Menurut pakar hukum Prof. Yusril Izha Mahendra, aparat kepolisian hendaknya berhati-hati menerapkan pasal 2 UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Pelanggaran terhadap pasal-pasal larangan membuat tulisan, gambar, dan coretan pada bendera negara Indonesia perlu persuasif.
“Karena masyarakat awam, bahkan pejabat negara, birokrat, dan bahkan aparat sendiri banyak yang belum paham tentang bendera negara, ukuran, bahan pembuatannya, tata cara penggunaan, dan larangan-larangannya,” kata Yusril di harian Jawa Pos (25/1).
Bendera negara Sang Saka Merah Putih itu, menurut UU, ukurannya pasti. Yakni, warna merah dan putih sama besarnya. Lebar bendera adalah 2/3 ukuran panjangnya.
“Bahannya terbuat dari kain yang tidak mudah luntur. Ukurannya untuk keperluan-keperluan tertentu juga sudah diatur oleh UU,” katanya.
Dengan demikian, lanjut eks menteri sekretaris negara ini, tidak semua warna merah putih otomatis adalah bendera negara. Kain yang berwarna merah putih, namun tidak memenuhi kriteria syarat-syarat untuk dapat disebut sebagai bendera RI, bukanlah bendera RI.
“Ambillah contoh, kaleng susu manis bekas yang bagian atasnya dicat merah dan bagian bawahnya dicat putih, kaleng merah putih itu bukanlah bendera negara RI,” katanya.
Warna merah putih seperti di kaleng susu bekas itu paling tinggi hanyalah ’’merepresentasikan’’ bendera RI, namun sama sekali bukan bendera RI.
“Semua ketentuan itu diatur dalam pasal 4 UU No 24 Tahun 2009,” kata pria kelahiran Belitung Timur ini.
Selanjutnya, pasal 24 UU No 24 Tahun 2009 itu memuat larangan, antara lain, merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud untuk ’’menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara’’.
“Mereka yang melanggar larangan ini diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah,” jelasnya.
Larangan juga dilakukan terhadap setiap orang untuk ’’mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar, atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apa pun pada bendera negara’’. Terhadap mereka yang melakukan apa yang dilarang ini diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.
“Dari rumusan delik pidana UU No 24 Tahun 2009 ini, jelas terlihat bahwa terhadap mereka yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain yang dilarang UU tersebut, haruslah ada unsur kesengajaan dan niat jahat untuk menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara.
“Jadi, mereka yang tidak sengaja dan tidak mempunyai niat untuk menodai, menghina, dan merendahkan kehormatan bendera negara tidak dapat dipidana karena perbuatannya.”
Namun, lanjut Yusril, lain halnya terhadap mereka yang mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar, atau tanda lain. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 67 huruf c undang-undang ini, unsur kesengajaan dan niat untuk menodai atau merendahkan martabat bendera negara itu tidak perlu ada.
“Jadi, siapa saja yang melakukannya, sengaja maupun tidak sengaja, ada niat untuk menodai, menghina, dan merendahkan atau tidak, perbuatan itu sudah dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama setahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.”
Ancaman pidana paling lama satu tahun terhadap pelanggaran pasal 67 huruf c di atas menunjukkan bahwa tindak pidana ini tergolong sebagai tindak pidana ringan. Karena itu, saya berpendapat penegakan hukum atas pasal ini hendaknya dilakukan oleh aparat dengan cara yang bijaksana, jangan dilaksanakan dengan tergesa-gesa.
“Mengapa saya katakan penerapan pasal 67 huruf c itu, katakanlah terhadap seseorang yang menulis huruf-huruf atau angka, harus dilakukan secara bijak?”
Sebabnya, menurut jebolan University of the Punjab ini, adalah sebagian besar warga belum mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan dapat dipidana. Ketidaktahuan itu juga ada di kalangan pejabat birokrasi pemerintah dan bahkan pada aparat penegak hukum sendiri.
“Coba saja search di internet, niscaya adanya tulisan pada bendera negara itu akan kita dapati dalam jumlah sangat banyak,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada Sabtu (21/1) polisi telah menahan Nurul Fahmi yang membawa bendera Merah Putih bertulisan Arab yang diduga kalimat tauhid dan di bawahnya ada gambar pedang bersilang dan dikibarkan di sepeda motor saat demo FPI di Mabes Polri.
Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan, Fahmi diduga melanggar pasal 66 jo pasal 24 subsider pasal 67 UU No 24 Tahun 2009.
“Pengenaan pasal 66 terhadap apa yang dilakukan Fahmi adalah sesuatu yang berlebihan,” kata Yusril.
Ia menambahkan, “Pasal 66 itu, seperti telah saya katakan di atas, dikenakan terhadap mereka yang dengan sengaja merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, dan seterusnya dengan maksud untuk menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara.”
Bagi Yusril, Fahmi sama sekali tidak melakukan ini. Fahmi hanya membawa bendera Merah Putih yang ditulisi kalimat tauhid dan digambari pedang bersilang.
“Karena itu, pasal yang tepat dikenakan untuk Fahmi adalah pasal 67 huruf c, yakni menulis huruf atau tanda lain pada bendera negara,” katanya.
Pendiri Partai Bulan Bintang ini berpendapat, polisi tampak dengan sengaja mengenakan pasal 66 yang lebih berat kepada Fahmi, padahal itu diduga tidak dia lakukan. Sementara terhadap apa yang dilakukannya, yang seharusnya dikenakan pasal 67 huruf c, justru dijadikan subsider.
“Selain membolak-balik pasal dalam kasus Fahmi, tindakan penahanan terhadap Fahmi juga dapat dianggap sebagai tindakan berlebihan,” katanya.
Sebab, lanjut Yusril, ancaman pidana dalam pasal 66 itu bukan di atas lima tahun, melainkan selama-lamanya lima tahun.
“Pada hemat saya, polisi hendaknya mendahulukan langkah persuasif kepada setiap orang yang diduga melanggar pasal 67 huruf c sebelum mengambil langkah penegakan hukum.”
Karena, jika langkah penegakan hukum atau law inforcement dilakukan terhadap Fahmi, langkah serupa harus dilakukan terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran yang sama.
“Termasuk aparat sendiri,” tegasnya.
Karena itu, saya mengimbau polisi untuk bersikap objektif dan mengambil langkah hukum yang hati-hati untuk mencegah kesan yang kian hari kian menguat bahwa polisi makin menjauh dari umat Islam dan sebaliknya makin melakukan tekanan.
“Menjauh dari Islam dan umatnya tidak akan membuat negara ini makin aman dan makin baik. Karena itu, hikmah kebijaksanaanlah yang harus dikedepankan demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa,” katanya.[]
(Jawa-Pos/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email