Oleh: Zainal Abidin Bagir*
Tak sedikit tokoh, pejabat, politisi bahkan polisi yang memuji gelombang aksi protes terhadap ucapan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kontroversial itu. Pujian-pujian itu beralasan, karena meskipun kelompok yang memobilisasi atau mendukung demo tampaknya berasal dari spektrum yang amat luas, mulai dari yang sangat moderat hingga yang disebut garis keras, tuntutan akhir mereka sama, yaitu menuntut agar Ahok diproses di jalur hukum, secara adil dan berkeadilan.
Supremasi hukum demi tegaknya keadilan tentu adalah jalan beradab, demokratis dan moderat. Tapi benarkah demikian? Saya khawatir, imajinasi tentang keadaban dan sikap moderat seperti ini terlalu cetek. Tentu tidak keliru, tapi tidak cukup. Penyelesaian masalah melalui jalur hukum harus dipuji, jika alternatifnya adalah respon kekerasan. Namun, khususnya dalam kasus “penistaan agama”, ada banyak alasan untuk meragukan bahwa seruan itu adalah jalan terbaik untuk memecahkan masalah, dan mungkin justru tak menjanjikan keadilan.
Sebab utamanya adalah bahwa peristiwa ini (ucapan Ahok dan pembingkaian atas peristiwa itu sebagai “penistaan agama”), jika masuk pengadilan, kemungkinan besar merujuk merujuk pada Pasal 156A KUHP, yang tidak memiliki karir gemilang dalam sejarah Indonesia. Ini adalah bagian dari pasal-pasal karet “kejahatan terhadap ketertiban umum” dalam KUHP. Pasal yang ditambahkan pada tahun 1969 atas perintah UU 1/PNPS/1965 ini memiliki nilai politis yang amat kuat. Target awalnya adalah untuk membatasi aliran-aliran kebatinan/kepercayaan yang terutama bersaing dengan kekuatan politik Islam pada tahun 1950 dan 1960an.
Setelah tahun 1998, target itu bergeser. Target lama tetap ada, meskipun bukan mengenai aliran-aliran kebatinan lama, tapi gerakan-gerakan baru seperti Salamullah yang dipimpin Lia Eden, atau Millah Abraham. Tak ada isu politik penting dalam mengejar kelompok-kelompok itu, namun alasan utamanya adalah “pemurnian” Islam (dan mungkin alasan soisal-ekonomi-politik lain). Selain itu, tujuan baru penggunaan pasal ini adalah sebagai upaya peminggiran intraagama, yaitu kelompok-kelompok dalam komunitas Muslim sendiri, seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang sebetulnya sudah eksis di Indonesia sejak jauh sebelumnya. Dalam Kristen, ada beberapa kasus serupa. Pasal penodaan agama jarang digunakan sebagai ekspresi perselisihan antaragama, kecuali dalam beberapa kasus.
Melihat rentang wilayah penggunaan pasal KUHP itu, kita bisa segera mencurigai efektifitasnya. Bagaimana mungkin keyakinan (misalnya bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul terakhir dalam Islam) dijaga dengan pasal yang sama yang memenjarakan orang selama 5 bulan karena memprotes speaker masjid yang terlalu keras (seperti di Lombok pada 2010; seorang perempuan Kristen yang mengomentari sesajen Hindu (seperti di Bali pada 2013); atau seorang “Presiden” Negara Islam Indonesia yang mengubah arah kiblat dan syahadat Islam, namun kemudian pada 2012 hakim memberi hukuman setahun, untuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Itu hanyalah beberapa contoh yang bisa diperbanyak dengan mudah.
Selain rentang implementasi yang demikian luas, persoalan lain adalah amat kaburnya standar pembuktian kasus-kasus semacam itu. Kasus-kasus yang diadili dengan Pasal 156A tersebut biasanya menggunakan cara pembuktian serampangan, dengan pemilihan saksi ahli yang tak jelas standarnya pula (dalam satu kasus pada tahun 2012, seorang yang diajukan sebagai saksi ahli agama bahkan tidak lulus sekolah). Penistaan atau penodaan bukan sekadar pernyataan yang berbeda, tapi—seperti dinyatakan Pasal 156A itu—mesti bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan, bahkan mesti ada maksud supaya orang tidak menganut agama apapun. Apakah Ahok, yang membutuhkan suara mayoritas Muslim Jakarta, berpikir untuk memusuhi mereka?
Selain itu, apakah ia dianggap menghina Islam, atau ulama? Yang dikritiknya adalah Muslim yang disebutnya membohongi pemilih DKI dengan menggunakan ayat 51 surat Al-Maidah. Apakah muslim seperti itu identik dengan Islam, sementara banyak ulama dan terjemahan Al-Qur’an memberikan tafsir berbeda?
Dalam kenyataannya, jika kasus ini masuk ke pengadilan, seperti dapat dilihat dalam banyak kasus, pertanyaan-pertanyaan tentang standar pembuktian kerap diabaikan. Yang menjadi pertimbangan yang tak kalah penting adalah “ketertiban umum” (yang menjadi judul Bab KUHP yang mengandung pasal tersebut). Persoalannya, ancaman terhadap “ketidaktertiban umum” itu lebih sering dipicu oleh pemrotes yang merasa tersinggung, dan bukan pelaku itu sendiri. Karena itulah, demonstrasi besar jilid satu dan dua pada 4 November nanti—dan bukan ucapan Ahok itu sendiri—menjadi penting sebagai dasar untuk menggelar pengadilan atas Ahok.
Pemurnian sebagai politik
Penting dilihat bahwa dalam kenyataannya, Pasal 156A dipakai hanya selama sekitar 10 kali sejak tahun 1965 hingga 2000, dan tiba-tiba dalam 15 tahun terakhir demikian populer, telah digunakan sekitar 50 kali! Apakah setelah Reformasi ada makin banyak para penoda agama atau orang-orang yang sesat? Atau ada penjelasan lain dengan melihat transisi politik pada 1998?
Seperti halnya pasal-pasal kriminal serupa di banyak negara lain tentang “penodaan”, “penistaan”, atau “blasphemy”, upaya seperti ini biasanya memang menggabungkan dua tujuan sekaligus: tujuan penjagaan “kemurnian agama” (tentu dalam versi kelompok yang memiliki kuasa untuk mendiktekannya) dan tujuan politik. Pasal ini menjadi instrumen efektif untuk menjalankan politik “pemurnian” agama, yaitu penegasan kuasa politik suatu kelompok keagamaan.
Pada tahun 2010, UU ini dan Pasal 156A diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Benar MK mempertahankan pasal ini, namun perlu dilihat juga catatan panjang yang diberikan para hakim MK tentang kelemahan-kelemahannya, dan saran agar pasal ini direvisi supaya tidak diskriminatif serta mendukung pluralisme Indonesia. Bahwa ada unsur politik, bukan semata-mata pidana, dalam pasal ini, tampak dalam pertimbangan MK yang panjang, hingga mengelaborasi persoalan filosofis mengenai hubungan agama dan negara, dan sejarah Indonesia sebagai negara berketuhanan.
Bagaimana mengatasi Ahok: Imajinasi yang lebih kaya
Maka kita bisa bertanya, apa sebetulnya tujuan dari keinginan besar untuk mengadili Ahok sebagai penista agama? Soalnya mungkin bukan tentang umat Islam yang sudah seharusnya tersinggung atas upaya penistaan agamanya. Pertama, ketersinggungan itu mungkin dirasakan setelah pernyataan Ahok itu dibingkai orang dan kelompok tertentu, yang lalu memobilisasi massa. (Sekali lagi, ini mirip dengan kasus “penodaan” lain, seperti kasus kartun Denmark.)
Selain itu, jika tak ada alasan politik praktis menjelang pilgub DKI atau yang lain, tapi ini soal menjaga kemurnian agama, benarkah kita mau menggantungkan kemuliaan agama pada satu pasal karet yang sama yang telah digunakan untuk mengadili orang dengan gangguan kejiwaan, pencabut speaker masjid, seorang ibu rumah tangga yang mengomentari sesajen Hindu, atau banyak kasus-kasus lainnya?
Jika idenya adalah, seperti disampaikan banyak pemrotes Ahok, untuk mempertahankan kebhinnekaan dan toleransi Indonesia, maka seharusnya kita mengembangkan imajinasi lebih kaya tentang suatu negara bhinneka yang beradab dan demokratis. Misalnya, dengan melihat bahwa penyelesaian konflik dan penjagaan kebhinnekaan bukan semata-mata isu formalitas suatu pasal hukum pidana yang telah berusia setengah abad.
Selain pendekatan hukum, sebetulnya kasus-kasus perselisihan keagamaan mutakhir di Indonesia menunjukkan bahwa pendekatan non-litigasi lebih menjamin tercapainya pemecahan masalah. Banyak contohnya, mulai dari persoalan-persoalan menyangkut rumah ibadah (gereja, masjid, atau rumah ibadah lainnya), hingga konflik-konflik komunal seperti konflik Muslim-Kristen di Ambon. Dalam hal ini, selain melihat Pasal 156A, kita perlu pula melihat bagaimana UU Penanganan Konflik Sosial merespon isu semacam ini.
Kita bisa juga melihat adanya penggeseran tren “penodaan agama” di dunia Muslim. Dalam Organisasi Kerjasama Islam, sejak 1999 ada upaya menggolkan resolusi PBB tentang “penodaan Islam” untuk merespon makin maraknya tren yang belakangan disebut Islamophobia. Setelah sejarah panjang kegagalan resolusi ini, akhirnya pada tahun 2011 resolusi ini berubah menjadi Resolusi 16/18 tentang “memerangi intoleransi, stigmatisasi, stereotyping dan kekerasan atas dasar agama”, dan segera diterima secara bulat oleh semua negara dalam Dewan HAM dan kemudian dalam Majelis Umum PBB.
Ada dua karakter penting dalam pergeseran itu. “Penodaan agama” biasanya berwujud tekanan pada kelompok yang lebih lemah dari kelompok besar (besar bukan hanya karena jumlah, tapi kemampuan mobilisasi), sementara resolusi yang baru membela kelompok minoritas (seperti Muslim di Eropa) dari tekanan kelompok besar.
Selain itu, ada kesadaran pula bahwa hal-hal seperti itu tidak efektif diselesaikan melalui hukum. Perselisihan yang biasanya disebut sebagai “penodaan agama” lebih efektif diselesaikan melalui dialog dan tindakan politik, serta, secara jangka panjang, melalui pendidikan. Bukan kebetulan bahwa resolusi itu diubah hanya beberapa bulan setelah Pakistan, sebagai pendukung utamanya, menyaksikan terbunuhnya Gubernur Punjab Salman Taseer yang mengkritik UU penodaan agama negerinya.
Pada akhirnya, kita perlu beratanya ulang: apa yang mau kita capai? Dan apakah penegakan hukum—apalagi ketika mempertimbangkan hukum yang bermasalah dalam kasus ini—akan mencapai tujuan itu? Alternatif yang diajukan tentu bukanlah melawan hukum. Tapi kemauan politik yang kuat dari pihak penyelenggara negara untuk mencari jalan-jalan kreatif pemecahan masalah, dan kesediaan kelompok-kelompok pemrotes—setelah bertanya ulang tujuan protesnya—untuk berusaha keras mencari jalan penyelesaian dialogis.
Jalan dialogis perundingan mungkin dianggap sebagai terlalu soft atau flamboyan dan muluk-muluk saja. Namun kita sudah melihat bahwa beberapa konflik keras yang melibatkan komunitas keagamaan dapat selesai dengan pendekatan ini, sementara “penegakan hukum” justru dapat memperuncing perselisihan dan merugikan semua pihak.
Pada saat ini, ketika tahap perselisihan terkait kasus Ahok ini sudah mencapai tahap yang cukup mengkhawatirkan, pemerintah, penegak hukum, maupun kelompok-kelompok Muslim dituntut untuk berupaya lebih keras—ya, lebih keras dari upaya memobilisasi atau mengantisipasi Demo 4 November—dalam mengupayakan jalan keluar yang lebih baik. Teriakan “tegakkan hukum!” terlalu mudah untuk persoalan kita—sekali lagi, jika disepakati bahwa kebhinnekaan dan kemuliaan agama di Indonesia adalah taruhannya. ***
Catatan: Penulis membahasan lebih jauh tentang sejarah Pasal 156A dan UU No.1/PNPS/1965 yang dikutip di atas di https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2228476. Sedangkan mengenai Resolusi16/18, penulis bahas di http://www.victoria.ac.nz/law/centres/nzcpl/publications/human-rights-research-journal/previous-issues/volume-nine,-2014 .
*Dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gadjah Mada
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email