Oleh: Tsamara Amany
Bulan Januari lalu, saya menulis bahwa saya menyesal pernah mengagumi sosok Anies Baswedan. Alasannya, Anies sudah berubah dan mau berteman dengan kelompok-kelompok ekstrim kanan. Kini saya justru mempertanyakan alasan saya Januari lalu itu, apakah benar Anies sudah berubah? Hari ini saya memberanikan diri untuk mengatakan: Anies tidak pernah berubah.
Tahun 2014 ketika Anies memutuskan ikut konvensi calon presiden Partai Demokrat dengan menyandang gelar sebagai Rektor Universitas Paramadina, ia menganggap blusukan Jokowi adalah pencitraan. Gagal nyapres melalui Partai Demokrat, Anies bergabung dengan Jokowi sebagai Juru Bicara Tim Pemenangan. Anies pun menjadi sering ikut blusukan Jokowi yang dianggapnya pencitraan itu.
Salah satu alasan Anies mendukung Jokowi dan bukan Prabowo adalah karena menurutnya Prabowo tidak mampu menepati janji-janjinya. Misal, seperti janji Prabowo yang hendak memihak pluralisme tapi justru merangkul kelompok ekstrimis. “Tapi, dia justru mengakomodasi dan merangkul kelompok ekstremis seperti FPI,” kata Anies (kompas.com 29/06/14)
Anies beruntung Jokowi menang dan ia diangkat menjadi Menteri Pendidikan. Sayang, masa jabatannya hanya dua tahun karena Presiden Jokowi akhirnya memutuskan untuk memecatnya. Sampai saat ini, hanya Jokowi yang tahu alasan konkritnya. Namun banyak orang menilai kinerja Anies yang kurang maksimal di Kemendikbud adalah alasan utama pemecatannya.
Hanya selang dua bulan setelah pemecatannya sebagai menteri, Anies pun maju sebagai calon gubernur diusung oleh Gerindra, partai pimpinan Prabowo yang dulu ia anggap tidak mampu memenuhi janji itu, dan PKS, partai yang pendukungnya dulu tidak menyukainya karena dicap liberal.
Pada masa kampanye, Anies rajin sekali sowan ke beberapa tokoh agama. Bahkan ia sempat mendatangi Petamburan, markas FPI, yang pada tahun 2014 ia anggap sebagai kelompok ekstrimis. Di Petamburan, ia membantah berbagai isu tentang dirinya yang dicap liberal, Syiah, maupun Wahabi. Ia mengaku sebagai pemadam api Paramadina. Dan menganjurkan untuk memilih dirinya, pasangan nomor urut tiga, karena sesuai dengan shalat witir.
Sampai disini, maka dapat disimpulkan bahwa Anies memang tidak pernah berubah. Anies adalah sosok yang konsisten. Ya, Anies konsisten memperjuangkan ambisinya untuk meraih kekuasaan. Baginya, menjilat ludah sendiri bukan hal yang memalukan. Selama itu bisa membuatnya mendapatkan suara, maka teknik jilat ludah bisa dianggap efektif.
Ketika dulu saya marah-marah dalam tulisan karena Anies menganggap kampus saya sebagai api dan kontroversi, seharusnya saya tidak perlu terlalu kaget karena memang ia tidak pernah berpikir terlalu jauh mengenai setiap kata-kata dan tindakannya.
Jika Anies berpikir sedikit saja, maka seharusnya pada tahun 2014, Anies sudah mengundurkan diri sebagai rektor Universitas Paramadina, bukan sekedar cuti. Tapi tanpa rasa sensitif sedikit pun, Anies tetap menyertakan diri dalam konvensi capres Partai Demokrat dengan status rektor non aktif. Ia tak peduli bagaimana kedudukannya sebagai rektor yang terjun ke politik praktis dapat menciderai nama baik Universitas Paramadina sebagai lembaga pendidikan yang netral.
Jadi tidak perlu heran ketika di Petamburan Anies membanggakan diri sebagai pemadam api Paramadina yang kaya akan nilai-nilai Cak Nur itu. Toh sejak menjadi rektor saja, ia tak peduli dengan tindakannya yang terjun dalam politik praktis itu dapat menciderai Universitas, apalagi saat ini ketika ia sudah menjadi mantan rektor dan hanya berkata-kata untuk mendapatkan suara kelompok tersebut.
Begitu pula dengan Prabowo. Hari ini Anies bisa menjadi pemuja Prabowo. Tapi sebagaimana yang pernah ia lakukan di masa lalu, ia juga berpeluang menjadi pengejek Prabowo. Jika Anies gagal meraih kursi gubernur, mungkin ia tertarik untuk terlibat dalam kampanye Pilpres 2019. Dan jika ia memutuskan untuk mendukung Jokowi lagi, sementara Prabowo menjadi penantangnya, maka jangan heran jika statement-statement tentang Prabowo seperti tahun 2014 akan ia utarakan kembali.
Saya juga ingin mengingatkan FPI agar tidak terlalu senang jika ada calon gubernur seperti Anies main ke Petamburan. Sebab pada tahun 2014, Anies menilai kalian sebagai kelompok ekstrimis. Saat ini kedekatan Anies dengan kalian tak lebih dari strategi menarik suara. Kalau ia merasa perlu strategi lain untuk meraih suara kelompok moderat, bukan tidak mungkin pula ia kembali mengeluarkan statementnya pada tahun 2014 bahwa kalian adalah kelompok ekstrimis.
Itulah Anies Baswedan. Anies bukan orang radikal, bukan orang moderat, bukan orang nasionalis, bukan juga orang konservatif atau orang liberal. Anies adalah Anies. Seorang tokoh yang berpegangan pada ambisinya. Ia tak pernah berubah, ia hanya berpegang teguh pada ambisinya yang besar itu.
Maafkan jika saya pernah menilai Anies telah berubah ketika ia sebenarnya hanya menunjukkan warna aslinya.
(Jakarta-Asoy/Gerilya-Politik/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email