Imam Shadiq as dalam riwayatnya mengatakan “asal dari tawadhu’ ialah di saat manusia mengenal keagungan, kemuliaan dan kebesaran Allah swt dengan baik dan sempurna”, dan juga memahami bahwasanya hanya Allah swt pemilik segala kesempurnaan.
Shabestan News Agency melaporkan dari Isfahan, dalam sebuah kajian akhlaqnya, Ayatullah Sayid Abul Hasan Mahdawi menjelaskan bahwa satu hal yang harus diperhatikan oleh manusia ialah bahwasanya dirinya tidak memiliki apa-apa, hal ini merupakan bentuk tawadhu’ dan ketundukan manusia di hadapan Allah swt, agama-Nya, dan nabi-nabi-Nya.
Sebuah hakikat yang agung ini harus diterapkan dalam segala hal, baik saat di hadapan manusia biasa dan bahkan di hadapan hewan sekalipun kita harus bisa tawadhu’, dan kita harus menganggap diri kita lebih rendah dari siapa dan apapun, jika seseorang telah mencapai ke tingkatan ini, maka ia akan menjadi Salman Al-Farisi, jelas Ayatullah Mahdawi.
Seseorang bertanya kepada Salman Al-Farisi, dengan maksud untuk mengejeknya, “lebih baik mana antara jambangmu dengan ekor anjing?”, kemudian Salman Al-Farisi menjawab : “jika aku bisa melewati jembatan “Sirath Mustaqim” maka jambangku lebih baik, dan jika tidak ekor anjing lebih baik”!
Di antara faktor yang menjadikan manusia memiliki sifat tawadhu’ ialah jika ia sudah mengenal keagungan, kemuliaan dan kebesaran Allah swt, tambahnya.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Shadiq as dalam riwayatnya “asal dari tawadhu’ ialah di saat manusia mengenal keagungan, kemuliaan dan kebesaran Allah swt dengan baik dan sempurna”, dan juga memahami bahwasanya hanya Allah swt pemilik segala kesempurnaan.
Biasanya, manusia saat sedang mendeskripsikan dirinya sendiri, ia akan mengatakan lebih dari apa yang ada pada dirinya, namun saat ingin melakukannya ia jauh dari apa yang dikatakannya, pungkas Ayatullah Sayid Abul Hasan Mahdawi.
(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email