Oleh: Syafinuddin Al Mandari
Problem penyempitan dan pembatasan ruang lingkup wacana pluralisme dan yang sejenis lebih banyak disebabkan oleh simplifikasi makna masyarakat sipil secara dikotomis-bipolar. Dalam batas tertentu, pluralisme diterima untuk, memaparkan gerakan keagamaan yang telanjur melembaga dalam mazhab pemikiran keagamaan, agar dapat bertahan menghadapi perubahan zaman serta yang terpenting .adalah untuk menghadapi “Iawan” mazhabnya. Untuk itu, aspek spiritual dapat dijadikan alternatif mempertemukan keberagaman agama dan keyakinan umat manusia di tingkat esoterik. Agama dalam perspektif ini merupakan potensi besar untuk suatu penataan masyarakat sipil yang kuat.
Menguatnya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap hak-hak dasarnya berhasil mendorong lahirnya institusi-institusi sosial yang, menyambut gagasan Adam Ferguson melalui penjelasan Ernest Gellner (1995) tentang masyarakat sipil (civil society) pada dekade 70-an, terus- menerus berkembang untuk memperoleh kekuatan yang seimbang dengan negara (pemerintah) dalam pengambilan kebijakan-kebijakan publik. Terutama tatkala kekuasaan Orde Baru dengan pola militeristik memilih gaya totalitarianisme berhasil memaksa masyarakat tunduk pada uniformitas simbolik maupun ideologisnya. Wacana masyarakat sipil dipandang memberi harapan besar bagi terwujudnya keadilan sosial. Itu dari tinjauan kesamaan hak-hak politis rakyat.
Seiring dengan itu, kran keterbukaan pelan-pelan dibuka dengan diskursus pluralisme dan demokratisasi. Relasi keduanya seharusnya berwujud pada kesadaran dan sikap yang saling menguatkan dalam berbagai segmen (ekonomi, politik, sosial-budaya dan sebagainya) dengan kenyataan kebhinnekaan (etnis, bahasa, ras, golongan, agama) masyarakat Indonesia. Apresiasi yang belakangan ini berkembang menunjukkan isyarat bahwa keduanya masih terhambat secara serius.
Masyarakat Sipil di Simpang Jalan
Secara definitif, wacana tentang civil society di Indanesia diungkapkan dalam beberapa istilah yang berbeda. Nurcholish Madjid dan M. Dawam Rahardjo menyebutnya dengan “Mayarakat Madani,” suatu istilah yang diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim untuk suatu masyarakat beradab. Mansour Faqih memakai istilah “Masyarakat Sipil dengan penjelasan yang lebih dekat dengan pembahasan Ernest Gellner. “Masyarakat Warga” lebih akrab di kalangan Lembaga Etika Atmajaya. Ryaas Rasyid dan Franz Magnis-Suseno menerjemahkannya dengan “Masyarakat Kewargaan.” Di kalangan tradisonalis (mungkin menunjuk pada komunitas NU khususnya yang diwakili Lakpesdam) dengan lingkaran HMI (MPO) lebih sering menyebut “Masyarakat Beradab” atau “Masyarakat Berperadaban.”
Apa pun istilah yang dipakai kemudian, seluruhnya bermuara pada suatu konsepsi kemasyarakatan yang di dalamnya memperlihatkan suatu gambaran interaksi sosial secara dinamis, menjunjung tinggi aspek-aspek etik kemanusiaan. Masyarakat berkembang dengan pelibatan seluruh warga dengan spirit kebersamaan, kesetaraan, penghargaan yang layak, partisipasi yang merata dan persamaan hak-hak secara proporsional di bawah suatu jaminan perlindungan yang pasti.
Dengan demikian, dalam strata mana pun, warga negara tidak berada dalam bayang-bayang hegemoni dan dominasi pihak tertentu, termasuk oleh pemerintah. Negara, dalam konteks ini, akan tampil lebih egaliter, transparan dan memerankan fungsi-fungsinya secara wajar sehingga kebijakan publik yang ditelorkan senantiasa ada dalam lingkaran kesadaran publik.
Perjuangan masyarakat sipil seharusnya berkembang secara signifikan sejalan dengan diperkenalkannya sejumlah literatur yang layak mendasari pola-pola transformasi dan pergerakan masyarakat menuju sikap baru, seperti: teologi pembebasan, perennialisme, posmodernisme, demokratisasi, inklusivisme dan pluralisme. Wacana tersebut dapat diyakini menyediakan suatu ruang untuk membincangkan dan mengusahakan terwujudnya perombakan praktik interaksi sosial yang eksploitatif dan menindas. Tema yang terakhir disebutkan akan lebih mendapat titik tekan dalam tulisan ini, mengingat adanya sisi yang secara potensial membelokkan kesejatian cita-cita masyarakat sipil.
Dalam konteks transisi demokrasi di Indanesia, wacana-wacana tersebut nampak mengalami pengerdilan pengaruh dan fungsinya. Teologi pembebasan tidak fungsional membentuk karakter kemandirian bangsa.
Masyarakat sipil terutama di tingkat akar rumput masih inferior dan belum keluar dari kecenderungan subordinasi kekuasaan negara. Akibatnya, institusi-institusi sosial yang lahir dari rahim masyarakat sipil tadi, amat sulit berproses secara cepat menjadi suatu kekuatan pengimbang negara.
Beberapa faktor penyebab yang dapat dikemukakan disini.
Pertama, wacana masyarakat sipil tidak lebih dari suatu pertarungan ideologi-ideologi yang secara latar historis dapat dihubungkan dengan gagasan Hegel dalam dialektika, Jurgen Habermas dengan kritik ideologi, Karl Marx dalam kesetaraan kelas, Gramsci dengan anti konservatisme atau Antony Giddens dalam konsepsi jalan ketiga maupun nalar religius yang diperoleh dari tokoh-tokoh pembaharu pemikiran keagamaan seperti: Muhamsmad Iqbal, Fazlur Rahman, Ziauddin Sardar, ‘Ali Syari’ati, Mohamed Arkoun, Abed el Jabiri, M. Baqir Shadr, Asghar ‘Ali Engineer serta ideolog revolusi di beberapa negara.
Agenda pemberdayaan masyarakat sipil gagal ditransformasi sebagai suatu teori dan konsepsi kemasyarakatan yang dapat menyemangati timbulnya hubungan baru warga intra dan antar lapisan. Lebih buruk lagi, karena penyempitan dan pembatasan ruang lingkupnya, wacana pluralisme dan yang sejenis tidak saling menguatkan. Artinya, pluralisme di sisi tertentu dianggap sebagai segmen yang berspektrum khusus yang tak punya kontribusi timbal balik dengan masyarakat sipil di sisi lain.
Kedua, cita-cita masyarakat sipil terkooptasi dalam tarung politik berupa gesekan kepentingan elite kekuatan sosial. Demokratisasi yang menjanjikan persamaan kedudukan, serta kebersamaan dalam mengartikulasi peran politis rakyat sangat mengambang dan semu. Keterlibatan rakyat dalam pesta demokrasi tetap tidak dapat mengubah pola perilaku politik yang dominan memihak elite. Substansi masyarakat sipil di tataran politik juga gagal dipahami secara paradigmatik sehingga tidak dapat menggerakkan peran masyarakat secara optimal.
Akibat paling berat dari ketidakjelasan paradigma politik elite adalah matinya proses pendidikan politik berupa kekuatan lembaga pengimbang negara. Sederhananya, belum lagi masyarakat dapat mewujudkan posisi yang sejajar dan diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan publik, mereka harus berhadapan terlebih dahulu dengan lembaga-lembaga demokrasi yang ada. Sebutlah misalnya partai-partai politik yang secara kasat mata menunjukkan aktivitas yang lebih mengutamakan kepentingan pragmatis golongannya, lalu mengenyampingkan urusan hajat hidup rakyat, bahkan para konstituennya sendiri.
Ketiga, ketergantungan kepada pihak asing (kekuatan neo- liberalisme) di satu sisi dan kekuatan lama di dalam negeri, misalnya terhadap pengusaha (konglomerat) , birokrat “lama” dan institusi militer di sisi lain, menyebabkan negara dikelola secara tidak mandiri. Demikian pula halnya institusi demokrasi yang seyogyanya bermitra dengan negara untuk mendorong kemandirian masyarakat juga amat lemah.
Sebetulnya, isu yang amat relevan dalam tataran ini adalah militerisme baru dengan segenap upayanya untuk tetap pada posisi politiknya di masa lalu. Pada hakikatnya, doktrin militer (ABRI di masa lalu) inilah yang secara teoritik paling tepat didekatkan dengan upaya memperjuangkan masyarakat sipil. Oleh karena institusi militer menjadi kekuatan utama dalam sistem kebijakan negara di masa lalu, maka baik dalam kondisi mapan maupun pada proses transisi, peran militer amat signifikan. Proses perubahan, dengan demikian, nampaknya masih bertumpu atau setidak-tidaknya memberi peluang militer sebagai unsur utamanya. Bagaimana jika gerakan perubahan masih tetap menggandeng kepentingan politik militer?
Selain itu, militer acap kali menjadi alat tawar di hadapan kekuatan luar negeri. Bukan tidak mungkin tawar-menawar kepentingan militer dan misi negara-negara kapitalis berwujud pada proses pelemahan posisi masyarakat sipil baik langsung maupun tidak.
