AKHIR September dan awal Oktober 1965 adalah momen-momen getir dan tak menyenangkan dalam perjalanan sejarah republik ini. Jalannya riwayat negeri juga berubah sejak para jenderal diculik dan dibunuh, serta efeknya pascatragedi Gerakan 30 September (G30) 51 tahun lampau.
Soal penculikan Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) beserta para bawahannya setengah abad lalu oleh Pasukan Tjakrabirawa atas kendali Partai Komunis Indonesia (PKI), sudah jadi pengetahuan umum masyarakat Indonesia.
Tapi soal tabir, kabut dan silang sengkarut di balik peristiwa itu masih belum banyak diketahui warga awam. Tabir, kabut dan silang sengkarut soal keterlibatan asing dan internal TNI kala itu.
Keterlibatan yang kemudian pada beberapa literatur, memunculkan nama mantan Menteri Luar Negeri Adam Malik dan Presiden RI kedua Soeharto yang sebelumnya, membawahi pasukan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) berpangkat Mayor Jenderal (Mayjen).
Tapi terlebih dulu, persepsi dan sudut pandang harus disepakati bahwa pecahnya insiden G30S dan dampak setelahnya tidak bisa jadi satu konteks. Bahwa pelaku lapangan dan perencanaan berada di tangan Tjakrabirawa dan PKI atas inisiasi Sjam Kamaroezzaman adalah benar.
Tapi soal “pembersihan” para kader dan simpatisan PKI beserta organisasi-organisasi kiri di bawah PKI hingga para loyalis Presiden RI pertama Soekarno, konspiratornya merujuk nama Adam Malik dan Soeharto.
“Pemaparan tentang tragedi G30S yang pasti tidak sehitam dan putih ketika di masa Orde Baru,” ujar sejarawan Bonnie Triyana kepada Okezone.
“G30S itu hanya batu loncatan saja (buat Soeharto dan Adam Malik),” lanjut Pemred Majalah Historia itu dalam diskusi santai di kantornya di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Yang disebut batu loncatan itu tak lain adalah “misi” menggulingkan Presiden Soekarno. Misi itu juga turut disokong asing melalui CIA (Central Intelligence Agency) atau Badan Intelijen Amerika Serikat.
Bicara CIA dan Adam Malik, beberapa waktu lalu juga di kalangan publik tersebar kabar itu, di mana Adam Malik bahkan disebut-sebut sebagai “agen” CIA di Indonesia. (Baca: Peran Adam Malik di Dokumen Dubes Marshall Green).
“Keterlibatan CIA berbentuk aliran dana bantuan untuk KAP (Kesatuan Aksi Pengganyangan) Gestapu sebesar Rp50 juta. Tujuannya untuk melawan para loyalis Soekarno,” imbuh penulis biografi Maulwi Saelan, mantan pengawal Soekarno tersebut.
“Kebetulan saat itu juga terjadi G30S. Adam Malik dan Soeharto melihat peristiwa ini sebagai batu loncatan. Kenapa tidak sekalian menghabisi para loyalis itu. Makanya selain (kader-kader) PKI, para tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia) juga habis semua itu,” sambung Bonnie.
Bonnie juga menambahkan, para tokoh PNI – partai yang diasuh Soekarno sejak pra kemerdekaan, turut “dihilangkan” sebagai pemulus jalan Soeharto. “Pembersihan” itu terjadi di hampir wilayah, kecuali Jawa Barat.
“Karena saat itu, Jawa Barat berada di bawah Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi yang Pangdamnya (Mayjen) Ibrahim Adjie. Dia masih loyalis Soekarno. Makanya kala itu Jawa Barat relatif aman dari pembersihan Soeharto and the gang,” tandasnya.
Soal situasi yang relatif kondusif pascaperistiwa G30S di teritorial Kodam Siliwangi di Jawa Barat, juga diamini penggiat sejarah Historia van Bandoeng Iman Firmansyah.
Meski begitu, Pangdam Ibrahim Adjie juga disebutkan menempatkan beberapa pasukannya di pinggir Ibu Kota. (Baca juga: 1 Oktober: Situasi Mencekam Menulari Bandung hingga Malang & Surabaya).
“Secara umum, pasca kejadian (G30S), situasi di Bandung, terutama (teritorial) Kodam Siliwangi, paling kondusif saat kejadian 1965 sampai 1966,” ungkap Iman kepada Okezone beberapa waktu lalu.
“Mungkin dari pengalaman seringnya pasukan Siliwangi bergesekan dengan kaum radikal kiri, jadi emosi mereka lebih dapat terjaga dibanding di Jawa Tengah, Jawa Timur atau Bali. (Tapi) Ibrahim Adjie yang tahu duduk permasalahannya ini, sempat menyiapkan pasukan bersiaga di pinggiran Jakarta,” pungkasnya.
(Oke-Zone/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email