Pesan Rahbar

Home » » Prof. Sumanto Al Qurtuby: Konsep Negara Islam Itu Sekuler

Prof. Sumanto Al Qurtuby: Konsep Negara Islam Itu Sekuler

Written By Unknown on Sunday, 5 February 2017 | 20:07:00

Foto: facebook.com/Bungmanto

Dosen King Fahd University of Petroleum & Minerals Saudi, Prof. Sumanto Al Qurtuby, kembali mengeluarkan opini soal ‘negara Islam’ yang masih tergolong wacana kontroversial di Indonesia. Anggapan sejumlah tokoh, sarjana, dan kelompok Islam bahwa konsep “Negara Islam” itu yang paling “agamis”, “Islami”, “Qur’ani”, menurut Al Qurtuby, sama sekali tidak benar.

“Semua konsep sistem politik-pemerintahan atau sistem ekonomi – apapaun namanya – adalah sekuler, dalam pengertian “produk pemikiran kebudayaan manusia”,” katanya via akun facebook pribadinya hari ini (4/2)

Sebagaimana sistem politik-pemerintahan lainnya yang ada dewasa ini, konsep “negara Islam” (atau “daulah islamiyah”) adalah buah dari ijtihad, pemahaman, tafsir, dan pemikiran sekelumit umat manusia, baik para sarjana-ideolog maupun politisi-aktivis Muslim, sebagai bentuk respons atas perkembangan sosial-politik-ekonomi yang terjadi di wilayah mereka masing-masing.

“Apapun yang namanya “produk pemikiran kebudayaan manusia” itu bersifat profan-sekuler bukan sakral-relijius. Jadi jangan mau dikibulin oleh kaum propagandis ideologi itu,” tegasnya.

Sudah sering saya katakan bahwa doktrin Islam dan Al-Qur’an itu tidak membicarakan secara spesifik sebuah sistem politik-pemerintahan maupun sistem perekonomian. Tidak ada “juklak” maupun “juknis” tentang sistem ini. Islam dan Al-Qur’an hanya membicarakan tentang pentingnya pemimpin yang adil, peduli dengan masalah keumatan, berjuang untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan lain sebagainya.

“Dengan kata lain, Islam hanya mempedulikan tentang etika, norma, nilai, dan tujuan dari sebuah tatanan pemerintahan, bukan soal sistem, bentuk, tipe, atau corak tatanan pemerintahan itu,”

Di mata pria asal Jawa Tengah ini, masalah keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, perdamaian, bisa diwujudkan dalam sistem politik-pemerintahan dan sistem perekonomian apapun. Baik itu demokrasi, monarkhi, Islamisme, sosialisme, komunisme, dan lain sebagainya.

“Begitu pula sebalinya, masalah ketidakadilan, kejahatan, kemiskinan dan pemiskinan, kekerasan, kesengsaraan, juga bisa terjadi di sistem politik-pemerintahan dan sistem perekonomian apapun.”

Masalah ini tidak peduli pakai “baju” agama atau bukan, Muslim atau bukan, komunis atau bukan, kapitalis atau bukan, atesis atau bukan, atau bahkan yang bukan bukan. Itulah kenyataannya yang terjadi dalam sejarah kepolitikan umat manusia dari zaman dulu sampai sekarang.

“Kalau watak dasar para pemimpin dan elit pemerintah itu memang rakus, korup, bengis, dipakai “baju” apapun dan dengan sistem apapun dan agama apapun, tetap saja begitu,” katanya.

Al Qurtuby lalu mengajak melihat perbedaan antara Lenin, Hitler, Amangkurat I, dan Abu Bakar al-Baghdadi (komandan ISIS), Osama bin Laden, (Al-Qaidah) atau Mullah Muhammad Omar (pendiri Taliban). Karena tidak ada “juklak” dan “juknis” tentang sistem politik-pemerintahan dalam Islam dan Al-Qur’an itulah kenapa negara-negara yang mayoritas Muslim dewasa ini menggunakan sistem politik-pemerintahan yang berbeda-beda.

“Ada yang menggunakan sistem “monarkhi Islam”, “Republik Islam”, demokrasi, demokrasi semi-liberal, dan lain sebagainya.”

Bentuk sistem “monarkhi Islam” pun, kata jebolan IAIN Semarang ini bermacam-macam. Ada yang menggunakan sistem kerajaan (mamlakah), keamiran, kesultanan, atau kekhalifahan. Ada yang monarkhi absolut, ada yang monarkhi konstitusional dan lain-lain.

Negara yang menggunakan sistem monarkhi Islam ini seperti Saudi, UEA, Brunei, Qatar, Oman, Maroko, Malaysia, Bahrain, Yordania, dan Kuwait. Yang menggunakan nama Republik Islam misalnya Iran, Pakistan, Afganistan, dan Mauritania.

“Selebihnya, banyak negara-negara berbasis Muslim yang memakai sistem “Republik sekuler”. Libya dulu pakai sistem Sosialisme,” katanya.

Jadi, tegas Al Qurtuby, ide atau konsep “Negara Islam” itu adalah profan-sekuler, bukan sakral-relijius, karena konsep ini merupakan buah dari ijtihad, tafsir, pemikiran dan pemahaman manusia atas sejumlah ayat, teks, dan diskursus keislaman.

“Apapun yang lahir dari kreativitas pemikiran-kebudayaan manusia, maka itu adalah sekuler,” katanya.[]

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: