Pesan Rahbar

Home » » Arab Saudi dan Ekstremisme; Sebar Wahabi Lewat Buku Pelajaran Agama

Arab Saudi dan Ekstremisme; Sebar Wahabi Lewat Buku Pelajaran Agama

Written By Unknown on Wednesday, 4 January 2017 | 04:27:00

Saudi sebenarnya sudah melakukan reformasi pendidikan, namun kontrol ulama atas tempat publik, pendidikan, dan indoktrinasi agama menyulitkan pelaksanaannya.

Mufti Agung Arab Saudi Syekh Abdul Aziz asy-Syekh. (Foto: Arab News)

Buku-buku pelajaran sekolah di Arab Saudi sudah lama menjadi sasaran kritik dari Amerika Serikat karena menampilkan potret negatif terhadap Yahudi, Nasrani, Syiah dan sekte lainnya dalam Islam, dan sebagian pihak melihat sebagai dasar dari meluasnya kekerasan atas nama jihad.

Penelitian mengenai buku-buku pelajaran sekolah di negara Kabah itu dilakukan oleh the International Center for Religion and Diplomacy (ICRD), kelompok riset berkantor di Washington. ICRD menyimpulkan ajaran Wahabi ini menyebarluaskan paham intoleran.

Penelitian ini di bawah pengawasan Departemen Luar Negeri Amerika dan selesai pada 2013, tapi tidak pernah dirilis karena takut membikin marah para pejabat Arab Saudi. Surat kabar the New York Times berhasil mendapatkan sebuah salinan dari hasil riset ICRD ini berdasarkan Undang-undang Kebebasan Informasi.

Buku-buku pelajaran dari Saudi ini mengajarkan ideologi Wahabi atau Salafi dan disebarluaskan ke seluruh dunia.

Dalam laporannya berjudul Penyebaran Global Buku-buku Pelajaran Saudi, ICRD mengungkapkan di Mali, lembaga-lembaga nirlaba Saudi terlibat sangat jauh dalam pendidikan di Mali. Buku-buku pelajaran asal Saudi banyak digunakan di Mali. Penghancuran kubur-kubur tokoh sufi di Mali menjadi bukti pengaruh langsung dari ajaran-ajaran Wahabi disebarluaskan lewat buku-buku pelajaran dari Saudi.

Di Nigeria, Arab Saudi menggantikan Kuwait sebagai donor utama bagi negara Afrika ini setelah 1966. Pada 1970-an, Arab Saudi menjadi kekuatan paling penting dalam membiayai proyek-proyek agama di utara Nigeria.

Besarnya pengaruh Saudi ini membikin mereka mampu mempengaruhi pendidikan di Nigeria lewat saluran formal dan informal. Secara informal, buku-buku pelajaran Saudi dibawa masuk ke Nigeria oleh para jamaah haji sepulang dari tanah suci, saban tahun jumlah mereka 1,6 juta pada 1979-2006.

Saluran lainnya lewat gerakan Yan Izala, ddibentuk pada 1976 di Jos, dengan sokongan dana dari Arab Saudi dan Kuwait. Gerakan ini berideologi Wahabi dan menolak Sufisme sudah menjadi tradisi muslim di Nigeria. Gerakan Yan Izala bertujuan menghapus inovasi-inovasi tidak islami dan mengembangkan ajaran Sunni versi mereka.

Organisasi Al-Muntada al-Islami, juga didanai Saudi, aktif dalam pendidikan di Nigeria, terutama di barat daya negara ini. David McCormack, ahli Afrika dari the Center for Security Policy, bilang Al-Muntada al-Islami menyebarkan propaganda pendidikan Wahabi dan ketegangan agama di Nigeria. "Al-Muntada sengaja menyebarkan Islam gaya Wahabi di Nigeria," katanya.

Seorang sufi di Negara Bagian Kano, Nigeria, mengatakan sebelum Al-Muntada masuk ke Kano, tidak ada konflik antar agama di sana. Dia menjelaskan Al-Muntada mengongkosi ulama-ulama Nigeria untuk dicu otaknya di kampus-kampus di Saudi dan mengajarkan ajaran Wahabi kepada kaum muslim di Nigeria lewat masjid dan madrasah-madrasah di danai Saudi. "Sekarang kami di tubir perang saudara," ujarnya.

Sejumlah pengamat di Somalia, termasuk wartawan bernama Abdul Ghillah, menyebut penyebaran ajaran Wahabi di Somalia sebagai penyebab langsung munculnya ekstremisme.

Dua lembaga nirlaba asal Saudi, Yayasan Al-Haramain dan WAMY (Majelis Pemuda Muslim Dunia) sangat aktif dalam perkembangan pendidikan di Somalia. Sebelum Al-Haramain ditutup pada 2003 karena terkait dengan jaringan terorisme, yayasan ini mendanai lebih dari seratus sekolah dan delapan panti asuhan di Somalia. WAMY masih tetap beroperasi di Somalia, dengan fokus kegiatan pada pendidikan.

Arab Saudi memiliki sejarah panjang dalam mempengaruhi praktek dan pendidikan Islam di Indonesia. Namun tidaak diketahui berapa banyak dari 47 ribu madrasah dan pesantren di Indonesia menggunakan buku pelajaran dan literatur dari Arab Saudi.

Dalam the Journal of Current Southeast Asian Affairs, peneliti Holger Warnk mendokumentasikan pengaruh Saudi dalam pendidikan di Indonesia sudah berlangsung lebih dari setengah abad.

"Ketika DDI (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) dibentuk pada 1967, lembaga ini menerima sokongan dana dalam jumlah besar dari Arab Saudi untuk membangun masjid dan madrasah disertai Al-Quran dan buku pelajaran gratis bagi lembaga-lembaga pendidikan atau untuk melatih ustad di Indonesia," tuturnya.

DDII telah menjadi saluran utama untuk penyebaran pengaruh dan fulus Saudi ke Indonesia. Melalui organisasi ini, Arab Saudi telah mendanai pembangunan madrasah, masjid, dan percetakan untuk membikin dan menyebarluaskan literatur Wahabi serta Al-Quran.

Lewat DDII pula, Arab Saudi mampu membangun LIPIA di Jakarta, merupakan cabang dari Universitas Imam Muhammad bin Saud.

Setidaknya ada tiga jaringan utama yang disebut oleh Robert Hefner sebagai madrasah-madrasah terinspirasi Wahabi-Salafi. Sekolah-sekolah ini terus tumbuh hingga berjumlah lebih dari 200 saat ini.

Madrasah-madrasah dalam jaringan Wahabi itu antara lain Madrasah Bin Baz (Yogyakarta), Madrasah Imam al-Bukhari (Surakarta), Madrasah Ihya as-Sunnah (Yogyakarta), Madrasah Minhaj as-Sunnah (Magelang), Madrasah Al-Madinah (Solo), Madrasah As-Sunnah (Makassar), dan Pesantren Al-Mukmin (Ngruki).

Andrew Coulson, kini menjabat Direktur the Center for Education Freedom di Cato Institute, dalam laporan pada 2004 berjudul Pendidikan dan Indoktrinasi di Dunia Muslim mengklaim pemerintah Saudi mensponsori materi pendidikan didistribusikan ke madrasah-madrasah dan pesantren di Indonesia.

'Pemerintah Saudi secara aktif menyebarkan radikalisasi pendidikan Islam di Indonesia, saban tahun membagikan sejuta buku-buku bacaan soal ajaran Wahabi ke perpustakaan-perpustakaan sekolah melalui Kantor Urusan Agama di kedutaannya di Jakarta."

ICRD mengakui Arab Saudi sejatinya sudah melakukan reformasi dalam sistem pendidikannya, termasuk merevisi buku-buku pelajaran berisi kekerasan terhadap pihak lain, non-muslim, setelah gelombangan serangan teror oleh Al-Qaidah menghantam negara ini pada 2003.

Program deradikalisasi pun mulai diluncurkan setahun kemudian. Hasilnya, sekitar 3.500 dari 75 ribu imam di Arab Saudi diberhentikan karena berpandangan ekstremis dan lebih dari 20 ribu lainnya dilatih ulang.

Setelah Raja Abdullah bin Abdul Aziz naik takhta pada 2005, buku-buku pelajaran diproduksi ulang dengan menghilangkan kandungan radikal. Dia juga menempatkan lebih banyak pejabat moderat di Kementerian Pendidikan. Saudi juga mulai emmperkenalkan standar akreditasi internasional, kerja sama dengan lembaga pendidikan asing, dan privatisasi universitas.

Rupanya hal itu belum cukup mengubah hal itu. Cara pandangan ekstrem masih terdapat dalam buku-buku pelajaran di Saudi. Sebab ada konvensi di negara Kabah itu: pemerintah berkuasa di sektor keamanan nasional, pertahanan, ekonomi, dan hubungan luar negeri. Sedangkan ulama berwenang mengontrol tempat-tempat publik, pendidikan, indoktrinasi agama, termasuk menyebarkan paham Wahabi ke seluruh dunia.

(New-York-Times/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: