Tanya:
Banyak sekali riwayat dalam kitab Ushul Al-Kafi dan Bashairu Ad-Darajat yang menjelaskan perihal para imam suci dan kedudukan mereka. Dengan menelaah riwayat-riwayat itu, kita dapat memahami bahwa pertama kali makhluk yang diciptakan Allah Swt adalah mereka. Begitu juga hadis-hadis yang lain dan doa ziarah Al-Jami’ah Al-Kabirah yang menerangkan bahwa mereka adalah Asma’‘nama-nama’ Allah, wajah Allah, tangan Allah, dan lain sebagainya. Atas dasar hadis-hadis seperti ini, apakah kita bisa mengatakan bahwa maksud dari mengenal Allah Swt dan berjumpa dengan-Nya adalah mengenal para imam itu? Sebagaimana mereka pernah menyatakan, “Mengenalku sebagai wujud nurani (wujud yang memiliki kedudukan bercahaya) adalah mengenal Tuhan.”[1]
Tolong berikan kepada kami penjelasan bagaimana semestinya kita memahami hadis-hadis seperti ini dan hadis-hadis lain mengenai ma’rifatullah.
Jawab:
Kedudukan nurani yang dimiliki para imam adalah derajat kesempurnaan tertinggi yang telah mereka capai. Adapun disebutnya para imam sebagai Asma’ Allah, wajah Allah, tangan Allah, dan lain sebagainya, semua itu mengandung pembahasan irfan yang sangat mendalam dan tidak mungkin untuk diterangkan di sini. Penjelasan yang dapat diberikan secara singkat di sini adalah bahwa mereka merupakan manifestasi sempurna dari seluruh nama dan sifat agung Allah. Mereka memiliki hak untuk ditaati secara mutlak. Oleh karenanya, mengenal mereka sama seperti mengenal Allah.
Mengenal Diri sebagai Kunci Mengenal Tuhan
Tanya: Sebagaimana yang tercatat dalam kitab Risalah Liqaiyah-nya Mirza Jawad Agha Maliki, berfikir dan merenung seputar pengenalan kita akan diri adalah kunci pengenalan kita akan Tuhan. Dengan mengakui keberadaan jiwa (ruh) sebagai maujud yang abstrak (mujarrad), apakah mungkin akal kita mampu mengenalnya? Kalau memang mampu, tolong Anda berikan keterangan yang lebih jelas dari keterangan yang ada dalam kitab itu.
Jawab: Akal mampu mengenal hal-hal yang abstrak sebagaimana ia mampu memahami hal-hal yang kongkret dan materiil. Dalam Filsafat, khususnya pada bab Mujarradat (realitas-realitas abstrak),banyak sekali permasalahan-permasalahan realitas abstrak yang dapat diselesaikan di sana. Akan tetapi “berfikir” yang dimaksud di sini bukanlah berfikir biasa, yakni di suatu ruang yang sunyi; tanpa suara bising, seseorang duduk sendiri lalu memejamkan kedua matanya dan membayangkan wajahnya sebagaimana ketika ia sedang bercermin, kemudian ia menepis semua khayalan selain wajahnya yang setiap kali mendatangi pikirannya.
Penjelasan atas Dua Persoalan
Tanya: ada dua persoalan yang pernah dijelaskan dalam Risalah Liqaiyah. Yang pertama mengenai berfikir seputar mengenal diri yang dijelaskan semikian, “Ada kalanya seseorang merenung sampai pada penguraian dirinya, dan ada kalanya dia merenung sampai pada penguraian alam semesta sehingga dia menyaksikan bahwa apa yang dia ketahui dari alam semesta itu tidak lain adalah dirinya sendiri dan alam wujudnya; bukan alam eksternal, dan bahwa sesungguhnya alam-alam yang dia ketahui hanyalah satu tingkatan dari dirinya.”
Yang kedua dijelaskan begini, “Hendaknya dia menepis setiap khayalan dari hatinya kemudian berfikir akan ketiadaan.”
Yang ingin saya tanyakan di sini ialah: apa yang dimaksud dengan menepis khayalan dan memikirkan ketiadaan? Saya berharap Anda dapat menjelaskan kedua persoalan di atas.
Jawab:
Maksud dari permasalahan pertama adalah bahwa seseorang senantiasa memahamkan dirinya bahwa setiap hal yang dia ketahui dari dirinya dan dari alam luar[2] sebenarnya ada dalam dirinya dan ia dapat mengetahui semuanya dengan cara mengetahui dirinya. Untuk memahami alam luar, ia dapat mengetahuinya dengan cara memahami diri sendiri tanpa harus memahami alam luar terlebih dahulu. Adapun maksud dari menepis khayalan yaitu seseorang hanya membayangkan wajahnya saja dan jangan sampai hal-hal yang lain terlintas di dalam benaknya. Dan yang dimaksud berpikir dalam ketiadaan, yakni seseorang harus memahami bahwa wajah yang sedang ia bayangkan pada hakikatnya adalah ketiadaan.
Mencapai Derajat “Mengenal Diri”
Tanya: Apakah orang-orang yang tidak bermazhab Islam, bahkan tidak beragama, mampu mencapai kedudukan mengenal diri dengan cara menjalankan amalan-amalan ajaran agamanya? Jika mampu, sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa orang yang telah mengenal diri maka telah mengenal Tuhannya, tentu ia akan mencapai tujuan hakiki Islam, yaitu Tauhid. Dengan demikian, mereka tanpa harus memeluk ajaran Islam dan mengamalkan ajaran-ajarannya dapat mencapai tujuan mereka yang hakiki. Oleh karenanya, saya ingin mengkonfirmasikan; apakah perkiraan ini benar?
Jawab: Sebagian orang mengira hal ini mungkin terjadi dan masuk akal. Akan tetapi, jika kita merujuk ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat, akan kita temukan bahwa hal ini tidak dapat dibenarkan, kecuali jika orang-orang tersebut adalah mustadh’af yang benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk mengenal Islam.
Maksud dari mengingat Tuhan
Tanya: Apa maksud dari “mengingat Tuhan” yang sering kita jumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an? Apakah mengingat para kekasih Tuhan dan nikmat-nikmatnya juga termasuk mengingat Tuhan? Tolong Anda jelaskan maksud dari mengingat Tuhan!
Jawab: Dari redaksinya saja sudah jelas apa maksud mengingat Tuhan. Yang dimaksud dengan mengingat Tuhan adalah pertama-tama, kita mengingatnya di saat melakukan suatu pekerjaan atau menjauhi suatu perbuatan sebagaimana yang Allah Swt inginkan. Dan lebih tinggi dari pengertian ini, kita harus selalu menyadari bahwa diri kita sedang berada di hadapan Tuhan. Lebih tinggi lagi, kita “melihat” Tuhan berada di hadapan kita.
Referensi:
[1] Bihar Al-Anwar: jil. 26; hal. 101.
[2] Yang dimaksud dengan alam luar adalah segala hal yang ada di luar mental dan pikiran.
Disadur dari buku Islam, Dunia dan Manusia, karya Allamah Thabathabai
(Hauzah-Maya/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email