Oleh: KH. Jalaluddin Rakhmat
Abu mikhnaf dan republika. Saya ingin mengomentari artikel yang dimuat di surat kabar Republika hari ahad, 12 Desember 2010 ditulis oleh Syahrudin Elfikri. Di ujung ia mengatakan begini: Riwayat yang mengatakan pihak Yazid sebagai pembunuh Husain di Karbala itu berasal dari Abu Mikhnaf Luth bin Yahya. Demikian disebutkan dalam kitah A’yaan al-Syi’ah, jilid 1, halaman 127. Tapi hal ini dibantah oleh sejumlah ahli sejarah lain. Imam Adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal menjelaskan ketika peristiwa Karbala itu terjadi Abu Mikhnaf belum lahir. Ia meninggal pada tahun 170H. Ia adalah seorang pembohong besar. Ungkap Imam as-Suyuthi dalam kitabnya Alaailu al-Masnu’ah.
Saudara-saudara, saya ingin meminta bantuan saudara-saudara, apa yang dibantah itu? Apakah yang dibantah itu ialah pihak Yazid sebagai pembunuh Imam Husain, atau yang dibantah itu ialah bahwa berita itu hanya berasal dari Abu Mikhnaf Luth bin Yahya; atau yang dibantah itu ialah kitab A’yaan al-Syiah, jilid 1, halaman 127? Saya sebetulnya agak sulit memahami tulisan ini. Tapi kemudian saya coba mencari siapa Abu Mikhnaf Luth bin Yahya itu.
Dalam Mizal al-I’tidal Luth bin Yahya bin Abi Mikhnaf didhaifkan para ahli hadits dengan alasan “huwa syi’iyun mukhtariq” (Dia ini seorang Syi’ah Ekstrem). Dosanya kenapa riwayatnya tidak bisa dipercaya adalah karena ia Syi’iyun mukhtariq, dia syi’ah yang ekstrem. “La yuthaqu bihi”, tidak bisa dipercaya. Tapi Mizal al-I’tidal tidak menyebutkannya sebagai pembohong yang besar. Cuma dia tidak bisa dipercaya. Begitu kata Adz-Dzahabi. Saya kemudian menbaca bahwa Abu Mikhnaf sebetulnya nama lengkapnya bukan Luth bin Yahya, tapi Yahya bin Said bin Mikhnat, dan digelari Abu Mikhnaf, walaupun kakeknya juga bernama sama dengannya. Menurut para ahli sejarah tidak jelas apakah dia itu Sunni atau Syi’ah. Mungkin dia disebut sebagai Syi’ah karena dia menulis sebuah kitab khusus bercerita tentang peristiwa Karbala dan kitabnya itu termasuk kitab-kitab awal yang bercerita tentang Karbala yang jadi rujukan ulama lain setelah itu.
Ada seorang penulis Jerman bernama Ursula Sezkin. Ia menulis Abu Mihnaf: Ein Beitrag zur Historiographie der Umaiyadischen Zeit. Sebelum Republika meributkan Abu Mikhnaf, ia sudah menulis penelitian yang sangat terperinci. Karyanya diterbitkan di Universitas Leiden pada tahun 1971. Tapi menurut dia, Abu Mikhnaf itu bahkan adalah salah seorang di antara satu ahli sejarah pertama di dalam Islam. Kata Robinson di dalam Islamic Historiography: Abu Mikhnaf itu sejarawan yang boleh kita sejajarkan sekelas Ibnu Ishak di dalam periwayatan sejarah, malah disebutkan bahwa ia adalah sumber yang terpercaya baik oleh Ahlu Sunnah maupun Syi’ah. Jadi dia termasuk yang dipercaya ….”considered reliable”.
Sementara menurut Republika, yang meriwayatkan bahwa Yazid adalah pembunuh Imam Husain adalah Abu Mikhnaf. Dan Abu Mikhnaf itu—katanya dengan mengutip As-Suyuthi—dia itu seorang pembohong besar. Artinya kita tidak bisa percaya. Tujuan dari penulisan Republika mungkin ialah bahwa peristiwa Karbala itu tidak pernah terjadi. Bahwa ini riwayat bohong yang dibikin oleh seorang Syi’ah, yang bernama Abu Mikhnaf. Dalam penelitian saya, ternyata kesyiahan Abu Mikhnaf pun diragukan. Misalnya bahwa dalam kitab-kitab rijal Syi’ah, Abu Mikhnaf tidak termasuk sebagai sahabat para Imam. Dia juga tidak dikenal meriwayatkan dari para Imam Ahlul Bayt yang sezaman dengannya. Penggunaan kata “Syi’i” oleh Adz-Dzahabi juga tidak serta merta merujuk pada kesyi’ahan Abu Mikhnaf. Karena penisbatan pada orang Syi’ah waktu itu menggunakan kata “Rafidhi”. Adapun juga kata “Syi’i” besar kemungkinan digunakan untuk orang yang cenderung mencintai Ahlul Bait Nabi Saw. Komentar Ibnu Abi al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah 1: 147 memperkuat pendapat bahwa Abu Mikhnaf bukan orang syi’ah. Berikut tulisan Ibn Abi al-Hadid: Abu Mikhnaf termasuk muhadditsin yang berpendapat tentang sahnya imamah dengan pilihan. Dia bukan syi’ah dan tidak dihitung sebagai rijal Syi’ah. Wa laisa min al-Syi’ah wa laa ma’duudan min rijaaliha.
Di Universitas Edinburgh ada seorang dosen, A.K.A Howard namanya. Dia menulis khusus tulisan tentang buku-buku klasik yang meriwayatkan Karbala. Dia sebut bahwa riwayat tentang Karbala itu bukan hanya berasal dari Abu Mikhnaf, tapi juga berasal dari penulis lain. Al-Waqidi, Al-Mada’ini, Asybagh bin Nubata, Al-Madaini, Awana bin Hakam dan sebagainya. Meminjam istilah hukum “termasuk tapi tidak terbatas pada.” Jadi, included but not limited to. Tentang Karbala ini, Al-Waqidi menulis itu, At-Thabari juga mengambilnya dari Abu Mikhnaf. Dan At-Thabari adalah penulis sejarah Ahlu Sunnah.
Kembali pada Abu Mikhnaf. Ia juga ialah orang pertama menulis tentang Saqifah Bani Saidah. Di antara keberatan Republika tentang peristiwa Karbala adalah fakta bahwa Abu Mikhnaf tidak menyaksikan langsung peristiwa Karbala. Mengapa? Karena saat peristiwa itu terjadi, Abu Mikhnaf belum lahir, dan Republika benar. Tetapi bukan hanya Abu Mikhnaf. Sebagian besar ahli sejarah tidak menyaksikan peristiwa itu, bukan hanya Abu Mikhnaf. Kalau sekarang ini, setelah Indonesia merdeka, seseorang menulis sejarah tentang penjajahan Belanda. Apakah hasil penelitiannya harus kita dhaifkan? Semua penulis sejarah besar dilahirkan setelah peristiwa yang ditulisnya lama berlalu.
Menurut Republika, salah satu bukti kebohongan peristiwa Karbala ialah penulisnya meninggal dunia pada tahun 170H sementara peristiwa Imam Husein terjadi pada tahun 60H. Setelah saya cek, tahun meninggalnya juga keliru. Abu Mikhnaf meninggal pada tahun 157H. Jadi setelah kejadian Imam Husein ada waktu kurang lebih 90 tahun hingga meninggalnya Abu Mikhnaf. Karena itu Abu Mikhnaf menulis melalui wawancara dengan saksi-saksi mata yang pernah menyaksikan peristiwa itu dan masih hidup di zamannya. Jadi ada namanya dan dicatat secara terperinci. Ada nama-nama yang hidup pada zaman Abu Mikhnaf yang menyaksikan peristiwa Karbala. Misalnya, Muhammad bin Qays, Harits bin Abdillah bin Syarik Al-Amiri dan sebagainya.
Kita mempelajari sejarah bukan hanya melalui dokumen tertulis. Tetapi juga lewat artefak atau peninggalan. Banyak data sejarah kita buat tidak berdasarkan tulisan apalagi jika kita berbicara tentang masa pra-sejarah ketika tidak ada tulisan. Kita mengetahui bahwa peninggalan-peninggalan Imam Husein masih tersimpan utuh hingga saat ini.
Silahkan saudara berangkat ke Karbala. Pada tanggal 10 Muharram ini, seluruh peristiwa Karbala itu akan berulang kembali di hadapana kita tidak dalam bentuk cerita atau tulisan. Tetapi dalam bentuk artefaks. Di sana terdapat tempat tangan Abu al-Fadhl Abbas ditebas, tempat jatuh tangan kirinya, tempat kemah-kemah yang dibakar oleh Amir bin Jausyan dan balatentaranya. Semuanya masih tersimpan dengan baik dan semua orang berusaha merekonstruksi peristiwa itu sekali lagi. Saya sempat menyaksikan pada acara Karbala, di arak seekor kuda. Melambangkan kuda Imam Husein, Dzuljanah. Digambarkan seekor kuda putih yang berlumuran darah. Dan orang banyak mengambil berkah dari kuda yang hanya simbol itu, untuk menyegarkan kembali ingatan dalam benak kita; tentang peristiwa sejarah yang harus kita kenang, terutama apabila ada sekelompok orang yang berusaha untuk menghilangkan peristiwa bersejarah tersebut.
Jadi, terlihat bahwa memang kita memperingati Muharram ini sebagai bagian dari upaya untuk tidak menghilangkan peristiwa bersejarah itu. Rupanya, ada upaya yang dilakukan secara terperinci untuk menghapuskan jejak sejarah tersebut. Jika peristiwa tersebut sudah tak dapat lagi dihapuskan—karena peristiwa Karbala itu memang terlalu jelas untuk dapat dihapuskan—silahkan baca seluruh tarikh Islam dalam bahasa apapun. Anda akan menemukan peristiwa Karbala disebut. Atau silahkan baca sejarah bangsa Arab, sejarah itupun akan menyebutkan peristiwa Imam Husein. Oleh karena itu kemudian ada cara yang kedua: menjadikan Yazid bukan sebagai pembunuh Imam Husein. Sebagaimana dikutip oleh Republika:
“Yang pertamakali mengatakan bahwa Yazid pembunuh Imam Husein itu adalah Abu Mikhnaf, dan dia adalah seorang pembohong besar! Menurut siapa? Menurut as-Suyuthi……………”, dia menyebutnya Imam as-Suyuthi.
Imam jalaluddin As-Suyuthi dan peristiwa karbala. Saya membuka kitab Tarikh Al-Khulafa, ditulis oleh al-hafidz Jalaluddin as-Suyuthi. Saya tidak menemukan rujukan yang dimaksud oleh Syahrudin Elfikri (lihat bagian satu). Kitab yang disebutkannya tidak saya temukan pada Maktabah Ahlil Bayt. Tetapi bila Elfikri menisbatkan rujukan itu pada Jalaluddin As-Suyuthi, sekarang mari kita cek peristiwa Karbala sebagaimana yang ditulis oleh Jalaluddin As-Suyuthi. Apa betul menurut as-Suyuthi bahwa Yazid bukan pembunuh Imam Husain. Saya bacakan langsung dari sumber aslinya:
“Maka Yazid kemudian menulis surat kepada gubernurnya di Irak, yaitu Ubaidillah bin Ziyad untuk membunuh Imam Husain. Lalu dia kirimkan pasukan yang terdiri dari 4000 prajurit yang dipimpin oleh Umar bin Saad bin Abi Waqash (putera dari sahabat Nabi Saad bin Abi Waqash—red). Maka kemudian penduduk Kufah mengkhianati Imam Husain sebagaimana mereka telah lakukan terhadap ayahnya (yaitu Imam Ali). Dan setelah senjata-senjata dihunuskan, Imam Husain mengajak mereka kepada keadaan semula. Dan mereka semua menolak dan bersikeras ingin membunuhnya. Lalu terbunuhlah Imam, dan kepalanya dibawa di dalam sebuah wadah, sampai di hadapan Ibnu Ziyad.”
Perhatikan ucapan Jalaluddin as-Suyuthi setelah itu, “Maka laknat Allah, bagi pembunuhnya, bagi Ibnu Ziyad beserta dia, dan laknat Allah juga bagi Yazid.” (semua kutipan As-Suyuthi diambil Tarikh al-Khulafa, halaman 193, terbitan Darul Kutub al-Islamiyyah, Beirut).
