Oleh: Ja’far Subhani
Empat Abad Penuh Petaka
Abad ke-VI sampai akhir abad ke-IX tergolong abad yang paling memilukan bagi umat Islam. Penyembah salib bersekongkol dengan penyembah berhala untuk menghujam tubuh Islam dengan pukulan-pukulan yang mematikan.
Mereka aktualkan target itu melalui tiga peperangan:
1. Perang Salib
Tujuan Perang Salib adalah merebut Baitul Maqdis. Perang ini dimulai dari Eropa dan berlangsung selama sekitar 200 tahun, jutaan korban nyawa, luka-luka, dan yang terkatung-katung menjadi salah satu akibatnya. Perang ini mulai dari tahun 489 M dan berakhir pada tahun 690 M.
2. Serangan Luas Mongol
Luka dalam yang ditinggalkan oleh penyembah salib di tubuh Quds masih belum membaik, tiba-tiba bala tentara penyembah berhala yang dipimpin oleh Chengiz Khan menggempur belahan timur bumi Islam dan berhasil meruntuhkan kekhalifahan Abbasi pada tahun 656 M, serangan ini berlangsung saat Mesir dan Syam sedang berada dalam peperangan yang sengit melawan pasukan salib, akhirnya Haloko dapat menaklukkan Baghdad dan menguasai bumi timur Islam.
Pengganti Haloko dari klan Ilkhan masih terus menerapkan politiknya, bahkan meskipun raja Ilkhan yang terkenal yaitu Ghazan Khan (694-703) telah masuk Islam tapi dia tetap tidak membuang angan-angan bagaimana caranya menaklukkan Damaskus dan Mesir, maka pada tahun 699-702 M terjadilah pertempuran sengit antara bala tentara Ilkhan dengan penguasa Damaskus dan Mesir, dan akhirnya kekuasaan klan Ilkhan beserta pengganti mereka berakhir dengan kematian Taimurlang pada tahun 807 M.
3. Tragedi Andalusia
Tragedi ini juga terjadi ketika di bumi timur Islam muslimin sedang bertempur melawan pasukan Mongol, pada situasi seperti ini api peperangan yang ketiga disulut oleh musuh-musuh Islam di bumi barat Islam, terjadilah peperangan sengit dan strategis antara muslimin dengan bala tentara Eropa di bumi Andalusia, akibatnya muslimin tercerai berai dan terkatung-katung imigrasi ke Maroko, Andalusia (Spanyol) yang suatu hari menjadi tempat lahirnya peradaban Islam dan pusat ilmu, akhirnya jatuh ke tangan musuh. Perang ini terjadi mulai dari tahun 609 M dan berakhir pada tahun 898 M.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa empat abad pertengahan dari empat belas abad sejarah Islam adalah abad-abad yang paling penuh bencana. Dunia Islam pada jenjang sejarah itu sangat memerlukan manusia agung yang secara tegas dan pasti bangkit dan mempersatukan kembali barisan muslimin yang telah tercerai berai dengan berlandaskan pada sisi-sisi kesamaan antara mereka, lalu menggerakkan mereka secara kompak melawan salib, berhala, barat, mongol dan siapa saja yang hendak melampau batas-batas Islam.
Pemecahbelahan Umat Di Awal Abad Ke-Viii
Ahmad bin Taimiyah lahir di kota Harran pada tahun 661 M, yakni lima abad setelah runtuhnya kekhalifahan Abbasi di Baghdad. Di ujung abad ke-VII dan awal abad ke-VIII, Ibnu Taimiyah mulai memecah belah umat Islam melalui jawaban-jawaban dia terhadap pertanyaan dari penduduk Hamath tentang ayat
اَلرَّحمنُ عَلَی العَرشِ استَوَی .
Dia di dalam buku kecilnya yang berjudul “al-Aqidah al-Hamwiyah” menjawab pertanyaan penduduk Hamath seraya berkata terang-terangan bahwa: “Tuhan ada di atas langit, dan ketika malam sudah memasuki sepertiga yang terakhir Dia pasti turun ke langit serta berfirman: “Siapakah yang memanggil-Ku niscaya Aku akan memenuhi panggilannya”.[1]
Sebagai reaksi dari penyebaran akidah ini –yang konsekuensinya adalah Tuhan bertubuh, mempunyai arah, bergerak, dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain!– maka sekelompok ulama dan cendekiawan muslim, yang memandang bahwa penyebaran buku kecil “al-Aqidah al-Hamwiyah” ini bertentangan dengan keyakinan Islam yang sesungguhnya, menentangnya dan mengajukan tuntutan kepada pengadilan Damaskus untuk memvonis Ibnu Taimiyah.
Ibnu Katsir di dalam buku sejarahnya “al-Bidayah wan Nihayah” ketika sampai pada bagian tentang kejadian-kejadian tahun 698 M berkata: “Sekelompok fuqaha’ (ahli fikih) bangkit untuk menentang Ibnu Taimiyah dan meminta kepada Jalalud Din Hanafi agar dia dipanggil serta diadili ke Mahkamah, tapi dia tidak mau datang. Setelah itu, di Damaskus Ibnu Taimiyah diumumkan sebagai orang yang mempunyai ajaran sesat, tapi dia tetap bersikeras untuk menyebarluaskan ajarannya dengan cara menulis buku baru berjudul “al-Qasithiyyah” yang juga mengandung penyimpangan-penyimpangan dari ajaran Islam, maka setelah berapa kali pertemuan dengan dia akhirnya Kamalud Din Zamlakani memvonisnya. Pada tahun 705 M Ibnu Taimiyah dipenjara dan diasingkan dari Mesir. [2]
Belum lama ini ada dialog antara dua alim sunni, yang satu pendukung Ibnu Taimiyah dan yang lain penentangnya. Dialog ini disiarkan oleh channel televisi “al-Mustaqillah”. Pendukung Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Ibnu Taimiyah dipenjara bukan karena persoalan akidah atau keyakinan, melainkan karena persoalan hukum fikih, yaitu fatwa dia yang bertentangan dengan fuqaha’ Ahli Sunnah, yaitu: Tiga kali talak (penceraian) wanita dalam satu majlis hukumnya sama dengan satu kali talak.
Perlu kami ingatkan bahwa klaim ini bertolak belakang dengan pernyataan murid Ibnu Taimiyah sendiri, yaitu Ibnu Katsir Syami sebagaimana telah kami nukil pernyataannya di atas.
Para sejarawan sepakat bahwa vonis terhadap Ibnu Taimiyah disebabkan ajaran-ajaran dia di dua buku “Hamawiyah” dan “Wasithiyah”, sedangkan dua buku kecil ini tidak memuat persoalan hukum fikih melainkan hanya memuat persoalan akidah atau keyakinan, khususnya tentang sifat-sifat kabar (khobari) Allah swt. [3]
Selain itu, ini bukan satu-satunya vonis hukum penjara dan pengasingan terhadap Ibnu Taimiyah. Dia berulang kali divonis oleh pengadilan sehingga yang terakhir dia dipenjara pada tahun 726 M dan mati dipenjara pada tahun 728 M.
Pemecahbelahan Umat Di Situasi Paling Sulit
Sebagaimana kami jelaskan sebelumnya, empat abad pertengahan adalah abad-abad paling memilukan bagi dunia Islam. Dan Ibnu Taimiyah menyebarkan ajarannya tentang sifat-sifat kabar (khobari) Tuhan, kebersilaan Tuhan, tangan Tuhan, dan mata Tuhan di saat-saat muslimin baru saja usai dari Perang Salib pada tahun 690 M dan masih menanggung duka jutaan korban nyawa, luka, dan gelandangan, bahkan di saat itu pula Ghazan Khan (694-703 M), raja Ilkhan yang terkenal sedang bergerak untuk menaklukkan Syam dan Mesir. Pada situasi sensitif seperti ini Ibnu Taimiyah menyebarluaskan ajaran-ajarannya yang memancing perlawanan dari para ulama dan fuqaha’.
Ibnu Katsir, meskipun dia adalah murid ajaran Ibnu Taimiyah dan secara terang-terangan membelanya akan tetapi dia tidak bisa menutup-nutupi kenyataan dan meremehkan kesepakatan ulama dalam menyatakan penyimpangan Ibnu Taimiyah dari ajaran Islam.
Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh ulama Syam dan Mesir terhadap Ibnu Taimiyah jelas tidak bisa dimuat di artikel singkat ini, kiranya cukup untuk diketahui bahwa sepanjang sejarah banyak sekali tokoh-tokoh ulama Ahli Sunnah yang mengkritisi ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah baik dengan cara menulis buku atau dialog. Dan dialog-dialog itu direkam oleh sejarah secara baik.
Di antara nama-nama tokoh ulama Ahli Sunnah yang menentang Ibnu Taimiyah adalah:
1. Syekh Shafiyud Din Hindi Armawi (644-715 hq.).
2. Syekh Syihabud Din bin Jahbal Kilabi Halabi (733).
3. Qadhil Qudhath Kamalud Din Zamlakani (667-733).
4. Syamsud Din Muhammad bin Ahmad Dzahabi (748).
5. Shadrud Din Murahhal (750).
6. Ali bin Abdul Kafi Subki (756).
7. Muhammad bin Syakir Katbi (764).
8. Abu Muhammad Abdullah bin As’ad Yafi’i (698-768).
9. Abu Bakar Hashni Damesyqi (829).
10. Syihabud Din Ahmad bin Hajar Asqalani (852).
11. Jamalud Din Yusufi bin Taghri Atabaki (812-874).
12. Syihabud Din bin Hajar Haytami (973).
13. Mulla Ali Qari Hanafi (1016).
14. Abul Ays Ahmad bin Muhammad Miknasi yang dikenal dengan Abul Qadhi (960-1025).
15. Yusuf bin Isma’il bin Yusuf Nabhani (1265-1350).
16. Syekh Muhammad Kawtsari Misri (1371).
17. Syekh Salamah Qadha’i Izami (1379).
18. Syekh Muhammad Abu Zuhrah (1316-1396). [4]
Ibnu Bathuthah, petualang abad ke-VIII, menuliskan: “Di suatu Hari Jum’at Ibnu Taimiyah sedang aktif menyampaikan nasihat-nasihatnya kepada masyarakat, dan di sela-sela pembicaraan dia berkata: “Allah (swt.) turun dari Arsy ke langit pertama sebagaimana saya turun dari mimbar!”, dia mengucapkan perkataan ini sambil mempraktikkan dirinya turun satu tangga dari mimbar. Mendengar ucapan itu, seorang faqih beraliran Maliki yang bernama Ibnu Zahra’ bangkit dari duduknya dan menentang ucapan Ibnu Taimiyah. Sebaliknya, masyarakat juga bangkit untuk membela Ibnu Taimiyah lalu memukuli faqih Maliki yang memprotes hal tersebut dengan tangan dan sepatu”. [5]
Itulah tadi satu contoh dari ajaran Ibnu Taimiyah yang diriwayatkan oleh saksi mata yang netral, dia mendengar ucapan itu dengan telinga dan melihat kejadian itu dengan mata kepalanya langsung. Siapa saja yang menganalisa ajaran-ajaran seperti ini dengan dasar-dasar ilmu yang kuat niscaya dia akan berlindung kepada Allah swt. dari konsekuensi-konsekuensi yang disebabkan oleh ajaran itu.
