Pesan Rahbar

Home » » Kesadaran Eksistensial Manusia

Kesadaran Eksistensial Manusia

Written By Unknown on Sunday, 25 September 2016 | 17:23:00


Oleh: Husein Shahab

Post Modernisme, salah satu "aliran" filsafat mutakhir telah melakukan desakralisasi pada hampir semua kehidupan. Jangankan agama, tradisi dan manusia. Tuhan sekalipun sudah dianggapnya tiada. "Tuhan sudah mati". Begitu kata Friedrich Nietzsche, seorang filsuf postmodernisme yang paling berpengaruh. Tak heran kemudian aliran ini menganggap bahwa segala bentuk kehidupan di dunia harus bersifat sekuler dimana tidak ada lagi yang disebut sebagai nilal-nilai luhur dan spiritual.

Dalam perkembangan berikutnya strukturalisme sepertinya menyambut gayung postmodernisme dengan sangat antusias. Manusia yang merupakan subjek pokok dari setiap aktifitas filosofis dan keilahian bukan hanya tidak diakui sebagai khalifah Allah di atas muka bumi, dan dipandang sedemikian desakral sehingga ia tidak lagi dianggap sebagai suatu realitas sui generis, yang khas dan lebih tinggi dari alam. Lebih dari sekadar itu, manusia dalam asumsi mereka sepenuhnya adalah bentukan realitas sosial. Di dalamnya tidak ada hati nurani, tidak ada jiwa yang damai (nafs al-muthmainah), tidak ada fitrah apalagi sebagai bayangan dan manifestasi Tuhan di muka bumi. Hal ini kata Tommy R Awuy, lantaran manusia itu sendiri tidak memiliki pusat "Aku"nya yang berfungsi sebagai center dalam diri manusia. Konsekwensi berikutnya adalah postrukturalisme akhirnya memekikkan suara yang amat lantang bahwa bukan hanya Tuhan yang mati, manusia pun pada hakekatnya juga sudah mati.

Pandangan sinis dan pesimistis di atas tentang Tuhan dan manusia tidak aneh apabila di kemudian hari menciptakan berbagai malapetaka kemanusiaan dalam hampir seluruh sendi-sendi kehidupan mereka. Perang dikobarkan demi suatu ambisi politik, ekonomi atau apapun Namanya. Korupsi dianggap biasa dan sudah menjadi tradisi umum tanpa sedikitpun ada perasaan tangling jawab eskatologis atau humanistis. Kezaliman dan penindasan terhadap orang-orang yang lemah bahkan dianggap sebagai suatu "pengabdian" kepada stabilitas negara dan keamanan rakyat, tanpa sedikitpun menyimpan perasaan bahwa perbuatan itu tercela dan dosa.

Singkatnya dalm postmoderisme dan poststrukturalisme tidak ada lagi kosakata iman, agama, ihsan, pahala, dosa, surga, neraka, alam barzakh, alam akhirat dan akronim-akronim religius lainnya. Semua yang eksis di dunia ini harus dilihat seperti apa adanya secara lahiriah, sekular dan materialis, termasuk manusia.

Pandangan yang melecehkan tentang manusia di atas, jelas telah mencampakkan harkat kemanusiaan secara mengerikan. Manusia dipandang sama dengan makhluk-makhluk lainnya: statis, tidak evolusioner, dan tidak pernah memiliki kemampuan "•dalam bahasa Shadra"• taraqqi' (ascension) ke alam perfectness.

Kierkegaard, filsuf eksistensialis Barat sekalipun sangat keberatan dengan "penghinaan" terhadap manusia di atas. Dalam bahasanya, manusia adalah makhluk yang bukan hanya dinamis, bahkan senantiasa berada dalam keadaan "menjadi". Dengan kata lain dalam diri manusia ada suatu "gerak" yang memindahkan dirinya selalu dari wilayah "kemungkinan" ke wilayah "kenyataan". Gerak tersebut dia istilahkan dengan kalimat "bereksistensi", yakni menjadi seperti yang ia akan ada secara abadi.

Al-Quran sebagai kitab suci yang mengilhami manusia akan segala realitas kosmis, telah mendaftarkan "• seperti yang dikutip dari Muthahhari berikut "• empat belas identitas spiritual manusia yang membedakannya secara substansial dari makhluk lainnya.

Keempat betas identitas tersebut meskipun masih berada dalam "wilayah" potensi, namun ia eksis secara inherent dalam jiwa mereka. Keempat belas sitar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Manusia sebagai khalifah Allah Swt.
2. Manusia sebagai makhluk pilihan
3. Makhluk teologis in nature
4. Makhluk ritualis
5. Makhluk yang memiliki kapabilitias ilmiah yang hampir tak terbatas
6. Makhluk bidimensional: material dan spiritual
7. Makhluk yang independent, penuh rensponsible, eksploratif dan freewill
8. Makhluk superior
9. Makhluk moralis dan etis in nature
10. Sebagai "tuan" di planet bumi
11. Makhluk yang wajib patuh pada Allah
12. Makhluk "mistis" dimana dengan mengingat Tuhan berarti sama dengan mengingat dirinya, dan lupa kepada Tuhan sama dengan lupa kepada dirinya sendiri
13. Makhluk "mistis" dimana realitas-realitas ruhani akan dengan jelas tampak dalam pandangannya setelah kematiannya
14. Makhluk yang tidak digerakkan oleh semata-mata kepentingan materialis, namun juga kepentingan spiritual.

