Pesan Rahbar

Home » » Mendialogkan Teks Agama Dengan Makna Zaman Menuju Transformasi Sosial

Mendialogkan Teks Agama Dengan Makna Zaman Menuju Transformasi Sosial

Written By Unknown on Sunday, 25 September 2016 | 16:45:00


Oleh: M Hilaly Basya

Teks agama dalam peradaban Islam memiliki posisi sentral. Karena itu, tesis Nashr Hamid Abu Zayd yang menyatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks adalah tepat.[1]

Dari masa ke masa produk pemikiran umat Islam tidak pernah lepas dari teks agama. Yang dimaksud teks agama oleh Abu Zayd adalah al-Quran. Jika dikomparasi dengan peradaban Barat yang berasas pada konsep, maka sesungguhnya peradaban Islam pun berasas pada konsep. Namun konsep tersebut tetap saja merujuk pada teks. Dengan kata lain, peradaban Islam memposisikan teks sebagai paras utamanya.

Tesis Abu Zayd tadi, dengan bahasa lain diungkapkan oleh Muhammad Abid al-Jabiri, bahwa peradaban Islam dibangun dengan "nalar bayani". Bayani, menurut al-Jabiri, berakar dari pemikiran Imam Syafi'i yang menjadikan teks sebagai rujukan utama dalam membahas persoalan-persoalan umat Islam, baik yang bersifat ibadah ritual maupun sosial-ekonomi-politik. Artinya, "nalar bayani", menggunakan perspektif teks dalam membaca realitas historis.[2]

Rasionalitas digunakan sebatas pada mediasi dan penjelas teks. Muaranya, teks tetap menjadi otoritas utama. Teks tidak dilihat sebagai suatu simbol-partikular yang diproduksi oleh budaya tertentu, melainkan sebagai bahasa langit yang absolut, yang mengatasi atau melampaui ruang dan waktu. Dalam "nalar bayani", tidak berlaku kontekstualisasi, apalagi penafsiran yang berbeda dan berseberangan dengan teks. Bagi "nalar bayani, teks memiliki makna tunggal yang abadi.

Di sinilah pokok permasalahannya. Sungguh pun al-Jabiri tidak menolak otoritas teks tetapi menyayangkan jika "nalar bayani" dijadikan metode dalam memproduksi syariat Islam sebab akan menjauhkan penafsir dari tujuan teks. "Nalar bayani" memandang tanda identik dan permanen dengan maknanya sehingga melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal.

Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat.

Maka "nalar bayani" menutup peran akal untuk mengelaborasi lebih jauh tentang maksud dan tujuan teks. Bagi "nalar bayani", tidak ada tujuan syariat (maqashid asy-syari'ah) yang bisa diambil kemudian dikontekstualisasikan dengan realitas kontemporer.

Dengan demikian, teks al-Quran bagi umat Islam tidak bisa dilepaskan dari gerak peradaban. Persoalannya kemudian peradaban teks dan "nalar bayani" memperlakukan teks menjadi monointerpretatif.

Maksudnya, teks yang sesungguhnya merupakan produk sejarah dan karena itu profan dalam tradisi Islam diperlakukan secara sakral dan melampaui sejarah sehingga memunculkan kesenjangan antara teks dan persoalan-persoalan kemanusiaan. Kesenjangan tersebut bisa diartikan sebagai "kegagapan" dalam menghadapi modernitas Barat, yang kemudian membuat umat Islam merasa "terasing" lalu bersikap anti-Barat, serta menghidupkan kembali ajaran-ajaran Islam yang dianggap murni.

Ajaran Islam yang diklaim sebagai bersifat "murni", seperti yang terkandung secara tekstual dalam al-Quran dan sunah, pada akhirnya, menimbulkan puritanisasi bentuk-bentuk keagamaan yang dianggap bukan berasal dari Islam. Dengan sendirinya puritanisasi tadi berimplikasi pada penolakan tradisi lokal. Kesenjangan tersebut juga menimbulkan kegagapan dalam mengaitkan Islam dengan persoalan krusial-kemanusiaan seperti kemiskinan, diskriminasi, eksploitasi, marginalisasi, kebodohan, dan korupsi.

