sampai nantinya hal yang prinsip ini malah diabaikan, dan umat malah lebih terpengaruh oleh tren yang sifatnya artifisial dan teknis belaka.
(ABI-Press/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email