Keempat, proses pembauran masyarakat majemuk yang tidak sempurna. Hal ini menimbulkan ketegangan yang secara potensial menyimpan bara konflik yang amat dahsyat. Tidak tuntasnya hakikat bermasyarakat dalam suasana keragaman menyebabkan makin terpeliharanya sekar sosial antar warga, baik secara psikologis, budaya, politis dan sebagainya. Pada gilirannya, hal tersebut akan mempermudah meledaknya persinggungan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain, kekuatan politik tertentu seolah-olah diberi kesempatan sekaligus mendapat “pembenaran” untuk ― meski secara tertutup ― melahirkan konflik dengan mengatasnamakan simbol-simbol ikaran primordial masing-masing kelompok.
Pembauran sosio-kultural yang terhambar untuk menemukan esensi hidup dalam keberagaman tadi tergambar pada bergesernya pertengkaran warga karena persoalan kebun, ke arah perang kelompok dengan sentimen keagamaan. Jelas sentimen keagamaan munculnya belakangan, akan tetapi porensi konfliknya sudah terpelihara sejak lama.
Ideologisasi Masyarakat Sipil
Deskripsi di atas menunjukkan betapa seriusnya tantangan masyarakat sipil di Indanesia. Terapi untuk mencairkan kebekuan tersebut harus dimulai dengan memahami makna masyarakat sipil secara tepat. Besar kemungkinan problem-problem tersebut di atas lebih banyak disebabkan oleh simplifikasi makna masyarakat sipil secara dikotomis-bipolar, seperti; sipil versus militer, uniformitas versus pluralitas, negara versus rakyat, elit versus massa dan lain-lain. Dari sinilah paradigma gerakan masyarakat sipil diperciut menjadi sekadar suatu perlawanan untuk mengalahkan dan menaklukkan, bukan kemitraan yang mandiri dan sejajar untuk menghargai dan menjunjung tinggi esensi keberagaman.
Demikian pula, juga dengan sangat sederhana dianggap bahwa jiwa keberagaman dalam wacana ini harus mengesampingkan rujukan nilai yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual. Jadi, ada anggapan bahwa yang dinamakan pluralisme adalah keyakinan terhadap kebenaran semua ajaran dan sifatnya setara. Artinya, penghargaan terhadap keyakinan yang beragam disebabkan oleh anggapan bahwa semua ajaran benar secara setara, bukan bertingkat. Itulah sebabnya, keberagaman terutama dalam hal keagamaan, sulit tertata dan sangat rentan konflik.
Andaikata pluralisme keagamaan ditata dalam konteks penghargaan terhadap tafsiran kebenaran yang saat ini sedang dianut oleh masing-masing kelompok atau mazhab, lalu memungkinkan untuk berdialog dalam rangka menyempurnakan kebenaran tafsirannya, tentu pluralisme akan sangat efektif. Demikian juga, hal ini akan menghilangkan kemungkinan teraktualkannya potensi saling curiga yang berlebihan, karena timbulnya hubungan yang saling memahami secara sadar.
Hal ini diperparah oleh anggapan bahwa keberagaman merupakan wujud akhir dari cita masyarakat beradab atau berperadaban. Akibatnya, keberagaman berwarna dan tampil dengan wajah sangat pasif dan mengabdi pada “stabilitas semu”. Ia tunduk pada anggapan bahwa keberagaman dibutuhkan agar tidak terjadi gejolak antar keyakinan. Di sinilah keberagaman diasuh oleh kelompok kepentingan terutama yang bersifat politik praktis untuk, justru, menggiring institusi-insitusi sosial terutama yang berbasis keagamaan, ke arah kompetisi untuk merebut tiket lingkaran kekuasaan negara.
Padahal, keberagaman yang memiliki misi pemberdayaan institusi sosial harus diarahkan untuk menampilkan “wajah pluralisme” yang lekat dengan watak pemandirian dari pengaruh lingkaran kekuasaan. Masyarakat sipil dengan penghargaan yang tinggi pada keberagaman, dengan demikian, bukan sasaran akhir peradaban, melainkan merupakan proses berkembangnya masyarakat menuju suatu nilai kesempurnaan kemanusiaan. Dengan demikian, seyogyanya cita-cita masyarakat sipil dipahami bukan sebagai penghancuran lawan-lawan dikotomis-bipolarnya tadi, melainkan sebagai suatu sasaran antara dalam mewujudkan kesanggupan masyarakat menjadi balancing and reflective force yaitu kekuatan pengimbang dari kecenderungan intervensionis negara dan sebagai kekuatan kritis-reflektif.
