Kiri ke kanan : Pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Ainul Yaqin, Koordinator Program Solidaritas Perempuan Nisa Yura, Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika Nia Sarifudin, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Ayu Ezra Tiara dalam konfrensi pers di LBH Jakarta, Minggu 23 Oktober 2016 (Foto: Kompas)
Hukum pidana Islam atau Hukum Jinayat (qanun jinayat) di Aceh berpotensi mengakibatkan kekerasan berlapis terhadap perempuan dan penerapan qanun jinayat terkesan dipaksakan sejak awal.
Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Ayu Ezra Tiara dalam siaran pers yang digelar Koalisi Masyarakat sipil Untuk Advokasi qanun jinayat mengatakan, hal itu terlihat dari pembahasannya yang terburu-buru.
Konfrensi pers digelar dalam rangka berefleksi atas satu tahun berlakunya Perda tersebut. Ia menyebutkan, penerapan qanun jinayat juga tidak melibatkan dan mempertimbangkan banyak masukan masyarakat.
“Qanun belum dapat diterapkan di Indonesia. Jika merujuk negara Islam, Arab saja untuk kodifikasi hukum Islam membutuhkan waktu yang lama,” ujar Ayu di LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Minggu 23 Oktober 2016.
Menurut Ayu, meskipun satu tahun berjalan namun hukum tersebut belum tepat diterapkan. Selain karena pembuatannya terkesan dipaksakan, di sisi lain hukum di Indonesia sangat dinamis.
“Kalau kita hanya main kodifkasi saja, itu tidak bisa. Keadaan hukum di Indonesia juga berubah-ubah, jadi apakah bisa diterapkan?,” Kata dia.
Sementara itu, Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Nia Sarifudin menyoroti minimnya sosialisasi dan diskusi sebelum aturan tersebut ditetapkan.
Menurut Ika, keterlibatan masyarakat dalam menyusun qanun jinayat sangat minim.
“Diskusi soal qanun, kualitas waktu dan pembahasannya itu masih minim. Pelibatan masyarakat, risetnya, juga sosialisasinya,” kata dia.
Lebih dari itu, lanjut dia, sosialisasi masih menjadi permasalahan penerapan aturan di Aceh.
“Bukan hanya qanun Aceh, tapi semua kebijakan pemerintah pusat dan daerah minim sosialisasi. Misalnya UU Perlindungan Anak, itu belum dipahami oleh masyarakat,” kata dia.
Data Monitoring Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut, sepanjang 2016 Mahkamah Syariah Aceh telah memutuskan sekitar 221 putusan perkara jinayat. Sedikitnya 180 terpidana telah dieksekusi cambuk di seluruh wilayah Aceh sejak Januari hingga September 2016.
Adapun daerah yang memutus perkara jinayat terbanyak adalah Banda Aceh yakni 40 perkara, di Kualasimpang diputuskan 29 perkara, Kutacane 24 perkara, Blangkejeren dan Jantho, 21 perkara, dan Langsa sebanyak 17 perkara.
Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo mengatakan, qanun yang setara dengan peraturan daerah telah menduplikasi pegaturan pidana di KUHP dan undang-undang lainnya di Indonesia.
“Ini menimbulkan dualisme penegakan hukum pidana di NAD. Khususnya untuk pasal-pasal kesusilaan yang telah diatur dalam KUHP,” ujar Supriyadi.
“Qanun Jinayat juga melegitimasi penggunaan hukuman badan/tubuh di Indonesia, yakni cambuk. Padahal sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk,“ sambungnya.
Dalam sepanjang pelaksanaan eksekusi cambuk tersebut, ICJR juga mendapati pelaksanaannya sarat akan pelanggaran.Penggunaannya diskriminatif karena tidak berlaku untuk beberapa orang yang memiliki jabatan. Serta menghasilkan budaya kekerasan, karena dipertontonkan secara umum.
“ICJR Meminta Pemerintah Indonesia untuk menghapuskan segala bentuk corporal punishment dalam peraturan perundang-undangannya dalam hal ini menghapuskan hukuman cambuk,” ucap Supriyadi.
Selain itu, meminta Pemerintah Indonesia mengevaluasi dan meninjau kembali keberadaan Qanun Jinayat di Aceh. Masyarakat juga diharapkan mengawasi pelaksanaan hukum ini karena sarat akan kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran.
Koalisi masyarakat ini diantaranya, Solidaritas Perempuan, Institute Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Jakarta, YLBHI, Kontras, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), dan LBH Satu Keadilan Bogor.
Lalu, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), LBH Apik, CEDAW Working Group Initiative (CWGI), PSHK, Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh, AJI Aceh, LBH Aceh, dan Kontras Aceh, Lingkar Sahabat SP Aceh.
(Kompas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email