Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Muhammad Baghowi meminta pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH) ditunda. Karena jika dipaksakan, dikhawatirkan bisa menimbulkan banyak masalah. Diantaranya potensi persaingan usaha dalam bidang penerbitan sertifikasi halal.
Sebagaimana diberitakan beritasatu.com, Kamis, 13 Oktober 2016, selain menimbulkan persaingan usaha, kata Baghowi, publik akan mempertanyakan siapa yang akan memungut uang hasil sertifikasi halal yang totalnya mencapai Rp 480 triliun dalam lima tahun.
Diceritakan oleh Baghowi, masa berlaku sertifikasi halal adalah 3 tahun, dan harus mulai mengurus perpanjangan sejak 6 bulan sebelum masa berlakunya habis. Jadi, dalam lima tahun, pengusaha harus dua kali mengurus surat halal. Sekali pengurusan biayanya sebesar Rp 6 juta, sehingga bila ditotalkan bisa mencapai Rp12 juta dalam lima tahun.
Jika angka ini dikalikan dengan 40 juta pengusaha, maka hasil yang ditarik dari masyarakat dalam lima tahun mencapai Rp 480 triliun.
Ketika ditanyakan, apakah DPR saat ini sedang menyinggung kewenangan siapa yang berhak mengeluarkan sertifikasi terhadap kehalalan suatu produk, ia mengatakan saat ini DPR tengah menggodoknya. Masih ada tarik-menarik tentang siapa yang berhak mengeluarkan sertifikasi terhadap kehalalan suatu produk, yang selama ini masih dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Dalam pembahasan, MUI meminta dialah yang memegang sertifikasi dan negara hanya mengurus administrasi saja. Itu tarikan yang masih alot dalam pembahasan RUU,” imbuhnya.
Karena MUI adalah organisasi masyarakat, maka menurut Baghowi, MUI tidak berhak melakukan penarikan terhadap uang dari masyarakat sebesar Rp 480 triliun tersebut. Yang berhak menarik uang dari masyarakat hanya negara. Bahkan, ia menilai jika kehalalan adalah sebagai urusan agama, maka bukan hanya MUI saja yang paham soal agama.
“Kan juga masih ada Muhammadiyah, dia juga punya ahli-ahli agama,” ungkap Baghowi.
Baghowi mengungkapkan, Kementerian Kesehatan tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU JPH dan hanya melibatkan Kementerian Agama sebagai wakil dari Pemerintah.
Ia berpendapat sebaiknya negara melakukan penguatan-penguatan terlebih dahulu. Karena nantinya, daerah pun juga akan terkena dampak dari aturan ini.
“Harus ada pengawas di daerah. Kalau belum ada, kan harus melakukan pelatihan juga. Anggaran kita belum kuat, pengusaha juga belum kuat,” katanya.
(Berita-Satu/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email