Di sisi lain al-Quran juga tidak menutup mata akan potensi sifat- sifat buruk yang bisa tumbuh dalam dirinya. Potensi negatif ini didaftarkan al-Quran hingga sembilan sifat berikut:
1. Sebagai makhluk yang potensial menjadi tiran (dzalim) dan jahil (arrogance)
2. Yang tidak berterima kasih
3. Yang mudah tertipu oleh materi
4. Yang tidak sabar dan terburu-buru
5. Yang cepat lupa kepada kebaikan Tuhannya
6. Yang bervisi pendek
7. Yang mudah mendebat
8. Yang tak pernah puas dan penuh selfishness
9. Yang tak kuat menerima cobaan dan ironisnya juga bakhil ketika memperoleh nikmat yang melimpah.


Sisi positif dan negatif di atas sekilas tampak kontradiktif. Namun kata Muthahhari, itulah manusia pada alam potensial. Pada hakikatnya yang narpanya manusia, siapapun dirinya memiliki potensi raksasa untuk menjadi makhluk yang baik atau yang buruk.

Apabila ia bergerak menjadi makhluk yang buruk dengan mengaktualisasikan sifat-sifat negatif di atas, sebetulnya ia lari jauh dari esensi kemanusiaannya yang utuh. Dalam bahasa al-Quran ia bergerak menuju martabat hewaniah yang paling rendah. Namun apabila ia bergerak menjadi manusia yang positif, sebenarnya ia bergerak menjadi insan kamil, the perfect man, yang seperti kata Kiekergaad di atas, layak menjadi seperti yang ia akan ada secara abadi.

Kesadaran akan realitas manusia di atas sangat penting. Sebab ialah yang akan menggerakkan dan mewarnai setiap aktifitas manusia, baik yang bersifat sosiologis, politis, ekonomis maupun psikologis. Sebab, seperti kata sebuah pepatah, "manusia adalah apa yang ia pikirkan".

Kesadaran yang demikian akan melahirkan sebuah kearifan yang hakiki. Dan bila kearifan itu dijadikan sebagai dasar pijakan lalu di atasnya ia berjalan maka, seperti kata Frithjof Capra, manusia akan menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah manifestasi dari Realitas Akhir; di mana ia mampu menyatukan segala sesuatu yang bercerai berai dan mendamaikan setiap yang konflik. Dan itulah pengalaman mistik yang tinggi.

Pengalaman mistikal alias perjalanan spiritual demikian yang disebut oleh Shadra dengan istilah taraqqi atau oleh Kiekergaad bereksistensi adalah gambaran riil tentang perjalanan manusia menuju ke perfectness yang spesifik yang karenanya ia diciptakan dan kepadanya ia juga berjalan.

Perfectness yang dikejar manusia memang tak terbatas. Sebab Asma' Allah yang merupakan simbol dari puncak perfectness juga tak terbilang. Namun kata Shadra lewat perfectness berikut manusia bisa disebut telah mencapai kesempurnaannya yang spesifik.

Keempat kesempurnaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui realitas-realitas yang universal
2. Memperoleh makrifah ilahi (pengetahuan ketuhanan)
3. Mengabstrasksi diri dari objek-objek materi yang sensible
4. Dan membebaskan jiwa dari ikatan-ikatan syahwat dan ghadhab.

Dengan kata lain kesempurnaan manusia bisa ia kejar lewat kesempurnaan epistemologis, mistis, spiritualis dan sosiologis. Dan hal itu bisa ia aktualisasikan apabila ia sungguh-sungguh meninggalkan segala bentuk sifat buruk dan melakukan koneksitas secara intensif dengan Sumber segala cahaya, yakni Allah Swt. Dalam bahasa teologis, kata Muthahhari, potensi sifat-sifat ketuhanan di atas hanya bisa terealisasi dengan iman, taqwa dan amal saleh.

Demikianlah manusia dan segala potensi yang tersimpan dalam dirinya dalam bahasa agama dan para awliya' Allah Swt. Ia adalah makhluk yang sangat unik dan sangat mulia. Sedemikian sehingga al-Quran menghargai satu manusia sama dengan seluruh jiwa manusia. Apabila ia membunuh seorang di antara mereka tanpa alasan yang legal maka itu sama dengan membunuh semua mereka, demikian juga apabila ia memelihara kehidupan satu dari mereka maka itu sama dengan memelihara kehidupan seluruh ummat manusia. (lihat QS. 5:32).

Kesadaran akan nilai manusia dan kemanusiaan seperti inilah yang sangat urgen untuk kita sosialisasikan di tengah kehidupan yang serba sekuler dan materialistik seperti sekarang ini. Sebab kesadaran demikianlah yang diharapkan bisa membentuk dunia dan mengubahnya menjadi lebih baik.

Pembaca! Dalam edisi kali ini kami menurunkan artikel-artikel yang lahir dari kesadaran uniter di atas. Sebagaimana yang anda akan temui ketika membuka halaman demi halamannya.

Kami berharap mudah-mudahan semua ini akan menjadikan sedikit sumbangsih kami kepada umat manusia dan kemanusiaan di bumi Indonesia secara khusus.

Wallahu 'alam bis shawab.


(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: