Pesan Rahbar

Home » » Ru'yatul-Hilâl (Melihat Bulan)

Ru'yatul-Hilâl (Melihat Bulan)

Written By Unknown on Wednesday, 2 November 2016 | 23:54:00


Oleh: Imam Khamenei Hf


SOAL 833:

Sebagaimana Anda telah ketahui, keadaan bulan (hilâl) pada akhir atau awal bulan berada adalah satu dari tiga (3) kondisi berikut:

1. Bulan terbenam sebelum matahari terbenam.

2. Bulan terbenam bersamaan dengan terbenamnya matahari.

3. Bulan terbenam setelah matahari terbenam.

Kami mohon penjelasan berbagai masalah berikut:

Pertama: Manakah dari tiga kondisi yang tersebut di atas dianggap sebagai awal bulan dari aspek fiqih?

Kedua: Jika kita beranggapan bahwa ketiga kondisi di atas dapat dihitung di titik terjauh dunia melalui program penghitungan elektronik yang seksama, apakah boleh menggunakan perhitungan perhitungan tersebut untuk menentukan awal bulan jauh sebelumnya, ataukah harus berdasarkan ru’yah (penglihatan) dengan mata?

JAWAB:

Tolok ukur penentuan awal bulan adalah hilâl (awal bulan) yang terbenam setelah matahari terbenam, dan yang dapat dilihat sebelum terbenam dengan cara yang lazim (muta’araf). Penghitungan yang tidak menimbulkan keyakinan tidak dianggap.

SOAL 834:

Jika hilâl bulan Syawal belum disaksikan di sebuah kota, namun televisi dan radio mengumumkan masuknya bulan tersebut, apakah hal itu cukup ataukah wajib menyelidikinya?

JAWAB:

Jika hal itu menimbulkan kemantapan akan munculnya hilâl (awal bulan), atau bahwa hal itu telah ditetapkan oleh Wali faqih, maka hal itu cukup dan tidak perlu menyelidikinya.

SOAL 833:

Sebagaimana Anda telah ketahui, keadaan bulan (hilâl) pada akhir atau awal bulan berada adalah satu dari tiga (3) kondisi berikut:

1. Bulan terbenam sebelum matahari terbenam.

2. Bulan terbenam bersamaan dengan terbenamnya matahari.

3. Bulan terbenam setelah matahari terbenam.

Kami mohon penjelasan berbagai masalah berikut:

Pertama: Manakah dari tiga kondisi yang tersebut di atas dianggap sebagai awal bulan dari aspek fiqih?

Kedua: Jika kita beranggapan bahwa ketiga kondisi di atas dapat dihitung di titik terjauh dunia melalui program penghitungan elektronik yang seksama, apakah boleh menggunakan perhitungan perhitungan tersebut untuk menentukan awal bulan jauh sebelumnya, ataukah harus berdasarkan ru’yah (penglihatan) dengan mata?

JAWAB:

Tolok ukur penentuan awal bulan adalah hilâl (awal bulan) yang terbenam setelah matahari terbenam, dan yang dapat dilihat sebelum terbenam dengan cara yang lazim (muta’araf). Penghitungan yang tidak menimbulkan keyakinan tidak dianggap.

SOAL 834:

Jika hilâl bulan Syawal belum disaksikan di sebuah kota, namun televisi dan radio mengumumkan masuknya bulan tersebut, apakah hal itu cukup ataukah wajib menyelidikinya?

JAWAB:

Jika hal itu menimbulkan kemantapan akan munculnya hilâl (awal bulan), atau bahwa hal itu telah ditetapkan oleh Wali faqih, maka hal itu cukup dan tidak perlu menyelidikinya.

SOAL 835:

Jika berhalangan untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan hari raya karena hilâl awal bulan tidak dapat terlihat, akibat awan atau sebab-sebab lain, sedangkan jumlah hari bulan Sya’ban atau Ramadhan belum genap 30 hari, apakah kami yang berada di Jepang boleh menggunakan ufuk Iran atau bersandarkan pada kalender? Dan apa hukumnya?

JAWAB:

Jika awal bulan tidak terbukti dengan cara melihat hilâl, meski di ufuk kota-kota tetangga yang terletak di bawah ufuk yang sama, atau melalui kesaksian dua orang adil, atau melalui keputusan hakim, maka wajib ber-ihtiyâth (berhati-hati) untuk memastikan awal bulan. Terlihatnya bulan sabit di Iran yang terletak di sebelah barat Jepang tidak berlaku bagi orang yang tinggal di Jepang?

SOAL 836:

Apakah kesatuan ufuk merupakan syarat untuk dalam ru’yatul-hilâl ataukah tidak?

JAWAB:

Ru’yatul- hilâl di negara-negara yang bersatu atau berdekatan ufuk, atau di negara-negara yang terletak di sebelah timur dianggap cukup.

SOAL 837:

Apakah yang dimasuk dengan kesatuan ufuk?

JAWAB:

Maksudnya adalah negara-negara yang berada di satu garis bujur. Jika dua negara dalam satu bujur (dalam istilah astronomi), maka keduanya disebut satu dalam ufuk.

SOAL 838:

Jika terjadi perselisihan pendapat antara para ulama di satu negara tentang muncul atau tidaknya hilâl (bulan sabit), sementara keadilan mereka telah terbukti bagi mukallaf dan ia meyakini kejelian masing-masing dari mereka, apakah yang wajib dilakukan oleh mukallaf?

JAWAB:

Jika perbedaan antara dua bayyinah (bukti syar’i) berkisar antara penetapan dan penolakan, seperti bila salah satu pihak mengklaim tentang munculnya hilâl, sedangkan pihak lain menafikannya, maka berarti itu merupakan kasus "perbenturan antar dua bayyinah". Mukallaf, dalam kondisi demikian, wajib menyingkirkan keduanya dan mengambil ketentuan dasar (al-ashl) perihal taklif. Namun, bila perbedaan di antara mereka berkisar antara munculnya hilâl dan tidak tahu akan munculnya hilâl, seperti bila sebagian mengklaim telah melihat (ru’yah) hilâl, sedangkan sebagian lain mengatakan bahwa hilâl tidak terlihat oleh mereka, maka pendapat kelompok yang mengaku telah melihat jika terdiri atas dua orang yang adil merupakan hujjah syar’i (dasar syar’i) bagi mukallaf, dan ia wajib mengikutinya. Demikian pula jika hakim syar’i menetapkan munculnya hilâl, maka ketetapannya merupakan hujjah syari' bagi seluruh mukallaf dan wajib diikuti.

SOAL 839:

Jika seseorang telah melihat hilâl, dan tahu bahwa hakim di kotanya tidak dapat melakukannya karena suatu sebab atau lainnya, apakah ia berkewajiban untuk memberitahu hakim tersebut tentang ru’yah hilâl-nya ataukah tidak?

JAWAB:

Ia tidak wajib memberitahukan kepadanya, kecuali jika tidak memeberitahukannya akan menimbulkan dampak-dampak buruk (mafsadah).

SOAL 840:

Sebagimana telah Anda ketahui bahwa sebagian besar fuqaha’ yang mulia dalam risâlah 'amaliyah (buku fatwa) mereka telah membatasi lima (5) cara untuk menetapkan munculnya hilâl awal bulan Syawal, tidak termasuk jika hilâl terbukti telah muncul bagi hakim syar’i. Jika memang demikian, bagaimana kebanyakan kaum Mukminin melakukan ifthar (berbuka puasa) hanya ketika hilâl terbukti telah muncul bagi para marja’ yang agung ? Dan apa taklif seseorang yang tidak mantap terhadap cara ini?

JAWAB:

Kemunculan hilâl bagi seorang hakim tidak cukup untuk diikuti oleh orang lain apabila ia tidak memutuskannya, kecuali jika karena hal itu ia (selain hakim) meyakini kemunculan hilâl.

SOAL 841:

Jika Wali Amr Muslimin menetapkan bahwa besok adalah hari raya, dan radio dan televisi menyiarkan bahwa bulan hilâl telah terlihat di kota ini dan itu, apakah hari raya berlaku atas seluruh penjuru negeri ataukah ia hanya berlaku di kota-kota tersebut atau yang sama dalam ufuk dengannya.

JAWAB:

Jika ketetapan hakim tersebut meliputi semua penjuru negara, maka ketetapannya diakui secara syar’i (mu’tabar) bagi seluruh kota di dalam negeri.

SOAL 842:

Apakah ukuran kecil dan lembutnya hilâl dan ciri-ciri khas hilâl malam pertama yang terdapat padanya dapat dianggap sebagai bukti bahwa malam sebelumnya bukanlah awal bulan, Namun itu adalah malam ke 30 dari bulan lalu? Dan jika hari raya terbukti telah tiba menurut seseorang, kemudian ia yakin dengan cara ini bahwa kemarin (hari yang lalu) bukanlah hari raya, apakah ia wajib meng-qadhâ' Puasa hari ke 30 Ramadhan?

JAWAB:

Kecil dan rendahnya hilâl atau besar dan tingginya, atau lebarnya atau lemah cahayanya dengan sendirinya bukanlah hujjah (dasar) syar’iy bahwa hilâl itu terkait dengan malam pertama atau malam kedua. Tapi, bila dengan itu semua, seorang mukallaf mendapatkan keyakinan tentang sesuatu, maka ia wajib bertindak sesuai dengan keyakinannya dalam masalah ini.

SOAL 843:

Apakah boleh menjadikan malam bulan purnama, yaitu malam ke 14, sebagai bukti untuk menghitung hari yang menjadi awal bulan, sehingga dengan itu, dapat diungkap tentang hari sangsi (yaumusy-syak) bahwa itu adalah hari ke 30 Ramadhan, misalnya, agar orang yang tidak puasa pada hari itu dapat mengetahui kewajiban meng-qadhâ' puasa hari ke 30 Ramadhan, dan orang yang berpuasa pada hari itu karena menganggap masih dalam bulan Ramadhan, bisa melepaskan diri dari tanggungan (bari’ dzimmah).

JAWAB:

Hal itu bukanlah hujjah syar’iyah (bukti syar’iy) atas sesuatu apapun yang telah disebutkan. Namun, jika hal itu memberikan keyakinan kepada mukallaf, maka ia wajib bertindak sesuai dengan pengetahuannya.

SOAL 844:

Apakah mencari-tahu tentang kemunculan hilâl (istihlal) pada setiap awal bulan merupakan wajib kifa’i ataukah ihtiyâth wâjib?

JAWAB:

Istihlâl sendiri bukanlah kewajiban syar’i.

SOAL 845:

Bagaimana cara menetapkan awal bulan suci Ramadhan dan malam lebaran? Bolehkan menetapkannya berdasarkan kalender?

JAWAB:

Hilâl dapat ditetapkan dengan penglihatan (ru’yah) seorang mukallaf, atau kesaksian dua orang yang adil, atau kabar masyhur yang menimbulkan keyakinan, atau berlalunya 30 hari, atau ketetapan hakim.

SOAL 846:

Jika diperbolehkan mengikuti pengumuman sebuah negara tentang ru’yatul-hilâl dan hal itu menjadi patokan ilmiah bagi kemunculan hilâl di negara-negara lain, apakah pemerintah negara tersebut disyaratkan berupa pemerintahan Islam ataukah boleh mengikuti pengumuman pemerintahan zalim dan korup?

JAWAB:

Tolok ukur dalam hal itu ialah keyakinan akan ru’yah di daerah tersebut.

SOAL 847:

Kami mengharap YM menerangkan hukum i'tikaf baik di mesjid jami' atau lainnya!

JAWAB:

Di mesjid jami' sah melakukan i'tikaf, dan di selain mesjid jami' tidak bermasalah jika dengan niat rajâ'an(pengharapan) Adapun definisi mesjid jami' sudah dijelaskan dalam bab Shalat.[]

(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: