Oleh: Imam Ali Khamenei
Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan “kebebasan”, dengan beragam pendapat. Bagi saya, hal tersebut merupakan sebuah fenomena menggembirakan, dan saya berharap semoga semakin berkembang.
Kebebasan (azadi) adalah salah satu tema yang banyak terdapat — dan ditekankan — dalam Al-Qur’an, hadits Rasulullah Muhammad Saww., dan ucapan para Imam yang suci. Tentu saja, dalam hubungan ini, yang saya maksud dengan kebebasan bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Bahkan, saya kira, tidak seorang pun di dunia ini yang mendukung kebebasan tanpa batas. Kebebasan tersebut juga bukanlah kebebasan dalam arti maknawi, karena siapa pun yang memahami seluk-beluk kemaknawian pasti sepakat dengan kebebasan maknawi.
Oleh karenanya, yang saya maksud dengan kebebasan di sini adalah kebebasan sosial (azadi ijtimai), yang mencakup kebebasan berpikir, berbicara, memilih, dan sebagainya. Kebebasan dalam pengertian ini sangat diagungkan Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam surat Al A’raaf: 157 dinyatakan: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.”
Ayat ini menegaskan bahwa salah satu keistimewaan Rasulullah Muhammad Saww. adalah mengangkat atau melepaskan beban-beban dan belenggu-belenggu (al-isr wa al-aghlal) yang memasung atau melilit manusia, yang berupa ikatan-ikatan yang dipaksakan, baik berupa segala bentuk kepercayaan bathil dan khurafat maupun ikatan-ikatan sosial yang menyimpang (yang dipaksakan oleh pihak otoriter). Sungguh menakjubkan! Rasulullah Muhammad Saww. datang untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu yang memasung mereka.
***
TERKAIT dengan prinsip kebebasan tersebut, George Geordaq, penulis buku terkenal: Shautul-‘adalah, menukil dua pernyataan dari dua tokoh berbeda: Amirul Mukminin ‘Ali Ibn Abi Thalib alaihissalam dan Umar Ibn Khattab ra. Suatu hari, tulis Geordaq, beberapa gubernur kepercayaan Umar datang menghadap. Umar berang kepada mereka karena menerima sejumlah laporan perihal perbuatan-perbuatan mereka yang tidak terpuji. Umar berkata kepada mereka, “Apakah kalian memperbudak manusia, padahal Allah menciptakan mereka dalam keadaan merdeka?”
Sementara itu — masih menurut Geordaq — sebagaimana tertulis dalam kitab Nahjul-balaghah, Imam ‘Ali berkata,”Jangan sekali-kali engkau menjadi budak orang lain karena Allah telah menciptakanmu merdeka.”
Geordaq membuat perbandingan atas dua pernyataan tokoh-tokoh besar tersebut. Ia mengatakan, pernyataan Imam ‘Ali lebih mendalam daripada pernyataan Umar. Pernyataan Umar, menurutnya, ditujukan kepada orang-orang yang tidak memberikan kebebasan kepada orang lain, dan Umar menyuruh mereka agar memberikan kebebasan. Di sini, belum ada jaminan bahwa kebebasan akan berlaku.
Di sisi lain, pernyataan Imam ‘Ali — tegas Geordaq — justru memberikan jaminan berlakunya kebebasan, sebab Imam menyuruh setiap orang untuk menolak segala tindak perbudakan yang dilakukan oleh orang lain atas dirinya.
Kendati demikian, kedua tokoh tersebut menegaskan bahwa kebebasan adalah fitrah manusia. Maka, bagi kita, Islam sangat menghargai “kebebasan”; sehingga kita tidak perlu merujuk kepada Barat dalam menerapkan asas (kebebasan) tersebut.
Sayangnya, ada pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah menjauhkan Islam dari “kebebasan” yang dimaksud; dan Islam dipersepsikan menolak prinsip kebebasan. Mereka ini merupakan pihak yang selalu menonjol-nonjolkan Barat dalam masalah kebebasan (antara lain dengan ke-gandrung-an mengutip pernyataan-pernyataan para pemikir Barat tentang kebebasan), dan juga pihak yang sering ketakutan atau alergi terhadap istilah “kebebasan” (seakan-akan agama terancam oleh asas atau prinsip kebebasan).
