Pesan Rahbar

Home » » Merawat Indonesia Dalam Keberagaman

Merawat Indonesia Dalam Keberagaman

Written By Unknown on Wednesday, 26 October 2016 | 02:31:00

Diskusi rutin yang digelar komunitas Pelita Harapan dihadiri peserta lintas agama. (Foto: Jawa Pos)

Isu yang diperjuangkan komunitas ini terbilang berat: toleransi. Tidak mudah memang. Namun, niat dan misi mereka sungguh mulia. Yakni, menjaga Indonesia tetap harmonis dalam indahnya perbedaan.

Selain mayoritas berusia muda, aktivis komunitas Pelita Harapan di Cirebon, Jawa Barat, punya latar belakang agama yang beragam. Selain enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, dan Khonghucu), ada penganut kepercayaan seperti Sunda Wiwitan. Bahkan, ada yang mengaku Yahudi dan Kristen Ortodoks.

’’Yang mengakui adanya Tuhan tapi tidak memilih agama juga ada,’’ ungkap Ketua Umum Pelita Harapan Abdurrahman Wahid.

Sekretariat Pelita Harapan berada di Jalan Perjuangan Majasem 89, Karangmulya, Kesambi, Cirebon. Abdurrahman menjadi ketua kedua di organisasi yang berdiri pada 28 Oktober 2011 itu.

Kehadiran Pelita Harapan tidak bisa dilepaskan dari insiden bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon pada April 2011. Setelah peristiwa itu, muncul kecurigaan antarwarga. Ada kekhawatiran terulangnya peristiwa berdarah tersebut. ’’Ada syak wasangka. Khawatir ekstremisme agama muncul,’’ kata Abdurrahman.

Nah, dalam masa pemulihan pasca ledakan bom itu, Pelita Harapan hadir. Pelita awalnya merupakan singkatan Pemuda Lintas Iman yang digagas dalam forum diskusi setiap Sabtu. Salah satu inisiatornya adalah KH Marzuki Wahid.

Dalam forum Sabtuan yang dihadiri para pemuka agama tersebut, belum ada pemuda yang terlibat. Karena itu, dibentuklah komunitas di kalangan pemuda. Tujuannya, sesama generasi muda bisa saling memahami dan memperkuat toleransi.

Akar nilai persatuan mereka gali dari kearifan lokal khas Cirebon. Salah satunya mengacu pada nasi jamblang, nasi pulen dengan sambal khas yang dibungkus daun jati muda. Lauknya beraneka macam, terserah penikmatnya. Ada ikan asin, tempe, sate udang, hingga paru.

’’Seperti nasi jamblang yang berbeda-beda lauknya, tapi dalam satu wadah daun jati,’’ ujar mahasiswa jurusan Filsafat Agama Institut Studi Islam Fahmina itu.

Kelahiran Pelita Harapan bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Semangat Sumpah Pemuda mengiringi perjuangan mereka. Yakni, menyatukan para remaja yang berbeda-beda latar belakang. ’’Kami sedang persiapkan perayaan ulang tahun. Kami akan hadirkan seni dari berbagai macam latar belakang,’’ kata Abdurrahman.

Selama lima tahun berjalan, banyak kegiatan yang mereka lakukan. Yang rutin adalah dialog bulanan. Tempatnya berpindah-pindah. Dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah yang lain. Mereka mendatangi masjid, gereja, wihara, pura, hingga kelenteng. Tempat bersejarah seperti Keraton Kanoman di Cirebon juga disinggahi. ’’Sudah lebih dari 40 tempat ibadah berbeda yang kami kunjungi,’’ ungkapnya.

Di antaranya, Gereja St. Yosep Cirebon, Pura Agung Jati Pramana Cirebon, Vihara Welas Asih, GKI Rahmani, Kelenteng Talang, dan Masjid Cut Mubarok. Ada pula Paseban Tri Panca Tunggal di Cigugur dan Pesantren Kempek Palimanan. Tempat ibadah tersebut boleh dibilang menjadi kantor tak resmi Pelita Harapan.

Dialog bulanan dibuat dalam suasana santai. Jauh dari kesan formal. Terkadang duduk lesehan dengan jamuan makanan ringan. Pemuka agama rumah ibadah yang dikunjungi akan memberikan pengantar dialog. Setelah itu, peserta lain bergantian berbicara. Tema dialog berkisar tentang masalah toleransi antaragama.

’’Sekali dialog bisa sampai tiga jam atau lebih. Suasananya benar-benar seduluran,’’ ujar Abdurrahman.

Pelita Harapan juga membuat buku bunga rampai. Isinya beragam. Ada esai, hasil penelitian, hingga curahan hati para aktivis komunitas tersebut. Buku berjudul Merayakan Perbedaan itu ditulis 17 pengurus Pelita Harapan.

Abdurrahman yang menjadi editor sempat dibuat puyeng karena tak semua punya pengalaman menulis. Ada yang bergaya makalah nan serius. Ada juga yang sangat nyantai dengan memakai bahasa lisan. ’’Dari situ saja perbedaan itu sudah pasti ada,’’ ujarnya.

Haryono, aktivis Pelita Harapan lainnya, merasakan hal positif dari aktivitas yang mereka jalani. Wawasan tentang toleransi antarumat beragama jadi semakin terbuka. Dalam beberapa kesempatan, dia terlibat dalam perayaan umat agama lain. ’’Saya jadi penerima tamu,’’ ungkap mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, itu.

Ide-ide tentang toleransi terus terawat dan berkembang. Anggota komunitas pun bertambah dan semakin majemuk. Salah satunya adalah Paisios Johan Theodore Tendean. Dia masih duduk di bangku SMA kelas XII. ’’Di sini saya bisa mengekspresikan cara beragama saya. Seperti menemukan rumah kedua,’’ ujar pemeluk Kristen Ortodoks itu.

Abdurrahman berharap Pelita bisa terus berkembang. Kini mereka aktif menjalin jejaring dengan organisasi lain yang punya kepedulian pada isu toleransi. Wilayah jangkauan mereka sampai Kuningan, Majalengka, dan Indramayu. ’’Dalam setahun sampai dua tahun ke depan, setidaknya bisa berkembang sampai se-Jawa Barat,’’ katanya

(Jawa-Pos/satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: