Negara-negara asing bukanlah pengamat netral. Dalam rangka mengamankan kepentingan masing-masing, mereka memainkan peran dalam peristiwa 1965.
Ketika Gerakan 30 September 1965 pecah, Uchikowati (48 tahun) duduk di sekolah menengah pertama. Ibunya anggota Gerwani, ditahan di penjara Bulu, Semarang. Sedangkan ayahnya, bupati Cilacap, dibui di penjara Mlaten, Semarang. Pada 1967, ayahnya divonis 20 tahun penjara sebagai tahanan politik dan menghuni lembaga pemasyarakat Besi dan Permisan di Nusakambangan.
“Ketika semua orang menyebut bahwa Gerwani itu jahat,” kata Uchi, “saya tak pernah melihat kejahatan itu pada ibu saya. Justru saya melihat ibu saya punya pekerjaan yang mulia. Bersama anggota Gerwani, ibu mendirikan taman kanak-kanak, rumah bersalin, dan pemberantasan buta huruf dengan sasaran petani dan kaum perempuan.”
Uchi menceritakan pengalaman pahit tersebut pada acara diskusi buku 1965 - Indonesia dan Dunia karya Baskara T. Wardaya dan Bernd Schafer, di Goethe Haus, Menteng, Jakarta Pusat, 30 September lalu. Hadir sebagai pembicara, kedua editor buku tersebut, Bonnie Triyana, Mery Kolimon, Ratna Hapsari Rudjito, dan Uchikowati. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari seminar internasional bertajuk “Indonesia and the World 1959-1969: A Critical Decade” di Goethe Haus tahun 2011.
Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya, buku ini membantu melihat konteks yang lebih luas atas apa yang terjadi di seputar tragedi 1965-1966 berikut dampaknya. Buku ini memiliki dimensi yang berbeda dari yang apa kita lihat selama ini: ketegangan antara blok Barat dan Timur, Inggris yang sibuk membentuk federasi Malaysia, Australia yang ingin mendekat kepada Barat dalam menghadapi perkembangan komunis di Asia, perpecahan antara Beijing dan Moskow, dan diam-diam hasrat untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia.
“Buku ini diharapkan bisa membantu kita melihat peristiwa 1965-1966 secara lebih jernih dan luas, baik untuk kepentingan akademik maupun advokasi,” kata Baskara.
Selain itu, dengan membaca ini, kata Mery Kolimon yang mengumpulkan cerita korban peristiwa 1965 di Nusa Tenggara Timur, kita mengerti bahwa mereka adalah korban dari sebuah skenario besar kepentingan para penguasa dunia. “Ibaratnya gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah,” ujar Mery, pendeta dan dosen Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, NTT.
Mery mengatakan ini bukan persaingan ideologi. Tapi perebutan kekuasaan ekonomi dan politik. Tulisan Bradley Simpson dalam buku ini menunjukkan bukti-bukti otentik keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris. Pembantaian terhadap orang-orang komunis dan yang dituduh komunis didukung oleh operasi-operasi rahasia Amerika dan Inggris. Kedua negara itu melihat pembasmian PKI sangat penting untuk mengembalikan Indonesia ke dalam hubungan erat dengan dunia Barat. Bagi mereka, Sukarno harus disingkirkan karena kebijakan-kebijakannya semakin pro-Tiongkok. Tulisan Jovan Cavoski menjelaskan pengaruh Tiongkok yang semakin kuat terhadap PKI dan Sukarno membuat cemas negara-negara Barat dan Uni Soviet.
“Saya sendiri memahami peristiwa 1965 sebagai teror negara terhadap rakyatnya sendiri. Dan di atas teror itu kekuasaan Orde Baru dibangun dan berkembang lebih dari 30 tahun. Teror itu menjadi trauma kolektif. Bukan hanya korban dan keluarga korban yang mengalami trauma, tetapi seluruh bangsa. Ini yang kami temukan dalam penelitian di NTT,” kata Mery.
Bonnie Triyana, sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia, menyoroti soal pemberitaan media massa luar negeri. Dalam buku ini terdapat dua tulisan mengenai hal itu: Heinz Schutte menulis tentang pers Prancis dan Richard Tanter soal pers Australia.
Selain pers di kedua negara tersebut, menurut Bonnie, justru pers Belanda yang cukup banyak memberitakan apa yang terjadi di Indonesia, khususnya mengenai pembantaian massal dan penahanan semena-mena. Salah satu koran yang getol menulis adalah De Haagsche Courant –kemudian dimerger menjadi NRC Handelsblad. Dua wartawannya, Cees van Caspel dan Henk Kolb bersama Poncke Princen, mantan tentara Belanda yang memilih menjadi warga negara Indonesia dan bergiat sebagai pejuang hak azasi manusia, datang ke Purwodadi. Mereka mendapatkan keterangan mengenai pembunuhan massal dari Romo Wignyosumarto. Berita itu menghebohkan. Pemberitaan media massa Thailand bahkan memicu demonstrasi di depan kedutaan besar Indonesia di Bangkok.
Buku ini telah mengisi kekosongan historiografi di Indonesia. “Selama ini kajian peristiwa 1965 lebih banyak mengenai apa yang terjadi pada 1 Oktober, siapa dalangnya, dan apa yang terjadi setelahnya. Belum ada pembahasan mengenai bagaimana posisi Indonesia dalam peta politik dunia dan kaitannya dalam peristiwa 1965,” kata Bonnie.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Diskusi buku "1965-Indonesia dan Dunia" di Goethe Haus, Jakarta, 30 September 2013. (Foto: Agus Kurniawan).
Ketika Gerakan 30 September 1965 pecah, Uchikowati (48 tahun) duduk di sekolah menengah pertama. Ibunya anggota Gerwani, ditahan di penjara Bulu, Semarang. Sedangkan ayahnya, bupati Cilacap, dibui di penjara Mlaten, Semarang. Pada 1967, ayahnya divonis 20 tahun penjara sebagai tahanan politik dan menghuni lembaga pemasyarakat Besi dan Permisan di Nusakambangan.
“Ketika semua orang menyebut bahwa Gerwani itu jahat,” kata Uchi, “saya tak pernah melihat kejahatan itu pada ibu saya. Justru saya melihat ibu saya punya pekerjaan yang mulia. Bersama anggota Gerwani, ibu mendirikan taman kanak-kanak, rumah bersalin, dan pemberantasan buta huruf dengan sasaran petani dan kaum perempuan.”
Uchi menceritakan pengalaman pahit tersebut pada acara diskusi buku 1965 - Indonesia dan Dunia karya Baskara T. Wardaya dan Bernd Schafer, di Goethe Haus, Menteng, Jakarta Pusat, 30 September lalu. Hadir sebagai pembicara, kedua editor buku tersebut, Bonnie Triyana, Mery Kolimon, Ratna Hapsari Rudjito, dan Uchikowati. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari seminar internasional bertajuk “Indonesia and the World 1959-1969: A Critical Decade” di Goethe Haus tahun 2011.
Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya, buku ini membantu melihat konteks yang lebih luas atas apa yang terjadi di seputar tragedi 1965-1966 berikut dampaknya. Buku ini memiliki dimensi yang berbeda dari yang apa kita lihat selama ini: ketegangan antara blok Barat dan Timur, Inggris yang sibuk membentuk federasi Malaysia, Australia yang ingin mendekat kepada Barat dalam menghadapi perkembangan komunis di Asia, perpecahan antara Beijing dan Moskow, dan diam-diam hasrat untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia.
“Buku ini diharapkan bisa membantu kita melihat peristiwa 1965-1966 secara lebih jernih dan luas, baik untuk kepentingan akademik maupun advokasi,” kata Baskara.
Selain itu, dengan membaca ini, kata Mery Kolimon yang mengumpulkan cerita korban peristiwa 1965 di Nusa Tenggara Timur, kita mengerti bahwa mereka adalah korban dari sebuah skenario besar kepentingan para penguasa dunia. “Ibaratnya gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah,” ujar Mery, pendeta dan dosen Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, NTT.
Mery mengatakan ini bukan persaingan ideologi. Tapi perebutan kekuasaan ekonomi dan politik. Tulisan Bradley Simpson dalam buku ini menunjukkan bukti-bukti otentik keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris. Pembantaian terhadap orang-orang komunis dan yang dituduh komunis didukung oleh operasi-operasi rahasia Amerika dan Inggris. Kedua negara itu melihat pembasmian PKI sangat penting untuk mengembalikan Indonesia ke dalam hubungan erat dengan dunia Barat. Bagi mereka, Sukarno harus disingkirkan karena kebijakan-kebijakannya semakin pro-Tiongkok. Tulisan Jovan Cavoski menjelaskan pengaruh Tiongkok yang semakin kuat terhadap PKI dan Sukarno membuat cemas negara-negara Barat dan Uni Soviet.
“Saya sendiri memahami peristiwa 1965 sebagai teror negara terhadap rakyatnya sendiri. Dan di atas teror itu kekuasaan Orde Baru dibangun dan berkembang lebih dari 30 tahun. Teror itu menjadi trauma kolektif. Bukan hanya korban dan keluarga korban yang mengalami trauma, tetapi seluruh bangsa. Ini yang kami temukan dalam penelitian di NTT,” kata Mery.
Bonnie Triyana, sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia, menyoroti soal pemberitaan media massa luar negeri. Dalam buku ini terdapat dua tulisan mengenai hal itu: Heinz Schutte menulis tentang pers Prancis dan Richard Tanter soal pers Australia.
Selain pers di kedua negara tersebut, menurut Bonnie, justru pers Belanda yang cukup banyak memberitakan apa yang terjadi di Indonesia, khususnya mengenai pembantaian massal dan penahanan semena-mena. Salah satu koran yang getol menulis adalah De Haagsche Courant –kemudian dimerger menjadi NRC Handelsblad. Dua wartawannya, Cees van Caspel dan Henk Kolb bersama Poncke Princen, mantan tentara Belanda yang memilih menjadi warga negara Indonesia dan bergiat sebagai pejuang hak azasi manusia, datang ke Purwodadi. Mereka mendapatkan keterangan mengenai pembunuhan massal dari Romo Wignyosumarto. Berita itu menghebohkan. Pemberitaan media massa Thailand bahkan memicu demonstrasi di depan kedutaan besar Indonesia di Bangkok.
Buku ini telah mengisi kekosongan historiografi di Indonesia. “Selama ini kajian peristiwa 1965 lebih banyak mengenai apa yang terjadi pada 1 Oktober, siapa dalangnya, dan apa yang terjadi setelahnya. Belum ada pembahasan mengenai bagaimana posisi Indonesia dalam peta politik dunia dan kaitannya dalam peristiwa 1965,” kata Bonnie.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email