Menurut Eks Ketua Umum Muhammadiya Prof. Syafi’i Ma’arif, selama kesenjangan sosial belum dijembatani dengan baik, maka sila kelima Pancasila akan dianggap menggantung di awang-awang.
“Disebut dalam perkataan, dinilai, diberi apresiasi tinggi, tapi tanpa diimplementasi akan sia-sia,” kata Prof. Syafi’i di Seminar Nasioal Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) DIY, di Yogyakarta, seperti dilansir suaramuhammadiyah.id Sabtu (18/2).
Pada dasarnya, lanjut pria yang akrab disapa Buya Syafi’i ini, tujuan kemerdekaan adalah untuk mengimplementasikan sila kelima Pancasila, yaitu ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Jika sila kelima Pancasila diabaikan, maka sama saja dengan pengabaian cita-cita kemerdekaan.
Kesenjangan yang ada juga menjadi penyebab kasus intoleransi.Pada konteks ini, agama hanyalah sebagai penyulut saja dari persoalan kesenjangan.
“Jadi buang-buang waktu saja kalau kesenjangan itu dibiarkan berlarut-larut dan itu akan mengganggu kebhinnekaan kita,” ujar Buya.
Cendekiawan Muslim ini pun menyinggung daerah dimana ia berdomisili saat ini, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Bagi Buya, Yogyakarta hendaknya tidak hanya istimewa dari segi pemerintahannya, namun juga istimewa dalam bidang lainnya, terutama kerukunan umat beragama dan keadilan social-ekonomi.
Buya Syafi’i menggarisbawahi beberapa hal yang harus menjadi perhatian semua pihak di Yogyakarta. Terutama terkait dengan urusan pemenuhan keadilan. “Jadi istimewa itu juga menjadi pelopor untuk mendekatkan jarak antara yang punya dan yang tidak,” katanya.
Pemenuhan keadilan dianggap Buya Syafii sangat penting dalam mewujudkan keamanan dan menopang kebhinekaan. “Sehingga Jogja ini tidak hanya istimewa dari segi UU, tetapi juga istimewa dari sisi toleransi, keadilan juga istimewa,” tutur Buya Syafi’i.
Keistimewaan harus disubstansikan dalam semua bidang kehidupan warga Yogyakarta. “Harus diingat juga bahwasannya, keistimewaan itu jangan hanya menjadi simbolik. Tapi harus istimewa dalam semua lini semestinya,” kata Buya.
“Pada waktu UU Keistimewaan Yogyakarta, saya begitu mendukung pada waktu itu,” katanya. “Saya punya alasan yang kokoh. Bukan karena keistimewaan itu sesuatu yang unik. Sebab tanpa Yogyakarta, belum tentu kita bisa merasakan kemerdekaan hari ini. Itu peran HB IX begitu besar. Sangat penting sekali. Waktu ibu kota Indonesia pindah kesini, HB IX menyerahkan harta keraton untuk Indonesia,” ungkapnya.
Dengan mendukung UU Keistimewaan Yogyakarta tidak berarti Buya tidak pro demokrasi. Tetapi justru, Keistimewaan Yogyakarta hendaknya dimanfaatkan untuk mempercepat menghilangkan kesenjangan. “Sekarang ada dana keistimewaan. Sebab tingkat kesenjangan dan kemiskinan di Jogja ini masih cukup tinggi sekali,” kata Buya.
(Suara-Muhammadiyah/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email