Wujud akhir sistem sosial dapat ditemukan dalam ajaran ideologi- ideologi yang ada. Sulit untuk menunjuk sistem final yang sesuai dengan masyarakat multi etnik, budaya, dan agama. Masing-masing agama, budaya dan etnik tentunya memiliki konsepsi kemasyarakatan yang khas. Karena itu, pluralisme yangamat dihargai dalam wacana masyarakat sipil hendaknya menciptakan suasana yang tepat bagi kelangsungan proses penyempurnaan konsepsi sosial, yaitu suatu iklim yang kondusif untuk menyerap nilai-nilai, spirit hingga metodologi dan model masyarakat, di mana masing-masing konsepsi ideologi bertaut dalam dinamika yang berjalan secara fair.
Benih Masyarakat Sipil di Indonesia
Menurut Yahya Sadowski (1993), basis Civil Society adalah kekuatan kelas menengah dan kelompok sosial yang otonom. Dalam konteks keindonesiaan, kedua kekuatan tersebut masing-masing sudah berkembang ke taraf tertentu. Tampilnya LSM-LSM atau yayasan sosial lain yang dipelopori oleh kelas menengah terdidik, sejak dekade 70-an, menjadi benih semangat kemandirian untuk memperkuat sistem civil society. Demikian pula, komunitas-komunitas sosial berbasis agama yang tumbuh dan mengakar secara tradisional sejak ratusan tahun yang lalu, mempakan benih civil society yang potensial dikelola memperkaya watak kemandirian massa rakyat di depan pengambil kebijakan publik.
Tanpa harus mempersoalkan kualitas penyikapan keislamannya, dapat dikatakan bahwa karakter masyarakat Indanesia adalah agamis. Tentu saja, dengan demikian, tidak harus dalam kategori kaum santri tapi juga kelompok abangan, meminjam istilah Clifford Geertz untuk stereotip keberagamaan Islam di Jawa.
Kelompok-kelompok sosial yang disebut sebagai benih civil society, memiliki kedekatan dengan simbol dan nuansa keagamaan. Pada komunitas masyarakat Islam tradisional, terutama yang memiliki lembaga keagamaan seperti pesantren atau halaqah Islamiyah, lazimnya di desa atau pinggiran kota, civil society lebih terlihat sebagai himpunan masyarakat yang peduli. Melalui pesantren tersebut, sebagai pusat spiritual dan pendidikan massa, masyarakat tampil sebagai bagian dari lembaga sosial otonom, independen, desentralis dan punya clara tawar kuat: vis-à-vis negara atau pemerintah setempat. Dari sniilah penataan jaringan kerakyatan yang tentu saja memiliki visi pembebasan atau pemandirian, dengan semangat keagamaan (Islam) sebagai sumber motivasi gerakannya, secara jelas dapat ditemukan.
Dalam konteks ini, ulama sebagai pemimpin pesantren yang memegang posisi sentral dan amat berpengaruh, dapat menjadi representasi kekuatan sosial karena memperoleh dukungan penuh dari komunitas tradisional lewat doktrin ketaatan hierarkis. Kaum Nahdhiyin (NU) mewakili kekuatan sosial berbasis agama yang potensial mengawal proses kemandirian masyarakat dalam konteks ini. Dalam model yang sedikit berbeda, halaqah Tarbiyah dapat digolongkan sebagai komunitas yang memiliki potensi sama dengan kelompok NU.
Di kota besar atau di daerah tertentu yang tersentuh pemikiran pemikiran modern, kelompok sosial otonom yang menggunakan simbol agama biasanya memakai isu-isu sosiologis ketimbang ritual tradisional. Umumnya menyenangi prinsip-prinsip penalaran rasional dan pembaharuan pemikiran seperti yang diperankan oleh Muhammadiyah.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa selain kelompok otonom berbasis massa keagamaan tradisional, kelas menengah terpelajar juga merupakan kekuatan pendorong civil society. Nuansa keagamaan di kalangan gerakan kelas menengah seperti yang ditunjukkan LSM-LSM, juga nampak kendati pun tidak secara general untuk semua LSM, dan isu keagamaannya tidak menjadi arus utama. Dalam konteks ini, tampilan lembaga independen non-pemerintah, menambah keragaman pilar civil society.
Namun di wilayah politik, massa tradisional keagamaan di “akar rumput” sama rentannya dengan keberadaan kelas menengah tadi, paling tidak ditinjau dari sudut tarikan kepentingan parpol yang sudah ada. Bagi kalangan tradisional, afiliasi politik ulama akan sangat menentukan tingkat kemandirian sikap massa keagamaan tradisional atas negara. Demikian juga kelompok kelas menengah, afiliasi politiknya akan sangat mewarnai pola transformasinya terhadap masyarakat. Oleh karena itu, meski pluralisme agama itu sudah lama ada, sulit menghindar untuk tidak dijadikan tunggangan politik.
Padahal, semakin netral seorang ulama, makin tentram masyakat di bawahnya dan sebaliknya, makin partisan seorang ulama, makin kuat gesekan antarwarga. Beberapa contoh dapat dikemukakan misalnya di Madura, di Pekalongan, dan beberapa daerah lain, masih sering terjadi konflik horizontal antarwarga sipil yang berbeda latar afiliasi parpolnya. Demiklan juga, meski dialog agama juga sudah tumbuh (secara alamiah dan kultural), serta munculnya beberapaisu keagamaan juga bisa dijadikan alat civil society untuk melakukan kritik atau perlawanan terhadap negara, tetap sangat bergantung pada bebasnya kelompok-kelompok tadi dari pengaruh parpol.
Pluralisme Agama dalam Masyarakat Sipil
Sebagai masyarakat religius, dipercayai bahwa masing-masing ajaran agama mengamanatkan penghargaan dan penghormatan terhadap penganut agama beserta seluruh sistem keyakinannya. Seharusnya, lewat spirit keagamaan, masyarakat majemuk Indanesia dapat menata jaringan pemandirian rakyat secara lebih produktif. Namun disengaja atau tidak ketegangan antarbangsa, peradaban dan kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat amat sulit dilepaskan dengan stigma pertarungan antar agama. Tragedi kemanusiaan terbesar setahun belakangan ini, misalnya runtuhnya menara kembar WTC 11 September 2001 dan konflik Palestina- Israel amat sulit dihindarkan dari konflik antarperadaban dan agama. Wajar jika banyak yang tak setuju karena agama diturunkan Tuhan untuk misi kedamaian, namun juga wajar jika stigma tersebut sulit dihindarkan sebab umumnya agama lebih sering sering dikutip untuk dan dirujuk untuk melegitimasi konflik-konflik ketimbang untuk membanggakan prestasi- prestasi sosial, kemanusiaan, usaha serta perjuangan dan karya-karya peradaban masa depan.
Dengan demikian, pluralisme keagamaan tidak hanya memasuki segmen perbicangan relasi politik mikro, seperti hubungan negara dan masyarakat sipil, melainkan juga pada konteks makro. Olehnya itu, boleh jadi bukan hanya adanya hambatan eksternal yakni faktor perilaku politik penguasa dan masyarakat (dalam hal ini tokoh-tokoh dan pemimpin informal kelompok-kelompok sipil), melainkan dari konsepsi pluralisme itu sendiri yang kemungkinan bermasalah dalam masyarakat. Sebagai contoh, munculnya liberalisasi interpretasi keagamaan yang menimbulkan reaksi keras penganutnya yang konservatif dengan tuduhan melahirkan pahaman akidah baru, tidak jarang menimbulkan percikan konflik yang mudah dilebarkan eskalasinya dengan mendramatisasi dan memanipulasi jargon keagamaan. Ringkasnya, konflik disulut dengan pertentangan tafsir keagamaan.
Kengerian terhadap konflik yang tengah dan akan selalu mengancam itu menyebabkan tema pluralisme agama bergerak kencang dan memperoleh pemerhati yang sangat banyak. Proses transisi demokrasi di Indonesia juga demikian diwarnai dengan tema ini. Setidaknya, secara signifikan dapat diukur dengan makin tingginya respon kalangan kelompok keagamaan mayoritas yakni Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Belakangan ini yang merespon secara lebih serius adalah kalangan mudanya seperti LPPM dan Lakpesdam yang pada pokoknya menginginkan upaya menghindari dampak negatif paham keagamaan eksklusif. Paling kurang ada lima tampilan paham keagamaan eksklusif seperti yang disebut Hery Sucipto (Republika, 28-08-2002) sesuai analisis Nashr Abu-Zayd yang menjadikan “agama” sebagai batu sandung masyarakat sipil.
Kelima ciri tersebut adalah:
1] Uniformitas paham dan pemikiran keagamaan;
2] Teologisasi fenomena sosial dan alam;
3] Ketergantungan kepada “salaf” dan “tradisi” secara kaku;
4] Fanatisme dan anti dialog, serta
5] Mengabaikan aspek historis sebagai bagian utama yang berpengaruh pada perilaku keagamaan.
Serta merta jargon liberalisasi, inklusivisme dan dialog antariman dan antaragama menjadi ikon penting dalam penataan peran-peran dan fungsi sosiologis keagamaan. Sejauh manakah hal-hal tersebut dapat menyangga pluralisme keagamaan untuk tatanan masyarakat sipil yang lebih baik?