Agama sama sekali tidak akan terancam oleh asas kebebasan. Bahkan, kebebasan dalam arti (pengertian) yang benar merupakan hadiah terbesar yang diberikan agama kepada umat manusia. Karena kebebasanlah, pemikiran dapat berkembang; dan segala potensi (isti’adat) dapat diwujudkan serta dikembangkan.
***
SEBALIKNYA, pengekangan akan menghambat perkembangan manusia, dan bahwa selama ada pengekangan, manusia tidak akan maju, padahal Islam sangat menghendaki kemajuan manusia.
Manusia laksana tambang-tambang yang perlu digali sehingga dapat menciptakan kemakmuran. Apakah ini dapat diwujudkan tanpa kebebasan? Apakah hal itu bisa terwujud dengan “larangan” dan “perintah”? Sama sekali tidak!!!
Kebebasan dalam Islam jauh lebih tinggi dari kebebasan yang ditawarkan Barat. Dengan konsep liberalismenya, Barat sama sekali tidak mengerti apa itu kebebasan. Paling banter, mereka hanya mengerti bahwa kebebasan adalah hak asasi manusia (HAM). Namun, mengapa manusia harus bebas, apa filosofi kebebasan, dan seterusnya (yang terkait dengan berbagai problematika kebebasan), Barat tidak memahaminya.
Memang benar ada beragam tafsir tentang kebebasan, dan telah terjadi penyimpangan pengertian kebebasan dari yang dahulu diperjuangkan oleh para pejuang kebebasan, antara lain pada masa renaissance hingga Revolusi Perancis. Tapi, yang mendominasi dunia saat ini adalah kebebasan yang menyimpang itu, terutama kebebasan ala Amerika Serikat. Sebuah kebebasan yang kering dari nilai-nilai.
Dalam Islam, kebebasan bukan sekadar hak asasi manusia, tapi lebih dari itu, yakni merupakan “fitrah” manusia, sebagaimana yang dapat disimak dari pernyataan Imam ‘Ali yang saya kutib dari tulisan George Geordaq tadi. Islam mengakui bahwa kebebasan adalah hak asasi manusia, tapi hak fitrawi jauh lebih tinggi dari hak asasi yang mereka maksud. Oleh karena itu, keliru besar bila kita menganggap bahwa kebebasan merupakan produk dan hadiah dari Barat buat kita. Kebebasan adalah ajaran Islam yang orisinal.
***
BERIKUT ini saya kemukakan beberapa perbedaan mendasar antara kebebasan dalam Islam dengan kebebasan ala Barat.
Pertama, dalam ideologi liberalisme (Barat), kebebasan adalah minus Tuhan dan/atau agama. Karenanya, ketika berbicara tentang kebebasan, Barat tidak pernah mengenal asas Ketuhanan, apalagi melibatkan nilai-nilai Ketuhanan di dalamnya.
Sebaliknya, Islam menganggap kebebasan merupakan anugrah Allah Swt. kepada manusia, dan bahwa kebebasan tidak bisa dilepaskan dari landasan Ketuhanan. Dengan kata lain, kebebasan merupakan kewajiban agama (taklif dîni) bagi setiap orang. Karenanya, upaya apa pun yang menghambat kebebasan adalah gerakan perlawanan kepada Allah Swt.
Nihilnya asas Ketuhanan dalam liberalisme mengakibatkan perjuangan mereka tentang kebebasan menjadi tidak bermakna, karena tidak ada tujuan jelas (hakiki) di balik perjuangan itu.
Tentu saja ini sangat berbeda dengan Islam. Karena Islam menganggap kebebasan merupakan kewajiban agama, maka perjuangan mewujudkan kebebasan tersebut adalah perjuangan mengimplementasikan perintah Allah Swt.
Perbedaan lain (kedua) adalah bahwa dalam perspektif liberalisme (Barat), nilai-nilai akhlak bersifat nisbi atau relatif. Maka, menurut mereka, kebebasan tidak ada batasnya. Bila seseorang menginjak-nginjak nilai-nilai akhlak yang dihormati oleh komunitas atau masyarakat kita, misalnya, maka — berdasarkan pandangan liberalisme — kita tidak berhak marah, karena hal itu merupakan pengamalan hak asasi mereka, terlebih lagi mereka tidak terikat dengan nilai-nilai (akhlak) yang kita anut, dan bahwa karena mereka tidak memercayai nilai-nilai ini. Dengan demikian, kebebasan dalam pandangan liberalisme tidak ada batasnya.
Sementara itu, Islam sangat menghormati nilai-nilai akhlak. Dalam Islam terdapat nilai-nilai yang tidak boleh diganggu-gugat, dan itu bersifat permanen. Manusia harus bergerak dan merujuk pada nilai-nilai ini. Dengan begitu, dalam Islam, kebebasan harus berjalan dalam bingkai yang telah ditentukan. Mengenai apa bingkai (frame) tersebut dan bagaimana cara menetapkannya, itu adalah persoalan lain.
Boleh jadi, oleh pihak-pihak tertentu, akan muncul kekeliruan dalam menetapkan bingkai ini. Namun, itu tidak berarti kita boleh melanggar norma atau nilai-nilai akhlak; sebab jika dengan alasan menegakkan kebebasan kita boleh melakukan pelanggaran, maka berbagai ketimpangan akan menghadang. Tidak heran, misalnya, Al-Qur’an menempatkan pembunuhan atas seseorang adalah laksana pembantaian terhadap seluruh umat manusia, karena si pelaku telah melanggar kehormatan dan martabat manusia.
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Al-Qur’an Surat Al-Maaidah: 32).
Coba direnungkan, membunuh satu nyawa, sama dengan melakukan pembantaian terhadap seluruh manusia! Kendati demikian, Islam memberikan pengecualian, bahwa pelaku pembunuhan dan perusakan di muka bumi boleh dihukum mati. Atas dasar ini, dapat disimpulkan, betapa Islam sangat menghargai norma atau nilai-nilai akhlak.
Perbedaan ketiga, bahwa memang sesungguhnya Barat juga memberlakukan pembatasan-pembatasan atas kebebasan, tapi hal ini selalu dikaitkan dengan berbagai kepentingan material atau duniawi. Dengan kata lain, selama kebebasan tidak mengusik kepentingan mereka, silahkan saja. Namun, bila dianggap mengancam kepentingan mereka, maka harus segera dienyahkan dengan cara apa pun. Sebagai contoh, mendapatkan pengetahuan adalah hak setiap orang (Barat juga mengakui hal ini). Tapi, jika pengetahuan tersebut dipandang membahayakan kepentingan Barat, maka ia tidak boleh ditransfer ke pihak lain. Tidak heran mereka melarang universitas-universitas mereka mengajarkan teknologi tinggi kepada para mahasiswa yang berasal dari (yang disebut) Dunia Ketiga, seperti Iran atau China karena hal itu dianggap berpotensi mengancam hegemoni mereka di dunia.
Demikian pula dengan yang terjadi di bidang informasi dan berita. Sekarang ini dunia menuntut kebebasan di bidang informasi, namun Barat memberlakukan penyensoran. Padahal, mereka banyak berkoar soal kebebasan pers. Ketika Amerika Serikat (AS) menyerang Irak di masa pemerintahan Presiden Bush, justru AS sendiri yang melarang semua media massa untuk meliput dan memberitakan serangan itu secara utuh. Dengan kata lain, peliputan dan pemberitaan hanya diizinkan setelah AS melakukan penyerangan. Alasannya: demi keamanan!
Dan di masa kekuasaan Presiden Clinton, dengan alasan yang sama pula, AS menghabisi nyawa sekitar delapan puluh orang anggota komunitas yang memiliki kecenderungan keagamaan tertentu, karena dianggap menentang pemerintah AS, padahal mereka bukan kelompok militer, apalagi di antara mereka banyak anak-anak dan perempuan.
Sayangnya, bagi AS, semua itu tidak penting. Yang dipandang penting adalah bagaimana menjaga kepentingan material mereka. Selama kebebasan tidak mengganggu kepentingan material mereka, silahkan saja pihak lain mengekspresikan kebebasannya, asalkan jangan sekali-kali mengusik kepentingan material mereka karena hal itu pasti akan dibasmi.
Dengan demikian, kebebasan dalam pandangan liberalisme sama sekali menistakan nilai-nilai akhlak. Artinya, kebebasan boleh terus berlangsung meskipun bertentangan dengan norma atau nilai-nilai akhlak. Karenanya, ketika gerakan homoseksual menyebar di AS, mereka membiarkannya dengan alasan penghormatan hak asasi setiap orang. Konsekuensi lebih lanjut, kalangan homoseksual itu dengan bangga — tanpa rasa malu — membentuk sejumlah komunitas homo, dengan aktifitas antara lain menyebarkan foto-foto, berdemonstrasi di berbagai jalan raya, bahkan menyerang dengan keras siapa pun yang menentang mereka.
***
ISLAM menentang keras kebebasan dengan model seperti itu. Islam sangat menghormati kebebasan, tapi kebebasan yang harus terikat dengan nilai-nilai akhlak, bukan sekadar nilai-nilai material (duniawi). Dengan begitu, Islam tidak menolak bahwa ada kepentingan-kepentingan materi yang harus dijaga, tapi hal yang sama juga diberlakukan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak.
Perbedaan keempat adalah bahwa liberalisme (Barat) menolak kewajiban (taklif) yang disematkan kepada manusia. Dan ini bukan saja kewajiban-kewajiban agama (taklif dîni), tapi juga segala bentuk taklif, termasuk ideologi atau apa saja yang menggunakan idiom “boleh” dan “tidak boleh”.
Tentu saja hal demikian tidak sejalan dengan Islam. Islam menganggap bahwa justru taklif-lah yang merupakan batu pijak atau landasan kebebasan. Bahkan, manusia dapat dengan utuh (hakiki) memenuhi kebebasannya karena memiliki dan menunaikan kewajiban (nya).
Dalam diri manusia terdapat kecenderungan-kecenderungan yang berbeda. Namun, justru melalui kecenderungan-kecenderungan yang berbeda itulah manusia dituntut untuk mencapai kesempurnaannya, dan bahwa kebebasan adalah jalan untuk mencapai kesempurnaan tersebut.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.” (Al-Qur’an surat Adz Dzaariyaat: 56).
Pengabdian kepada Allah Swt. merupakan kedudukan (maqam) tertinggi makhluk, dan kebebasan adalah pengantar kepada maqam tertinggi itu. Oleh karenanya, sayang sekali banyak orang yang keliru memahami makna kebebasan, dan kemudian menyerukan orang lain untuk memperjuangkan kebebasan model Barat; padahal kebebasan seperti itu tidak akan melahirkan apa pun selain kehancuran. Atas dasar itu saya ingatkan: Pertama, pahamilah dengan baik apa hakikat kebebasan. Kita harus bebas dalam memahami makna kebebasan dan tidak terikat dalam indoktrinasi pihak manapun. Artinya, kita jangan mengambil begitu saja faham kebebasan yang dipropagandakan oleh pihak luar.
Kedua, jangan sekali-kali menyalahgunakan kebebasan untuk kepentingan-kepentingan yang tersembunyi.
***
AKHIRNYA, sekali lagi, Islam tidak menolak kebebasan; malah ia (kebebasan itu) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam. Kita harus memanfaatkan secara optimal — dan sebaik mungkin — kebebasan yang dianugrahkan Allah Swt., dan tidak harus mengekangnya. Namun, di balik kebebasan itu ada rambu-rambu yang patut kita hormati. Rambu-rambu tersebut adalah nilai-nilai Ilahi yang ditetapkan kepada kita dalam Al-Qur’an dan Sunnah.[**]
_________________________________
Dikutib dan diedit dari majalah WARIS, No. 16 / Jumadil Akhir-Syakban 1419 H.
(Jurnal-Parlemen-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email