Produk Aliran Ibnu Taimiyah
Setelah menyimak keadaan Ibnu Taimiyah dari informasi ulama Syam dan Mesir, ada baiknya kita juga mengenal karakter alirannya. Kita coba simak peribahasa yang mengatakan “Pohon harus dikenali lewat buahnya” dan menyebutkan empat karakter aliran Ibnu Taimiyah:
1. Ajaran “Tuhan Bertubuh”
Syi’arnya umat Islam selama tujuh abad sebelum Ibnu Taimiyah adalah bertentangan dengan agama Yahudi, yaitu menyucikan Allah swt. dari tubuh dan sifat-sifatnya (materi dan material), tapi dia menggunakan tipu daya tersendiri untuk mengajak muslimin pada keyakinan yang mendudukkan Allah swt. di atas tahta yang bernama Arsy, tempat dari sana Dia melihat alam semesta! dan keyakinan yang terkadang membawa turun Allah swt. sampai ke langit!.
Sehubungan dengan sifat-sifat kabar (khobari) Allah swt.; seperti “bersila”, “tangan”, “mata”, “wajah” dan lain sebagainya Ibnu Taimiyah mengajarkan bahwa Allah swt. benar-benar mempunyai tangan, mata dan muka, hanya saja persoalan bentuknya bagaimana tidak ada yang mengetahui akan hal itu.
Jelas akhir pernyataan dia tadi, dia sebutkan untuk lari dari tuduhan membendakan Tuhan, tapi upaya itu sama sekali tidak berguna baginya; karena Tuhan yang duduk di atas tahta, bergerak, dan menciptakan manusia dengan tangannya tidak lain adalah Tuhan yang jasmani (bertubuh atau memiliki sifat-sifat tubuh) walaupun bentuk kejasmanian Tuhan tersebut tidak kita ketahui. Terkecuali apabila kalimat-kalimat dia itu dia maksudkan secara kiasan untuk manyampaikan makna tersendiri, tapi jika itu memang benar maka arti bahasa tidak digunakan di sana, dan ini sama sekali bertentangan dengan klaim dia.
2. Pelecehan terhadap Kedudukan Para Nabi dan Wali
Menurut aliran Ibnu Taimiyah, nabi dan wali Allah swt. tidak adalah manusia yang seluruh kesempurnaan dan kedudukannya berakhir dengan kematian mereka!, itulah sebabnya amalan-amalan ziarah dan tawasul kepada mereka diyakini sebagai bid’ah dalam agama dan perbuatan yang sia-sia.
3. Pengkafiran Muslimin
Ibnu Taimiyah mengkafirkan muslimin atas dasar tawasul kepada wali-wali Allah swt., dan dengan cara ini dia berusaha membagi muslimin pada dua kubu.Uuntungnya, berkat jerih payah ulama yang hidup semasa dengan Ibnu Taimiyah, aliran dia ikut mati bersama kematiannya dan hanya berapa gelintir murid saja yang tersisa darinya.
4. Penghinaan terhadap Kelurga Rasulullah saw.
Di seluruh tulisan Ibnu Taimiyah ada kebencian tersendiri terhadap keluarga Rasulullah saw., dia selalu berusaha untuk mengingkari keutamaan-keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., dan terkadang dia juga menuduh beliau salah, baik dalam berpikir maupun dalam bertindak, dia menyalahkan beliau dalam tujuh belas permasalahan!. [6]
Inilah empat karakter umum aliran Ibnu Taimiyah yang dapat mengenalkan kita pada realitas aliran dan pola pikirnya. Bukti-bukti untuk karakter umum ini tidak cukup untuk dimuat dalam artikel singkat ini, namun demikian cukup kiranya buku Ibnu Taimiyah yang berjudul “Minhajus Sunnah” untuk menjadi bukti atas empat karakter umum yang kami sebutkan di atas.
Muhammad Bin Abdul Wahhab (1115-1206 M)
Sebagaimana kami sebutkan sebelumnya, dari sejak awal ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah sudah dikritik oleh para ulama, kritikan-kritikan kuat ulama Syam dan Mesir mengisolasi aliran dia dan mengusirnya dari kawasan, tapi tiga setengah abad setelah itu seorang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab lahir dan menyelamatkan aliran itu dari keterasingan dan menyebarluaskannya dengan logika kekuatan pedang.