Kalangan yang optimis, menyebutkan bahwa agama yang membuka diri dan menjunjung dialog akan mencapai kejayaannya. Muhamed Arkoun (1996) termasuk yang optimis bahwa kejayaan Islam akan dicapai hanya ketika kaum Muslimin membuka dialog dalam semangat pluralime. Di tanah air, pemikir Muslim sejenis Nurcholish Madjid ikut dalam kelompok yang meyakini hal sama seperti Arkoun. Tentu saja usaha ini tidak mudah karena budaya dan paham keislaman yang hidup selama berabad-abad harus direinterpretasi bahkan diubah pada tingkat tertentu.
Kalangan tokoh non-Muslim juga merindukan hal yang sama. Mudji Sutrisno rohaniwan Nasrani menulis di Jurnal Ulumul Qur’an No.4 Vol. IV Tahun 1993:
... bisakah saling diperkaya dialog antara Islam dan Katolik serta Kristen yang sama-sama memahami pendekatan strukturalis (atau hurnanisasi sosial struktural dari teori pemerdekaannya Guiterez, humanisasi sosialnya pemikiran-pemikiran ‘Ali Syari’ati dan teologi-teologi people power dan humanisasi-humanisasi yang mengambil inspirasi teologis dari nilai keadilan, pemerataan dan kemartabatan manusia dalam konteks sosial)? Sedang di arus lain juga kita dalami pendekatan humanisasi spiritualnya guru-guru kerohanian, baik dari tradisi Kristiani yang berinspirasi dari Injil Matius 5: sabda bahagia serta visi humanisasi keruhanian, Seyyed Nasr dengan ziarah kerohanian manusia maknawi dan ruhani, menyongsong kemaraunya peradaban modernis yang dikritik telah mengesampingkan dimensi vertikal-transendental manusia? Lantaran jatuh dalam kesombongan humanisasi Promethean?
Demikian pula William McInner yang menilai bahwa ada peluang yang sangat besar yang dapat dimainkan oleh penganut agama dalam proses kemandirian masyarakat. Dimensi periferal agama akan makin tersisih karena tidak dapat menampilkan kekokohan hubungan abadi antarumat manusia. Sedang aspek spiritual yang dapat mempertemukan keberagaman agama dan keyakinan umat manusia di tingkat esoterik (meminjam istilah Houston Smith) merupakan potensi besar untuk suatu penataan masyarakat sipil yang kuat, sebab agama dalam perspektif ini lebih dapat dikomunikasikan dengan perkembangan zaman:
Untuk dekade-dekade mendatang, spiritualitas barangkali akan berkembang lebih cepat dari doktrin dan struktur resmi suatu agama. Karena itu, ia bisa menjadi pembawa kepekaan yang membantu bagi pertumbuhan fenomena keagamaan dan membantu menciptakan agama bisa diterima dalam dialog publik dan praktik individual.
Masalahnya, apakah persoalan yang ditinggalkan oleh tampilan keagamaan yang eksklusu dan skripturalis serta merta hilang? Di samping perubahan kultur keagamaan yang butuh waktu lama, proses diseminasi wacana tentang pluralisme di Indanesia tergolong lambat dan kurang merata. Artinya, meski proses penyadaran untuk mengembangkan common ground antaragama telah gencar dimasyarakatkan sejak kurang lebih 30 tahun yang lalu, namun terdapat intensitas yang tidak merata pada masing-masing level. Ada dua hal yang dapat ditunjuk sebagai kegagalan transformasi pluralisme keagamaan ini. Pertama, konflik sosial yang sangat mudah menyeret jargon agama sebagai simbol solidaritas kelompok yang sedang bertikai. Kasus Maluku, Poso, Kupang dan letupan-letupan sejenis dalam 10 tahun terakhir adalah contoh nyata.
Kedua, gagalnya para intelektual mencapai suatu kesamaan pola dalam meyakinkan pentingnya pluralisme keagamaan. Tidak dapat ditutupi bahwa meski makin banyak cendekiawan dari masing-masing agama yang menyatakan setuju dengan gagasan pentingnya pluralisme sebagai jiwa hubungan antarpemeluk agama, namun tafsiran dan pola-pola pendekatannya masih dalam tahap diskursus berbau konflik pemikiran. Misalnya, bagaimana menyikapi gagasan John Hick dalam artikel Religious Pluralism masih menimbulkan perbedaan yang makin menajam.
Polemik singkat antara Dr. Anis Malik Thoha dan Samson Rahman (28-6-2002) dengan Mun’im A. Sirry (5-7-2002) di Harian Media Indonesia, dapat disebut sebagai gambaran belum redanya perselisihan penafsiran pluralisme keagamaan. Di kaiangan Nasrani, dijumpai hal yang sama seperti yang diakui Pdt. Josias Lengkong ketika mempresentasikan makalah “Jihad dalam Perspektif Kristen” pada seminar bertajuk “Jihad dalam Perspetif Islam dan Kristen” di Jakarta, 13 Mei 2002.
Intelektual Kristen juga masih banyak yang terjebak dengan penafsiran teks Kitab Sucinya secara eisegetikal, yakni berusaha menggali makna lewat perspektifnya sendiri untuk dilengketkan sebagai makna suatu teks. Padahal menurut Lengkong, yang diperlukan adalah pemahaman agama secara eksegetikal, yakni memahami seman teks suci sebagaimana maksud teks itu sendiri.
Sejauh ini pihak-pihak yang ikut mengapresiasi pluralisme agama terjebak dengan pola pemaknaan eisegetikal dari pluralisme itu sendiri. Pluralisme ditafsir, diklaim secara kaku dan kemudian dilengketkan sebagai satu-satunya tafsir yang paling tepat untuk itu. Pihak yang satu menyebut bahwa secara ontologis pluralisme dapat dibenarkan sebatas fenomena genesis yakni keharusan mengakui keragaman alam yang permanen seperti; siang-malam, laki-laki perempuan, warna-warni semesta, hak-baru, taat- kufur dan seterusnya. Namun demikian, pluralisme tak boleh menyentuh soal-soal legalistis yakni ajaran yang dapat terhukumi benar maupun salah. Sudah jelas di sini adanya keengganan untuk mengakui faktor-faktor kebenaran yang secara potensial juga ada pada ajaran lain. Sedang pihak yang lain memahami bahwa pluralisme berlaku untuk semua kategori.
Akibatnya, sulit menimbulkan gerakan bersama dalam rangka menjadikan faktor-faktor keragaman menjadi suatu kekuatan sosial dan alat pemandirian rakyat. Secara fenomenologis, pertentangan jenis tadi selalu berujung pada usaha merebut pendukung yang dalam tataran kuantitatif harus menggunakan institusi sosial bernuansa politis. Timbullah politisasi jargon agama di satu sisi dan buchailisme jargon politik di sisi lain. Lebih mengerikan lagi karena fragmentasi pertentangan ini selalu menjadi potensi konflik atau menjadi penyemaian paling subur untuk menumbuhkan pertikaian para elite kekuasaan, biasanya ditopang kepentingan militer, dengan menyematkan identitas keagamaan pada pihak-pihak yang terlibat konflik secara langsung.
Dapat dikatakan bahwa penafsir pluralisme yang ada sekarang masih memilih metodologi yang kurang tepat, sehingga lebih mudah menimbulkan benturan budaya (shock culture) ketimbang proses penyadaran umum. Boleh jadi inilah yang menjadi penyebab gagalnya ditemukan pola perbincangan tentang tema-tema keberagaman yang lebih produktif dan konstruktif. Atau juga, boleh jadi inilah penyebab kesenjangan gerakan kaum muda dan tua seperti diperlihatkan pada komunitas NU, di mana tafsir keagamaan yang sangat puritan masih lazim diteriakkan di pesantren-pesantren tradisional sedangkan “Islam Liberal” sudah menjadi ciri khas sebagian kaum muda Nahdhiyyin. Demikian pula jargon keagamaan khas Muhammadiyah dalam memberantas TBC (Tachayul, Bid’ah dan Churafat) masih menjadi kebanggaan kalangan tua tertentu sedang “Islam Transformatif” dan “Islam Inklusif” sudah disikapi secara massif oleh kaum muda Muhammadiyah.
Lebih dari itu, pelan-pelan terungkap bahwa di satu sisi, dalam batas tertentu, pluralisme diterima untuk memapankan gerakan keagamaan yang telanjur melembaga dalam mazhab pemikiran keagamaan, agar dapat bertahan menghadapi perubahan zaman serta yang terpenting adalah untuk menghadapi “lawan” mazhabnya. Wajarlah jika suatu saat akan ada “peperangan” kelompok-kelompok yang masing-masing mengangkat bendera pluralisme.
Sedang di sisi lain, pluralisme dikemas menjadi bahan bakar kemandirian dengan mengedepankan kemerdekaan berpendapat serta penghargaan yang sungguh-sungguh pada gagasan-gagasan individu maupun kelompok. Golongan ini berusaha mencegah pluralisme jatuh pada alat propaganda teologis tertentu. Sayangnya, golongan ini masih kurang mengartikulasi diri atau, paling tidak, kalah gencar dengan golongan yang menganut cara pandang pertama. Akhirnya pluralisme diterima masyarakat sebagai konsepsi yang penuh stigma perdebatan teologisnya ketimbang sebagai katalisator pemandirian warga dari supremasi politik kekuasaan.
Kesimpulan
Masa depan masyarakat sipil di Indonesia perlu diusung dengan kerangka yang lebih sistemik melalui banyak halo.Pertama, perangkat transformasinya bukan unsur elite sosial maupun politik apalagi birokrasi negara yang bermain sendiri dengan segenap kepentingan pragmatisnya, melainkan dari institusi sosial yang mengakar bersama nafas unsur-unsur masyarakat yang ada. Tatanan baru masyarakat masa depan harus berbasiskan peran serta unsur-unsumya secara aktif dengan menempatkan penghargaan atas kesetaraan hak atas proses perubahan sosial sebagai common ground.
Kedua, fungsi komponen penggerak masyarakat sipil ialah mematangkan pendidikan politik rakyat menuju pendewasaan sosial. Tanpa percepatan pendewasaan sosial, boleh jadi transisi demokrasi untuk suatu masyarakat sipil harus dimulai dengan Civil Disobedience (Sularto, Kompas, 5-8-2002).
Ketiga, gerakan masyarakat sipil harus dapat memanfaatkan nilai pluralisme yang sudah tumbuh dan membudaya dalam masyarakat secara optimal. Pluralisme ― terutama pluralisme agama ― tidak patut direduksi maknanya menjadi liberalisasi yang menghasilkan “nihilisme” doktrin suci agama. Pluralisme agama harus diberi peran yang dapat menjiwai proses pendewasaan sosial.
Kenyataan transisi sosial, politik dan demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa ranah pluralisme agama amat miskin untuk mendorong lahirnya masyarakat sipil yang kuat. Bahkan sebaliknya, dekonstruksi yang dilakukan terhadap keberagamaan yang tradisonalistik atas nama pluralisme agama justru menghilangkan benang merah fungsi-fungsi keberagaman agama dalam realitas sosial bangsa Indonesia. Kemasan gerakan pluralisme agama hanya berpindah dari doktrin keyakinan yang satu ke jenis doktrin keyakinan baru. Dengan demikian pluralisme agama hanya berdampak pada dogma teologis belaka bukan pada proses transformasi sosial dan pemberdayaan serta pendewasaan rakyat.
Masyarakat sipil di Indonesia tidak dapat berharap banyak lewat pintu pluralisme keagamaan. Lilitan problem sosial dan ekonomi pada kurang lebih 80% masyarakat Indonesia mendorong proses pragmatisasi cita-cita masyarakat dalam menata perubahan ke arah masa depannya. Hal ini menyebabkan tema-tema kesejahteraan, pemerataan, pemberdayaan, dan sejenisnya mungkin lebih dapat menggerakkan massa petani-nelayan, buruh, kaum miskin marginal, pegawai-pegawai rendahan, bahkan mahasiswa, ketimbang tema keagamaan. Kecuali gagasan pluralisme agama bergerak dari segmen teologis an-sich ke arah penafsiran sosiologis yang tepat.
Wallahu a’lam bisshawab.
Sumber Bacaan
Agnivesh, S., Asia-The Reconsiler, makalah, ACRP, 2002.
, The Dharma Dialogue Lecture, makalah, 2002.
Arkoun, M., Nalar Islami dan Nalar Kritis, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Binder, L., Islam liberal: Kritik Terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Engineer, Asghar A., Islam and Human Rights, makalah, 2002.
Gellner, E., Masyarakat Sipil, Bandung: Mizan, 1995.
Huxley, A., Filsafat Perenial, Yogyakarta: Qalam, 2001.
Lengkong, J., Jihad dalam Perspektif Kristen, makalah, 2002.
Rahman, S. dan Thoha, A.M., Pluralisme Agama ditilik dari Nalar Kritik dan Historis, dalam Harian “Media Indonesia”, 28-6-2002.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1994.
Mangunwijaya, Y.B., Mengembalikan Keberadaan Gerakan Rakyat, dalam Jurnal “Prisma”, No.7/XVIII, Jakarta: LP3ES, 1989.
McIriner, W., Agama di Abad Duapuluh Satu, dalam jurnal “Ulumul Qur’an”, No.5 Vol. II, Jakarta, 1990.
Sirry, Mun’im A., Kerancuan Nalar Kritis Pluralisme Agama, dalam Harian “Media Indonesia”, 5- 7-2002.
Sucipto, H., Interreligious, Pluralisme dan Perdamaian, dalam Harian “Republika”, 28-6-2002.
Sutrisno, M., Jurnal Ulumul Qur’an, No.4, Vol. IV, artikel, Jakarta, 1993.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email