Waktu saya dulu mengajar di desa dengan jumlah guru yang jauh lebih sedikit daripada di kota, saya memulai setiap kelas dengan Al Fatihah. Saya mengajar semua mata pelajaran. Termasuk di saat guru agama berhalangan hadir. Saya pakai buku teks, saya ajari sebisa saya, sambil tanya-tanya guru lain yang ada di sekolah (paling sering ke sahabat saya, Bu Anti ).
Saya mengajarkan anak-anak yang belum fasih berwudhu untuk melakukannya bersama-sama, walaupun saya tidak ikut sholat bersama mereka.
Mungkin yang saya ajarkan tidak semuanya ternyata benar, mungkin saja salah omong tanpa saya sadari, tidak akan bisa selalu benar karena saya bukan ahlinya. Saya hanya bisa berusaha sebisa saya, menjalankan amanah yang Indonesia titipkan pada saya saat itu, yang tidak semua orang mau menjalankan. Seperti di video beberapa tahun lalu, di (https://tinyurl.com/JembatanIndonesia saat saya membahas Pak Tajuddin yang dulu belum aktif di media online), saya mengungkapkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika memerlukan jembatan, dan saya coba lakukan bagian saya. Menjadi jembatan.
Lantas apa anak-anak murid saya menjadi salah menghidupi agamanya apabila saya salah berucap? Semoga tidak, dan setidaknya saya meyakini bahwa pertumbuhan keimanan seseorang bukanlah karena pengaruh satu orang, apalagi satu orang yang bekerja dalam waktu singkat. Terlebih lagi ketika Salimah, Tala, Fahmi, dan Priena turut ada di sana bersama mereka setelah saya pulang.
Lalu kenapa saya menuliskan cerita ini?
Beberapa bulan terakhir, saya jadi lebih sering menangis.
Melihat orang-orang yang pernah saya kagumi membakar jembatan yang sudah dan sedang dibangun oleh orang-orang yang masih percaya bahwa Indonesia ada dan bisa bertahan karena keberagaman.
Merasa mencintai dengan segala daya, sebuah bangsa yang tidak akan bisa melihat saya lebih dari fisik dan iman saya yang berbeda.
Saya baru bisa menuliskan sekarang, setelah menjalani terapi gangguan mental dari tenaga profesional dan setelah ibadah pagi tadi.
Setelah sang Imam menekankan kepada para jemaat tentang betapa pentingnya hidup orang-orang muslim di negara yang saya tinggali saat ini, yang sedang dirundung kekuatiran karena kondisi politik yang bergejolak.
Dan betapa pentingnya untuk tidak jemu-jemu berbuat baik dan membawa damai sampai hidup ini mencapai garis akhir.
Adeline Magdalena
Guru Indonesia Mengajar Angkatan I
Lihat Videonya:
(Gerilya-Politik/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email