Sangat disayangkan pula bahwa penghidupan kembali aliran Ibnu Taimiyah oleh Muhammad bin Abdul Wahhab ini, sebagaimana awal kemunculannya, terjadi saat dunia Islam berada dalam situasi sejarah yang terburuk. Eropa pada waktu itu sedang bersiap-siap untuk menjajah negara-negara Islam. Negara India keluar dari kekuasaan muslimin dengan cara kekuatan sekaligus kelicikan bala tentara Inggris yang kemudian berkuasa di anak benua itu.
Muhammad bin Abdul Wahhab didukung oleh tokoh kabilah Najd untuk menyerang kawasan yang berpenduduk muslim, yaitu Hijaz, Irak, Siria dan Yaman. Selain menyerang, dia juga merampas harta mereka atas nama ghanimah perang, dan tentunya arogansi Muhammad bin Abdul Wahhab ini memudahkan jalan perdagangan kabilah Najd dan meramaikan pasar mereka. Sepanjang sejarah, tidak pernah kelompok wahabi berperang melawan orang-orang kafir, seluruh peperangan mereka melawan muslimin, dan setelah menumpahkan darah saudara muslim mereka sendiri mereka merampas harta dan ternak mereka serta membawanya ke Najd. Lalu, seperlima dari harta rampasan itu untuk Muhammad bin Abdul Wahhab dan sisanya untuk tokoh-tokoh kabilah serta pejuang! (pasukan perang).
Pembantaian muslimin yang dilakukan oleh kelompok wahabi di Atabat Aliyat (Karbala) menghitamkan lembaran sejarah. Shalahud Din Mukhtar, salah satu penulis wahabi, menuliskan: “Pada tahun 1216 hq. Raja Sa’udi mengerahkan bala tentara besar yang terdiri dari penduduk Najd, kabilah-kabilah selatan, Hijaz, Tuhamah dan berbagai daerah yang lain menuju ke Irak. Di bulan Dzulqaidah dia sampai ke kota Karbala dan segera mengepungnya. Pasukannya menghancurkan tembok dan bangunan-bangunan tinggi. Mereka memasuki kota secara paksa dan mayoritas penduduk Karbala, baik di lorong-lorong kota, pasar, dan bahkan di rumah mereka bantai. Menjelang Dzuhur, mereka merampas harta penduduk sebagai rampasan perang, lalu mereka keluar dari kota dan berkumpul di tepi sungai Abyadh. Seperlima harta rampasan perang! diambil sendiri oleh Raja Sa’ud, adapun sisanya dibagikan kepada pasukan perang; prajurit berkuda mendapatkan dua saham sedangkan prajurit yang berjalan kaki mendapatkan satu bagian”. [7]
Ibnu Basyar, sejarawan dari kota Najd, mencatat serangan kelompok wahabi ke Najaf sebagai berikut: “Pada tahun 1220, Sa’ud bersama pasukannya keluar dari kota Najd dan sekitarnya, dia bergerak menuju masyhad yang terkenal di Irak (maksud penulis adalah kota Najaf), lalu memerintahkan pasukannya untuk berpencar di kota. Dia juga perintahkan mereka untuk menghancurkan tembok dan menara kota, tapi ketika hendak masuk ke dalam kota mereka terhalang oleh parit yang luas dan dalam serta tidak memungkinkan bagi mereka untuk melaluinya. Maka terjadilah pertempuran antara dua belah pihak Sa’ud dan penduduk Najaf, sekelompok dari pasukan Sa’ud tewas akibat busur panah yang melesat dari tembok dan menara kota Najaf, akhirnya sisa pasukan yang masih hidup mundur dari kepungan kota dan hanya merampok desa-desa yang ada di sekitarnya”. [8]
Ada dua poin penting yang harus kami ingatkan di sini:
1. Sebagaimana diakui pula oleh para sejarawan, Wahabisme adalah aliran yang dibuat-buat dan sama sekali tidak mempunyai latar belakang sejarah di masa sahabat, tabi’in dan tiga abad pertama (yang menurut Ahli Sunnah adalah sebaik-baik abad). Benih aliran ini ditebar pada awal abad kedelapan dan hanya merupakan bahan mentah yang terhimpit di sela-sela buku, lalu bahan mentah itu diolah dan aliran itu dihidupkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
2. Dari sisi keutamaan, ilmu, pena, dan tulisan Ahmad bin Taimiyah jelas tidak bisa dibandingkan dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, dia terlampau jauh di putra Wahhab, namun demikian sewaktu dia masih hidup alirannya tidak berkembang dan bahkan ikut mati bersama kematiannya, tapi kemudian aliran tak bernyawa ini kemudian dibangkitkan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dan berkembang sampai meliputi bagian timur Arab Saudi, dan setelah runtuhnya pemerintahan Usmani kekuasaan Haromain (Mekkah dan Madinah) jatuh ke tangan kelompok wahabi, mereka berhasil merebut pangkalan tabligh sampai-sampai mereka juga memaksa peziarah Baitullah untuk mengikuti aliran Wahabi dari sisi kepercayaan dan pemikiran serta fikih Hanbali dari sisi praktik dan hukum.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa hal yang menyebabkan kegagalan aliran itu pada masa pendirinya dan sebaliknya kesuksesan aliran tersebut pada masa pembangkitnya? Jawabannya adalah:
Dua elemen ruang dan waktu sangat berpengaruh dalam menyimpulkan persoalan ini; Ibnu Taimiyah menyebarkan ajarannya yang aneh di lingkungan yang menjadi benteng pertahanan akidah dan syari’at ulama Syam dan Mesir, merekalah yang melumpuhkan gerakan Ibnu Taimiyah dengan dialog-dialog yang mereka selenggarakan, sehingga praktis ajaran Ibnu Taimiyah tidak punya pengaruh di tengah masyarakat pada umumnya, dan kalaupun ada pengaruh di sana lebih dekat pada sisi emosionalnya daripada sisi pemikiran, sebab bagaimanapun juga masuknya seorang ruhani ke penjara pasti memancing emosi publik.
Berbeda dengan situasi yang dialami Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai penyebar aliran Ibnu Taimiyah. Dia melontarkan pemikiran yang bertampilan tauhid di tengah komunitas Arab Baduwi dan padang pasir yang jauh dari ilmu dan peradaban, itulah kenapa dia berhasil memanfaatkan kesederhanaan dan kedangkalan mereka secara optimal, khususnya ketika dia menyerupakan perbuatan muslimin dengan penyembahan berhala dan dengan cara ini pula dia bangkitkan semangat jihad di antara mereka yang sarat dengan ghanimah (rampasan) perang.
Selanjutnya kita pilih dua bagian dari ajaran Wahabisme sebagai contoh untuk kemudian kita pertimbangkan kebenarannya dengan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an:
1. Peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad saw.
Orator-orator Wahabi di dalam pidato mereka lebih sering menyebut dua hal: syirik dan bid’ah. Hampir tidak ada kosa kata lagi yang menjadi andalan mereka selain dua kata itu, semua orator mereka berkiblat pada satu pidato dan senantiasa menekankan kalimat “syarrul umuri muhdatsatuha, wa kullu muhdatsin bid’ah, wa kulli bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin fin nar” yang artinya “hal terburuk adalah sesuatu yang baru dibuat, dan segala sesuatu yang baru dibuat adalah bid’ah, dan segala bid’ah adalah kesesatan, dan segala kesesatan tempatnya adalah di neraka”. Dengan cara ini mereka ingin menyatakan bahwa banyak sekali perbuatan yang dilakukan oleh muslimin seperti peringatan hari kelahiran Rasulullah saw. dan mencari berkah dari jejak-jejak yang beliau tinggalkan adalah bid’ah yang akan berujung pada api neraka.
Apakah benar peringatan hari kelahiran Rasulullah saw. adalah bid’ah atau sebaliknya itu merupakan satu bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap utusan Tuhan yang selalu ditekankan oleh al-Qur’an?
Al-Qur’an mensinyalir firman Allah swt. sebagai berikut:
﴿ فَالَّذِینَ آمَنُوا بِهِ وَ عَزَّرُوهُ وَ نَصَرُوهُ ... ﴾ / الاعراف: 157
Artinya: “Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, dan menolongnya ...”. (QS. al-A’raf: 157). Dari tiga kalimat di atas bisa dimengerti bahwa muslimin mempunyai tiga kewajiban di hadapan Nabi: Iman kepadanya, menolongnya, dan memuliakannya.
Lalu apakah tiga kewajiban ini hanya berlaku pada zaman Nabi atau masih tetap berlaku setelah beliau wafat? Jika jawabnya adalah yang pertama berarti iman kepada Nabi juga wajib hanya pada saat beliau masih hidup, dan ini jelas tidak benar, hanya satu kemungkinan lagi yang tersisa, yaitu tiga kewajiban tersebut tetap berlaku setelah beliau wafat, maka wajib hukumnya bagi orang muslim untuk memuliakan Nabi baik beliau masih hidup ataupun sudah wafat, dan peringatan atas hari kelahiran beliau adalah satu bentuk dari pemuliaan serta penghormatan terhadap belaiu yang jelas tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah, karena berlandaskan kepada ayat suci al-Qur’an.
Selain itu al-Qur’an juga mensinyalir firman Allah swt. yang lain:
﴿ وَ رَفَعنَا لَکَ ذِکرَک ﴾ / الانشراح: 3
Artinya: “Dan Kami tinggikan namamu”. (QS. al-Insyirah: 3). Dan sudah barang tentu peningggian nama Nabi juga dilakukan melalui faktor-faktor yang natural, dan sehubungan itu seluruh perayaan dan peringatan yang diselenggarakan untuk beliau adalah satu bentuk pengejawantahan ayat ini.
2. Tabaruk pada Jejak Rasulullah saw.
Tabaruk pada jejak para nabi khususnya Rasulullah saw. merupakan salah satu prinsip pasti yang ditekankan oleh al-Qur’an dan hadis serta sejarah umat Islam. Untuk sementara sekarang kita tidak membicarakan dua bukti terakhir yaitu hadis dan sejarah umat Islam. Cukup kami isyaratkan bahwa baik ulama Ahli Sunnah maupun ulama Syi’ah menuliskan buku-buku berharga tentang tabaruk, seperti Muhammad Thahir Makki menulis buku tentang tabaruk pada tahun 1395, begitu pula sahabat tercinta kami al-Marhum Ayatullah Ahmadi Miyanaji menulis buku tentang tabaruk secara terperinci.
Kali ini kita hanya akan menyoroti firman Allah swt. di dalam al-Qur’an dan mencari petunjuk darinya berkenaan dengan tabaruk atau cari berkah dari jejak para nabi dan orang saleh. Ada beberapa petunjuk di dalam al-Qur’an yang salah satunya adalah tabaruk pada baju Nabi Yusuf as.
Setelah sekian lama perpisahan dengan Nabi Yusuf as. berpengaruh pada penglihatan Nabi Ya’qub as., akhirnya Nabi Yusuf as. mengirimkan bajunya kepada sang ayah yang kemudian diletakkan di matanya sehingga dengan itu sang ayah dapat melihat seperti semula. Al-Qur’an mensinyalirnya sebagai berikut:
﴿ فَلَمَّا اَن جَاءَ البَشِیرُ اَلقَاهُ عَلَی وَجهِهِ فَارتَدَّ بَصِیرًا ﴾ / یوسف: 96
Artinya: “Maka tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, dia letakkan baju itu ke wajah Ya’qub, maka dia dapat melihat kembali”.
Ayat ini menjelaskan bahwa tabaruk selain dia merupakan tanda kecintaan seseorang terhadap pemilik jejak dia juga mempunyai pengaruh tersendiri. Dengan kata lain, Tuhan yang menjadikan kesedihan dan kegelisahan sebagai faktor kebutaan Dia pula yang menjadikan tabaruk kepada baju Nabi Yusuf as. dalam kondisi tertentu sebagai faktor untuk mengembalikan penglihatan mata.
Para mufasir dan sejarawan menuliskan bahwa peti Nabi Musa as., yang menyimpan tongkat, sandal dan peninggalan-peninggalan lain beliau dan saudaranya, senantiasa menjadi faktor kemenangan Bani Israel atas musuh-musuh mereka; setiap kali berperang melawan musuh, mereka membawa peti itu ke medan perang dan bertabaruk padanya untuk kemudian meraih kemenangan atas musuh-musuh mereka, tapi ketika peti itu dicuri karena alasan tertentu maka selang waktu yang cukup lama seorang nabi (utusan Allah) berkata menyerukan kepada mereka: “Tuhan mengangkat Thalut sebagai panglima tertinggi kalian yang akan memimpin kalian untuk berjihad melawan musuh”, dia juga menyerukan: “Bukti pengangkatan Thalut dari sisi Tuhan adalah peti yang tercuri akan berhasil dia kembalikan di tengah kemelut perang, yaitu peti dari sisi Tuhan yang menjadi aktor ketenangan kalian, dan berkenaan dengan kehormatan peti ini cukup kiranya bahwa para malaikatlah yang membawa peti tersebut”, al-Qur’an mensinyalir cerita ini sebagai berikut:
﴿ وَ قَالَ لَهُم نَبِیُّهُم اِنَّ آیَةَ مُلکِهِ اَن یَأتِیَکُمُ التَّابُوتُ فِیهِ سَکِینَةٌ مِن رَبِّکُم وَ بَقِیَّةٌ مِمَّا تَرَکَ آلُ مُوسَی وَ آلُ هَارُونَ تَحمِلُهُ المَلَائِکَةُ اِنَّ في ذلِکَ لَآیَةً لَکُم اِن کُنتُم مُؤمِنِینَ ﴾ /البقرة: 248
Artinya: “Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka, sesungguhnya tanda kerajaanya itu akan kembali kepada kalian peti yang di dalamnya terdapat yang ketenangan hati dari Tuhan kalian dan peninggalan yang ditinggalkan oleh keluarga Musa dan keluarga Harun yang dibawa oleh malaikat, sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (kebenaran) bagi kalian jika kalian adalah orang yang beriman”. (QS. al-Baqarah: 248).
Ayat ini menjelaskan bagaimana peninggalan para nabi berpengaruh dalam menentukan nasib peperangan melawan musuh, tegas ayat ini bahwa peti itu memberikan ketenangan hati kepada para pejuang. Peti itu betul-betul mulia sehingga malaikatlah yang mengangkatnya. Dan ketika peninggalan Nabi Musa dan Nabi Harun yang tidak lebih dari tongkat, sorban, sandal dan beberapa pakaian mempunyai kedudukan yang tinggi seperti itu maka kenapa peninggalan-peninggalan nabi yang paling mulia, Muhammad Rasulullah saw., dianggap tidak mempunyai kedudukan yang demikian?!!
Penerjemah: Nasir Dimyati
Referensi:
1. Majmu’ur Rosa’ilil Kubro, risalah yang kesebelas, al-Aqidah al-Hamawiyah.
2. Al-Bidayatu wan Nihayah: jilid 14, halaman 4.
3. Ibid. Jilid 14, halaman 39.
4. Untuk mengetahui pandangan-pandangan mereka, Anda bisa merujuk kepada kitab “Buhutsun fil Milali wan Nihal”, jilid 4, halaman 37-50.
5. Rihlatu Ibni Bathuthoh: halaman 95-96, terbitan tahun 1384 hq.
6. Ad-Durarul Kaminah: jilid 1, halaman 154, karya Ibnu Hajar, dinukil dari Najmud Din Thufi yang wafat pada tahun 710.
7. Tarikhul Mamlakati Arobiyyatis Sa’udiyah: jilid 3, halaman 73.
8. Unwanul Majdi fi Tarikhi Najd: jilid 1, halaman 337.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email