Di sinilah lerak pentingnya tawaran mendialogkan teks agama (al-Quran) dengan persoalan-persoalan kemanusiaan. Tulisan ini berupaya mengeksplorasi lebih jauh metodologi yang tepat dalam kaitan mendialogkan teks agama menuju transformasi sosial.


Teks dan Hermeneutika

Pada dasarnya teks adalah produk budaya. Al-Quran sebagai firman Allah yang direkam dalam bentuk teks diproduksi oleh sebab dan peristiwa, yang dalam "ulum al-Qur'an disebut sebagai asbab an-nuzul. Terkait dengan hal itu, Abdullahi Ahmed an-Na'im membedakan antara ayat-ayat yang diturunkan pada periode Mekkah dan Madinah.[3]

Menurut an-Na'im, ayat-ayat pada periode Mekkah mengandung gagasan kemanusiaan universal yang tidak terikat dan tidak terbatasi identitas agama sedangkan ayat-ayat yang diturunkan pada periode Madinah bersifat sebaliknya.[4]

Maksudnya, perbedaan karakter ayat-ayat tesebut disebabkan oleh konteks sosial yang berbeda-beda.

Teks agama tidak muncul di ruang hampa melainkan di ruang yang "penuh masalah". Maka, teks agama terkonstruksi secara kultural dan terstruktur secara historis. Jika pembacaan terhadapnya dilepas dari konteks sosial-budaya yang mengonstruksinya, maka makna yang dikandungnya akan menjadi asing dan kehilangan relevansinya.

Oleh karena itu, makna yang dikandung teks dinamis, tidak berlaku sepanjang zaman dan seluruh tempat. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa teks agama terkurung dalam ruang dan waktu. Teks agama yang berbicara mengenai warisan untuk anak perempuan misalnya, bagi al-Jabiri, mencerminkan adanya negosiasi dengan realitas.

Pada masa tersebut, masyarakat Arab memiliki tradisi melakukan penikahan antarsuku demi persaudaraan dan persahabatan. Namun, hal itu bermasalah dan seringkali menimbulkan konflik sebab ketika perempuan yang telah menjadi istri dari suku lain mendapat warisan, hartanya secara otomatis akan menjadi milik suaminya. Hal ini menimbulkan penumpukan harta pada suku suami.

Oleh karena itu, masyarakat Arab pra-Islam meniadakan hak waris bagi perempuan agar tidak ada peperangan yang dipicu oleh warisan. Ketika Islam datang dan melihat masalah ini, Islam memutuskan untuk memberikan warisan kepada perempuan dengan ukuran setengah bagian laki-laki. Hal ini berangkat dari itikad untuk menghormati hak perempuan[5]

sedangkan persoalan kesaksian perempuan yang dianggap tidak sebanding dengan laki-laki adalah karena Islam melihat "modal budaya" perempuan tidak memadai, lantaran pendidikan yang rendah serta akses kepada informasi yang terbatas.[6]

Perspektif tentang teks semacam ini ditawarkan oleh hermeneutika. Hermeneutika bisa didefinisikan sebagai ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata, teks, atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang.[7] Hermeneutika bertugas menjembatani jurang antara masa lalu dan masa kini. Maksudnya, agar makna teks akibat dinamika dan perubahan situasi dapat tetap terjaga relevansinya.

Selain itu, dalam perspektif hermeneutika, teks tidak berdiri sendiri. Ada relasi yang erat antara proses pewahyuan, bahasa, isi, dan komunitas yang mengonsumsi teks sehingga teks lahir dari sebuah "pergumulan" sengit dengan problem komunitas tertentu. Maka, sesungguhnya teks tidak bersifat unik. Teks merepresentasikan cita rasa budaya komunitas tertentu, sebagaimana dapat dirasakan kuatnya aroma budaya Arab dalam al-Quran.


Hermeneutika dan Transformasi Sosial

Meskipun akhir-akhir ini telah muncul perkembangan yang menggembirakan dalam dunia intelektual Muslim "•lantaran mereka mengunakan hermeneutika dalam pembacaannya terhadap teks agama, ada sesuatu yang harus dikritisi dari perkembangan tersebut. Mereka tampaknya lebih tertarik pada cultural struggle, tempat demokrasi, pluralisme, toleransi, kebebasan, dan sebagainya menjadi objek perhatiannya. Artinya, mereka lemah dalam membaca kondisi objektif sosial akibat modernisasi (pembangunan). Wacana yang diangkat tidak berpihak pada masyarakat yang termarginalkan. Walhasil, hermeneutika digunakan sebatas pembaruan Islam demi kepentingan kelas menengah sementara kalangan yang termarginalkan seperti terlempar dalam "ruang kosong".