Apabila kita membaca Republika kita dapat pesan bahwa Jalaluddin As-Suyuthi tidak percaya bahwa Yazid memerintahkan pembunuhan Imam Husain. Karena menurut Elfikri, Abu Mikhnaf adalah satu-satunya orang yang meriwayatkan bahwa Yazid adalah pembunuh Imam Husain. Dan Abu Mikhnaf itu adalah pembohong besar. Saya tidak menemukan ucapan-ucapan dalam kitab bahwa Abu Mikhnaf itu adalah pembohong besar kecuali dalam harian Republika. Yang saya temukan dari as-Suyuthi justeru adalah bahwa as-Suyuthi melukiskan peristiwa Karbala dengan sangat dramatis sebagai berikut: “Terbunuhnya beliau itu ialah di Karbala, dan dalam kisah terbunuhnya itu, ada peristiwa yang panjang, yang hati ini tidak akan sanggup untuk menanggungnya, hati ini tidak akan sanggup untuk mengenangnya. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.” Kemudian ia bercerita pada waktu terbunuhnya Imam Husain: “Matahari itu memudar selama tujuh hari terus menerus, dan langit menguning, kemudian gemintang di malam hari seperti bertubrukan satu sama lain. Dan terbunuhnya itu pada hari Asyura, dan matahari pun mengalami gerhana, dan ufuk-ufuk langit memerah enam bulan terus menerus setelah peristiwa tersebut, dan ada satu bagian kemerah-merahan di langit yang tidak hilang sesudah itu, yang tidak pernah kelihatan sebelumnya. Pada hari itu, tidaklah dibalikkan bebatuan di Baitul Muqaddas kecuali orang-orang melihat di bawahnya darah kental mengalir.” Dan diceritakan oleh beberapa ahli tarikh, bahwa pada hari itu juga terjadi hujan merah.
Di internet saya pernah menemukan sebuah fotokopi scanning sebuah dokumen dari perpustakaan di London, yang kebetulan sama dengan tanggal 10 Muharram 60H. Penulis dokumen ini melingkari sebuah berita di situ bahwa pada tanggal yang sama di London pun terjadi hujan berair merah, seperti hujan darah.
Di sisi lain, di internet ada juga ceramah Dr. Zakir Naik. Dia memberikan ceramah dalam bahasa Inggris . Ketika dia mengucapkan nama Yazid, dia menyebut “May Allah be pleased with him.” Ceramahnya itu mendapatkan reaksi bantahan dan penolakan keras dari para ulama, bahkan ulama-ulama Ahlu Sunnah. Dia pun menambahkan gelaran Sayyidina kepada Yazid dan ia mendapatkan banyak kecaman. Dia mengatakan bahwa Yazid bukanlah pembunuh Imam Husain, bahwa yang bersalah ialah Imam Husain sendiri karena ia ingin merebut kekuasaan yang sah. (lihatlah “Mufti besar Saudi mengatakan cucu Nabi sesat”. Yang membuat penasaran redaksi ialah apakah Dr. Zakir Naik menganggap perbuatan ‘Aisyah sama juga salah karena ia telah memerangi khalifah yang haq yaitu Imam Ali as—pen). Dia berpendapat bahwa kita tidak boleh melaknat Yazid. Bahkan menurutnya Imam al-Ghazali sekalipun tidak melaknat Yazid. Katanya, kita dilarang untuk melaknat Yazid karena ia adalah salah seorang amirul mukminin, dan banyak lagi alasan lainnya.
Dalam telaah kita, kita temukan bahwa as-Suyuthi pun melaknat Yazid. As-Suyuthi ialah ulama besar Ahlus Sunnah, dari madzhab Syafi’i . Semua orang NU di Indonesia—dengan syarat ia Kyai—pasti mengenal nama Jalaluddin as-Suyuthi. Ayah saya dulu seorang Kyai, dan dia ngaji di pesantren, belajar tafsir, namanya tafsir Jalalain. Salah seorang penulisnya ialah Jalaluddin as-Suyuthi. As-Suyuthi adalah ulama besar Ahlus Sunnah dan dia melaknat Yazid. Dia melaknat pembunuh Imam Husain, melaknat Ubaydillah bin Ziyad, dan melaknat Yazid sekaligus.
DHOGO’IN FI SHUDUURI AQWAAMIN
Agak menyimpang dari pembicaraan sebelumnya tapi mungkin berkaitan. Saya ingin memberikan komentar pada selebaran yang dibagikan di Masjid Istiqamah Bandung pada ibadah shalat Jum’at yang lalu. Di sana disebarkan pada jamaah selebaran dengan judul “Kebencian dan Kebohongan Jalaluddin Rakhmat, terhadap Ummul Mukminin ‘Aisyah ra, Imam Bukhari, dan Imam Muslim.” (Rupanya selebaran itu berasal dari Makassar, tertanggal 29 Ramadhab 1429H barangkali hitung-hitung ibadah menutup Ramadhan—Red).
Menurut para sosiologi, ketika seseorang melihat sebuah peristiwa, ia selalu berusaha memberikan makna: untuk apa peristiwa itu, mengapa, dan sebagainya. Kita akan mencari hubungannya dengan peristiwa lainnya yang berkaitan dengan peristiwa itu. Kita akan menemukan bahwa sebuah cerita itu saling berhubungan di alam kehidupan ini. Sewaktu membaca selebaran ini saya juga tidak paham apa yang dia maksud. Untuk apa sebetulnya Masjid Istiqamah membagi-bagikan ini? Lalu saya berpikir, mungkin, karena sebentar lagi ada acara Asyura. Dan pasti yang memiliki lakon dalam acara ini ialah Jalaluddin Rakhmat. Dia pasti akan bercerita tentang Karbala, dan dampak dari peristiwa Karbala adalah banyaknya orang yang akan terpengaruh (dan terperangah—red) dengan cerita ini. Saya menduga, sekitar 20% pengunjung ialah orang yang tidak bermadzhab Ahlul Bayt. Orang yang datang ingin mendengar. Kemungkinan besar orang-orang seperti itu akan mempercayai cerita Jalaluddin Rakhmat. Apalagi, karena—menurut selebaran itu—Jalaluddin Rakhmat memiliki keahlian dalam komunikasi. Disebutkan di dalamnya bahwa cara untuk menangkis serangan tersebut ialah menyiapkan suatu benteng dalam hati untuk ditanamkan dalam benak bahwa Jalaluddin Rakhmat itu ialah seorang pembohong besar.
Dahulu pada suatu ketika, Rasulullah Saw berjalan di luar kota Madinah bersama Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Imam Ali as. Di luar benteng Madinah itu, ada taman-taman yang asri. Imam Ali berkata kepada Nabi, “Ya, Rasulullah. Betapa indahnya kebun-kebun ini.” Rasulullah Saw menjawab, “Sesungguhnya tamanmu di surga jauh lebih indah dari ini.” Beberapa saat kemudian kata Anas bin Malik, Rasulullah Saw meletakkan kepalanya di bahu Imam Ali. Menurut riwayat Imam Ali: Rasulullah meletakkan dahinya di bahuku, kemudian beliau terus menerus menangis, makin lama makin keras. Kemudian Rasulullah Saw memberikan isyarat terhadap jatuhnya Imam Ali, dan orang-orang bertanya kepada Rasulullah: “Mengapa kau menangis, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Aku sedih, aku menangis, karena kebencian yang ada pada hati kabilah-kabilah itu, dhogo’in fi shuduuri aqwaamin, terhadap kamu hai Ali. Yang tidak mereka tampakkan. Kecuali setelah aku meninggalkan dunia ini.” Jadi Rasulullah meramalkan bahwa suatu saat bakal ada orang yang menampakkan kebenciannya kepada Imam Ali, setelah Rasulullah meninggal dunia. Dan kebencian itu tidak memiliki dasar apa-apa. Bukan benci karena pribadi Imam Ali, karena tidak akan ada seorangpun yang menemukan dalam Imam Ali, suatu kepribadian yang membuat seseorang benci kepadanya.
Murtadha Muthahari pernah menulis tentang gaya tolak dan gaya tarik (quwwatun jaadzibah wa daafi’ah) Imam Ali. Seseorang tidak akan menemukan sesuatu yang membuat mereka benci terhadap Imam Ali. Saya hampir-hampir mengatakan “ini kebencian kolektif”. Rasulullah Saw menyebutnya: “rasa benci pada hati kaum-kaum tersebut terhadapmu”. Dan rasa benci itu bukan disebabkan oleh pribadi Imam Ali. Ketika Ibn Muljam dihadapkan kepada Imam Ali dan Imam Ali dalam keadaan kepala terbaring bersimbah darah dan wajahnya memutih, Imam Ali melihat Ibnu Muljam terikat. Imam Ali meminta agar ikatan Ibnu Muljam itu dilonggarkan. Imam Ali bertanya padanya: Aku ini pemimpin seperti apakah menurut kamu? Apakah pernah aku menyakiti hatimu? Apakah pernah aku merugikanmu? Bukankah aku dahulukanmu daripada yang lain? Aku sudah tahu bahwa kamu akan menjadi pembunuhku………. tapi aku biarkan kamu. Apa sebetulnya dalam diriku sehingga kau melakukan apa yang kau lakukan kepadaku?
Ibn Muljam tak dapat menjawab. Memang tidak ada alasan untuk membenci Imam Ali. Itu hanya karena sebuah ideologi yang diterapkan terus menerus. Sehingga menyebabkan orang membenci Imam Ali, bukan karena apa-apa, tanpa sebab yang jelas. Dan apa yang terjadi pada Imam Ali, terjadi juga pada Imam Husein. Di padang Karbala, Imam Husein berkata: “Siapa yang mengenal aku pasti ia mengenal ayahku. Siapa yang tidak mengenaliku, mari aku sebutkan. Siapakah orang yang pertamakali shalat di belakang Rasululllah? Ayahku atau ayahmu?” Mereka semua tak mampu menjawab, namun mereka tetap ingin membunuh Imam Husein. Itulah kedengkian yang tersembunyi dalam hati, yang baru mereka tampakkan sepeninggal Rasulullah Saw.
Lihatlah apa yang terjadi pada Imam Khomeini. Mengapa ada orang yang tidak mengenal Imam Khomeini namun sangat membencinya. Padahal Imam Khomeini tidak pernah merugikan dia. Imam tidak pernah mengancam kepentingan dia …………….tapi ada orang yang membencinya secara luar biasa. Facebook saya juga dikotori oleh orang-orang seperti itu, padahal saya sudah berusaha untuk me-remove orang-orang ini, namun mereka muncul kembali dengan nama-nama yang baru. Terpaksa saya harus menerima terus makian-makian terhadap Imam Khomeini. Mereka menggambarkan Imam Khomeini sebagai makhluk paling jahat di dunia. Mengapa mereka melakukan hal tersebut? Tidak jelas. Itu karena kedengkian dalam hati mereka. Dan ini berlaku terhadap semua pengikut Ahlul Bayt.
Bila saudara mencintai Ahlul Bayt, saudara akan tiba-tiba dibenci oleh orang-orang di sekitar saudara. Mereka membenci saudara tanpa alasan yang jelas. Dan jawabannya ialah karena kebencian kolektif itu. Karena itu saya tidak lagi risau terhadap ungkapan-ungkapan kebencian seperti itu. Itu harus kita terima sebagai kenyataan yang ada di tengah-tengah kita. Akan terus ada ungkapan-ungkapan kedengkian, bahkan mungkin ungkapan-ungkapan kekerasan yang diarahkan terhadap kita. Dimulai dengan kekerasan secara verbal, sampai kekerasan fisikal. Mereka sama sekali tidak menggunakan argumentasi. Seseorang yang menumpahkan kebencian terhadap Ahlul Bayt, akan kehilangan cahaya wajah mereka, sedangkan bagi yang mengungkapkan kecintaan mereka terhadap Ahlul Bayt akan memperoleh cahaya di wajah mereka.
Sepanjang sejarah para pengikut Ahlul Bayt selalu dihadapkan kepada kebencian dan kekerasan dalam hidup mereka karena kedengkian orang-orang dalam hatinya. Namun meskipun begitu, kita harus tetap bersikap baik seperti Imam Ali terhadap Ibnu Muljam. Jangan melawan kekerasan dengan kekerasan. Kalau bisa kita ma’afkan. Kita tebarkan ampunan. Seperti kata Imam Ali kepada Imam Hasan tentang Ibnu Muljam: “Jika aku mati, kalian dapat melakukan qishash terhadap dia. Tapi jangan ganggu keluarganya. Jangan melakukan mutilasi, karena Rasulullah melarangnya. Berilah dia pakaian seperti yang kamu pakai.” Imam Hasan bertanya: “Ya, Abah………sampai dalam keadaanmu saat ini kau masih menganjurkan hal yang baik kepada pembunuhmu?” Lalu Imam Ali meminta minuman susu. Konon minuman itu adalah minuman terakhirnya. Imam Ali meneguk sebagian minuman itu, dan menyerahkan sisanya seraya berkata: “Berikan minuman ini kepada Abdurrahman Ibnu Muljam.”
Maka si pembunuh itu beroleh berkah dari cawan suci Amirul Mukminin.
Inilah pelajaran betapa di saat terakhir sekalipun, Imam Ali tidak pernah mengurangi kasih sayangnya kepada sesama manusia bahkan kepada orang yang berbuat keji terhadapnya.
(disampaikan pada peringatan Majlis Duka Husaini, DPW Ijabi Jawab Barat, 7 Muharram 1432H. 7 Muharram adalah saat ketika Imam Husein dan kafilah keluarga Nabi mulai kelaparan dan kehausan, ditahan dari sungai Furat (EFRAT) oleh ribuan pasukan. Terhatur terima kasih bagi saudara Alfan Arrasuli yang telah mentranskripnya dalam semalam. Labbayka ya Husain!)
(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email