Wakil Ketua MUI Balikpapan KH Mohammad Anas Mochtar (dua dari kanan) bersama pengurus lainnya mengeluarkan dua fatwa haram usai pleno di kantor MUI, Selasa, 18 Oktober 2016 (Foto: prokal.co)
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Balikpapan menilai fatwa haram yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait penggunaan atribut agama lain dinilai lemah.
Ketua PCNU Balipapan, KH Mukhlasin mengaku kecewa dengan dengan dikeluarkannya fatwa haram tersebut. Sebab, yang dimaksud dengan tasyabbuh (menyerupai) atribut atau pakaian agama lain (non Islam), itu terdapat tiga tafsil (rincian).
Yang pertama, apabila orang tersebut sengaja memakai atribut untuk meniru agama lain dan untuk menyemarakkan kekafirannya, maka orang itu dihukumi menjadi kafir. Kedua, apabila sengaja (punya tujuan) orang tersebut turut menyemarakkan hari raya dengan tidak mengingat kekafirannya, maka hukumnya tidak kafir tetapi berdosa. Yang terakhir, apabila tidak sengaja untuk meniru sama sekali, tetapi hanya sekadar berpakaian demikian, maka hukumnya tidak terlarang namun makruh.
“Dasar pengambilan hukum ini diambil dari kitab Bughyah al-Mustarsyidin halaman 248. Begitu juga dikutip dari hasil Bahtsul Masail, Keputusan Muktamar ke-2 NU di Surabaya pada tanggal 9 Oktober 1927 M (kitab Ahkamul Fuqaha),” urainya.
Sorotan Mukhlasin yang dialamatkan ke fatwa MUI ini lantaran pada fenomena yang tidak mengarah larangan bagi perusahaan yang memaksa karyawannya menggunakan atribut keagamaan mereka, akan tetapi hanya pada atribut semata. Selain itu MUI mencampur adukkan antara subyek hukum dalam fikih Islam dengan akidah sebegai alasannya.
Menurut Mukhlasin, justru seharusnya yang perlu difatwakan MUI itu adalah bagaimana mengeluarkan fatwa larangan terhadap perusahaan yang memaksakan karyawannya yang berbeda keyakinan untuk memakai atribut agamanya. Begitu juga dengan pemerintah, saran Mukhlasin, harus membuat kebijakan jangan sampai karyawan muslim dipaksa untuk memakai atribut agama lain.
“Itu seharusnya tidak boleh dilakukan perusahaan-perusahaan untuk memaksakan karyawannya,” terangnya.
Sebelumnya, Komisi Fatwa MUI Kota Balikpapan resmi mengeluarkan dua fatwa haram bagi umat Islam nggunakan Atribut atau Simbol dari Agama Lain. Fatwa ini tertuang di Nomor 1 Tahun 2016. Fatwa kedua MUI yang diterbitkan adalah Nomor 2 Tahun 2016 tentang Hukum Penyalahgunaan Lem dan Sejenisnya yang Merusak Akal.
Fatwa haram tentang penggunaan atribut agama lain, MUI mendasarkan pada empat alasan.Yang pertama, MUI menilai bahwa terdapat fenomena di masyarakat pada saat peringatan hari besar agama lain sering kali para pemilik usaha pertokoan, rumah makan, supermarket atau department store, dan lain sebagainya meminta kepada karyawan untuk menggunakan atribut dari agama lain. Kedua, bahwa fenomena tersebut dianggap telah menimbulkan keresahan dari umat Islam kerena terdapat kesanksian terkait dengan status hukumnya menurut Islam.
Pertimbangan ketiga, MUI menilai terdapat kesimpangsiuran pendapat di kalangan masyarakat, para tokoh, dan pejabat publik menyikapi hak tersebut, termasuk di antaranya yang cenderung memudahkan sehingga dapat berpeluang merongrong pemahaman umat terhadap ajaran Islam dan mendangkalkan akidahnya. Terakhir, umat Islam perlu mendapat petunjuk yang jelas tentang permasalahan tersebut agar terhindar dari perbuatan mencampuradukkan akidah dan ibadah dengan akidah dan ibadah agama lain.
Mukhlasin menilai dari dahulu banyak perbedaan antara NU dengan MUI. “Memangdari dulu fatwa ulama klasik NU sering berbeda dengan hasil fatwa MUI. Kalau fatwa MUI dalam mengambil hukum mungkin memutlakkan, tapi kalau NU tidak begitu cara menyikapinya, masih dikaji melalui pertimbangan-pertimbangan,” jelasnya.
Mukhlasin mengaku sependapat dengan fatwa MUI terkait keharaman menyalahgunakan lem (ngelem). “Kalau ngelem sudah jelas tujuannya untuk mabuk. Saya kira tidak perlu difatwakan, karena sudah jelas apa pun yang memabukkan hukumnya haram,” bebernya.
Sementara itu, Ketua Muhammadiyah Balikpapan Muhammad Hendro tidak ingin berkomentar soal fatwa haram penggunaan atribut agama lain yang dikeluarkan MUI. Ia mengaku belum mengetahui isi fatwa MUI itu dan memerima tembusan pemberitahuan.
“Kalau memang ada fatwa MUI, nanti secara kelembagaan akan kita tanggagi. Kami mengeluarkan itu berpatokan dengan hasil rapat intern lembaga Muhammadiyah. Sebelum ada rapat secara kelembagaan, kami tidak bisa berkomentar apa pun,” pungkasnya.
(Procal/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email