Berkaitan dengan hal ini, Moeslim Abdurrahman menegaskan bahwa pembacaan kembali teks dari masa lalu harus disertai dengan pembacaan konteks sosial sekarang. Bahkan, menurutnya, pembacaan teks tersebut harus diawali dengan pembacaan konteks sosialnya. Dengan begitu, makna teks yang responsif baru ditemukan. Lebih jelasnya, Moeslim mengatakan sebagai berikut:
Seringkali orang hanya mengatakan bahwa Islam harus disesuaikan dengan konteksnya tetapi bagaimana membaca konteks itu? Itulah yang tidak pernah dilakukan. Konteks sosial itu yang perlu didefinisikan dengan tepat. Perlu ada pembacaan kembali teks dari masa lalu sekaligus melakukan pembacaan konteks sosial sekarang. Tanpa memulai dengan pembacaan konteks sosial, kita tidak akan menemukan makna teks yang baru, relevan, dan responsif terhadap kondisi objektif.[8]

Dengan demikian, penggabungan hermeneutika sosial dengan hermeneutika teks adalah kuncinya. Intelektual Muslim Indonesia, menurut Moeslim, kurang melakukan hermeneutika sosial sehingga tidak bisa menemukan tafsir baru yang memihak atau lebih tepatnya tafsir yang membebaskan, inilah hermeneutika transformatif. Dalam refleksi tersebut penafsir diajak untuk merenungkan konteks sosial seperti apa yang sedang dihadapi. Tanpa mengidentifikasi konstruksi sosial tempat teks tersebut ingin dicari makna barunya, maka penafsiran tersebut akan kehilangan semangat pembebasannya.

Disinilah, urgensi tawaran mendialogkan teks dengan makna zaman, yakni menemukan relevansi al-Quran dalam perjuangan pembebasan kaum yang termarginalkan dan tertindas. Dengan cara itu, metode hermeneutika transformatif melibatkan al-Quran dan teladan Muhammad saw dalam refleksi teologis demi praksis pembebasan dan memosisikan agama sebagai ideologi yang memperjuangakan keadilan sosial. Hermeneutika transformatif melihat agama tidak muncul di ruang hampa. Kemunculan agama merupakan respon terhadap konstruksi sosial yang menindas. Agama muncul untuk menggugat ketidakadilan dan penindasan tersebut. Sebagaimana dapat disaksikan dalam gugatan agama yang dibawa Nabi Ibrahim terhadap despotisme Namrud. Ibrahim mendekonstruksi mitos "penguasa manusia" pada diri Namrud dengan menghancurkan berhala-berhala.

Contoh lain adalah agama yang dibawa Musa yang berjuang membebaskan bangsa Yahudi dari penindasan Fir'aun. Gugatan agama Musa mengambil bentuk penghancuran keangkuhan Fir'aun yang telah melampaui batas dan mengklaim diri sebagai Tuhan. Pemberontakan ini oleh Hassan Hanafi disebut sebagai pembebasan dari otoritarianisme.[9]

Oleh karena itu, teks-teks agama diproduksi sesuai dengan raison d'etre agama itu sendiri, yang dalam perspektif hermeneutika transformatif dimaknai sebagai kritik atau gugatan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Semangat yang dikandung teks-teks agama pada prinsipnya membangunkan kesadaran masyarakat tertindas untuk melakukan resistensi dan memperjuangkan keadilan. Maka, dalam tafsiran hermeneutika transformatif, Islam adalah semangat "resistensi universal" yang dikemas dalam lokalitas kearaban. Terma Islam sendiri berasal dari bahasa Arab, jadi menggunakan terma lokal. Kemudian nama Tuhan yang diperkenalkannya pun sudah dikenal sebagai Tuhan masyarakat Arab. Sungguh pun dikemas dalam lokalitas kearaban tetapi semangat gugatan dan perlawanan terhadap penindasan adalah "semangat universal" yang ada dalam semua agama di dunia.

Penjelasan panjang di atas dapat disederhanakan dengan kesimpulan bahwa diperlukan kunci-kunci hermeneutik agar teks al-Quran yang diproduksi empat belas abad silam tetap relevan dengan problem sosial kekinian dan kesinian. Kunci-kunci tersebut adalah perangkat untuk memahami al-Quran dalam konstruksi sosial yang menindas. Farid Essack membuat dua kunci utama yaitu takwa dan tauhid. Keduanya ditujukan pada pembangunan kriteria moral dan doktrinal untuk menguji kunci-kunci lain.[10]

Jelasnya, takwa membuat penafsir terlepas dari subjektivitas yang berlandas pada kepentingan pribadi sedangkan tauhid merupakan "pandangan dunia" yang menentang otoritarianisme, despotisme, diskriminasi, dan eksploitasi.

Mengacu pada pendapat Essack tadi, tauhid tidak dimaknai sebatas keesaan Tuhan dalam penjelasannya yang metafisik-filosofis, melainkan sebagai tauhid sosial, ketika Tuhan digunakan untuk ukuran tentang nilai-nilai kesetaraan manusia sebab nilai yang dikandung tauhid menyatakan bahwa hanya Tuhan yang Mahatinggi, selain-Nya memiliki posisi yang sama dan setara. Maka, diskriminasi, eksploitasi, dan marginalisasi dinilai tidak sesuai bahkan bertentangan dengan konsep tauhid.


Penutup

Al-Quran dalam perspektif hermeneutika transformatif tidak berdiri di ruang hampa. Sejak awal, kemunculannya merupakan respons akan ketidakadilan dan penindasan yang terjadi dalam masyarakat Arab dengan menggunakan terma-terma lokal-kearaban yang tentu sangat dipahami oleh masyarakatnya pada saar itu.

Atas dasar itu, peran al-Quran saar ini sejatinya merespon persoalan-persoalan yang kurang lebih memiliki kemiripan dengan perannya di masa awal. Ini bukan berarti problem kemanusiaan itu senantiasa sama sepanjang masa. Perkembangan dan dinamika sosial yang berubah semakin cepat akibat modernisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kondisi tersebut tidak terjadi secara alami, melainkan karena sistem yang digunakan.

Dalam konteks seperti inilah metode hermeneutika transformatif digunakan, yakni untuk mendialogkan teks agama dengan problem marginalisasi, penindasan, dan ketidakadilan. Di sini, al-Quran dilibatkan dalam proses kritik sosial dan gerakan penyadaran. Dengan kata lain, hermeneutika transformatif mentransendensikan gerakan transformasi sosial, agar gerakan tersebut lebih kuat tertanam dan subjeknya tidak tercabut dari akarnya.


Referensi:

1. Nashr Hamid Abu Zayd. 2003. Tekstualitas Al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an (terjemahan). cetakan ke-3. LKiS: Yogyakarta. hlm. 1.
2. Muhammad Abid al-Jabiri. 2000. Post Tradisionalisme Islam. cetakan ke-1. LkiS: Yogyakarta. hlm. 58-87.
3. Konsep tersebut sebenarnya merupakan ajaran gurunya, Mahmud Muhammad Thaha. An-Na'im berusaha mematangkan dan menyosialisasikannya agar menjadi kesadaran kolektif.
4. Lihat Abdullahi Ahmed an-Na'im. 2001. Dekonstruksi Syari'ah: Wacana Kebebasan Sipil, HAM, dan Hubungan Internasional dalam Islam. cetakan ke-3. LkiS: Yogyakarta.
5. Muhammad Abid Al-Jabiri. 2003. Syuro: Tradisi, Partikularitas, Universalitas. cetakan ke-1. LkiS: Yogyakarta. hlm. 126.
6. Ibid. hlm. 131-138.
7. Farid Essack. 2000. Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur'an, Librealisme, Pluralisme. Mizan: Bandung. hlm. 83.
8. Moeslim Abdurrahman. 2003. Islam Sebagai Kritik Sosial. Erlangga: Jakarta. hlm. 193.
9. Kazuo Shimogaki. 2000. Kiri Islam antara Modemisme dan Postmodenisme: Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi. cetakan ke-4. LkiS: Yogyakarta. hlm. 130.
10. Op.Cit. Farid Essack.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: