Pasca Peristiwa 1965 banyak perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Mulai dari dibotaki sampai dicari logo Palu Arit di sekitar kemaluannya.
Zaenab tak pernah tahu Lubang Buaya, Gerwani, Dewan Revolusi, apalagi situasi politik tahun 1965 di negeri ini. Tapi, gadis yang waktu itu berusia 12 tahun, harus mengalami nasib pahit karena istilah-istilah tersebut.
Tak lama setelah pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat di Jakarta, Zainab kehilangan orangtuanya, seorang anggota Lekra, dibawa paksa oleh tentara. Kehidupan gadis asal sebuah desa di Pekalongan, Jawa Tengah itu, pun memasuki masa kelam yang tak terperi.
Hal itu berawal ketika dia dibawa paksa ke kantor militer terdekat. Dia mengalami pelecehan, mulai dari ditelanjangi hingga diperkosa oleh prajurit-prajurit di kantor militer setempat. Bahkan, dia pernah diperkosa ramai-ramai oleh tentara itu. “Anak anggota Lekra yang berusia 12 tahun itu dipaksa tak senonoh sampai kurang lebih tiga bulan,” ujar Bedjo Untung, Ketua YPKP 65, membeberkan temuan terbaru tentang kekerasan massal terhadap perempuan pasca Peristiwa 1965.
Tema kekerasan seksual terhadap perempuan pasca Peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu menjadi bahasan diskusi sesi kedua acara “Jalan Berkeadilan bagi Penyintas” di Komnas Perempuan, Jakarta, Sabtu (18/3). Acara yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan, YLBHI, dan IPT 65 itu juga menampilkan telewicara dengan Ann Pullman, peneliti Queensland University yang mendalami bentuk kejahatan massal berbasis gender pasca Peristiwa 1965, khususnya kejahatan terhadap perempuan.
Ann mengatakan, “dari awal jelas, ada statement kekerasan perempuan dalam 1965. (Maka) Setelah 1 Oktober, ada banyak kekerasan pada perempuan." Kejahatan terhadap perempuan itu berbagai bentuk, mulai kekerasan verbal ringan, perkosaan, penyiksaan, hingga perbudakan seksual.
Ann mewawancarai sekitar 150 perempuan eks tapol (tahanan politik) dan sekitar 30 bekas istri tapol. Di tempat-tempat yang ditelitinya, antara lain Jakarta, Surakarta, dan Yogyakarta, dia mendapatkan bahwa bentuk kejahatan terhadap perempuan banyak yang unik, tak ada di tempat lain. Kejahatan fisik dengan kadar lebih rendah, misalnya, berupa penggundulan kepala para perempuan tapol atau istri tapol.
“Penghinaan yang terjadi (itu) agar perempuan itu malu dan ternoda,” kata Ann. Pada masa itu, pandangan miring masyarakat kepada perempuan berambut pendek, apalagi botak, masih kuat.
Di lain tempat, perempuan-perempuan tapol atau istri tapol bahkan harus menjatuhkan harga diri guna menyambung nyawa dengan berlaku laiknya hewan sesuai yang diperintahkan interogator. Perempuan-perempuan itu telah ditelanjangi terlebih dulu. “Itu hiburan untuk interogator,” kata Ann.
Menurut Ann, bentuk kejahatan lain yang tak kalah bejatnya, yaitu mencari logo Palu Arit di sekitar kemaluan perempuan. Pelecehan itu terjadi di tempat-tempat interogasi. Sambil menginterogasi, para interogator memerintahkan para perempuan untuk menanggalkan pakaian. Mereka berdalih untuk mencari logo Palu Arit yang disembunyikan.
“Tentu saja militer itu bisa melihat bagian dalam tubuh perempuan,” kata Ann. Setelah tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh mereka, interogator lalu menggerayangi dan memperkosa mereka.
Bentuk kejahatan lain, lanjut Ann, ada interogator yang melakukan kekerasan fisik berupa penyiksaan bahkan mutilasi. Banyak pula interogator yang meminta paksa aborsi kepada perempuan istri tapol yang ditidurinya dan kemudian hamil.
Di Manado, Sulawesi Utara, kata seorang bapak anggota YPKP 65, telah menjadi fenomena umum menjadikan istri-istri tapol sebagai “suguhan” untuk pejabat-pejabat pusat yang melakukan kunjungan ke sana.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Salah satu penyintas yang hadir dalam acara "Jalan Berkeadilan bagi Penyintas" yang berlangsung 17-19 Maret 2017 di Komnas Perempuan, Jakarta. (Foto: Nugroho Sejati)
Zaenab tak pernah tahu Lubang Buaya, Gerwani, Dewan Revolusi, apalagi situasi politik tahun 1965 di negeri ini. Tapi, gadis yang waktu itu berusia 12 tahun, harus mengalami nasib pahit karena istilah-istilah tersebut.
Tak lama setelah pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat di Jakarta, Zainab kehilangan orangtuanya, seorang anggota Lekra, dibawa paksa oleh tentara. Kehidupan gadis asal sebuah desa di Pekalongan, Jawa Tengah itu, pun memasuki masa kelam yang tak terperi.
Hal itu berawal ketika dia dibawa paksa ke kantor militer terdekat. Dia mengalami pelecehan, mulai dari ditelanjangi hingga diperkosa oleh prajurit-prajurit di kantor militer setempat. Bahkan, dia pernah diperkosa ramai-ramai oleh tentara itu. “Anak anggota Lekra yang berusia 12 tahun itu dipaksa tak senonoh sampai kurang lebih tiga bulan,” ujar Bedjo Untung, Ketua YPKP 65, membeberkan temuan terbaru tentang kekerasan massal terhadap perempuan pasca Peristiwa 1965.
Tema kekerasan seksual terhadap perempuan pasca Peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu menjadi bahasan diskusi sesi kedua acara “Jalan Berkeadilan bagi Penyintas” di Komnas Perempuan, Jakarta, Sabtu (18/3). Acara yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan, YLBHI, dan IPT 65 itu juga menampilkan telewicara dengan Ann Pullman, peneliti Queensland University yang mendalami bentuk kejahatan massal berbasis gender pasca Peristiwa 1965, khususnya kejahatan terhadap perempuan.
Ann mengatakan, “dari awal jelas, ada statement kekerasan perempuan dalam 1965. (Maka) Setelah 1 Oktober, ada banyak kekerasan pada perempuan." Kejahatan terhadap perempuan itu berbagai bentuk, mulai kekerasan verbal ringan, perkosaan, penyiksaan, hingga perbudakan seksual.
Ann mewawancarai sekitar 150 perempuan eks tapol (tahanan politik) dan sekitar 30 bekas istri tapol. Di tempat-tempat yang ditelitinya, antara lain Jakarta, Surakarta, dan Yogyakarta, dia mendapatkan bahwa bentuk kejahatan terhadap perempuan banyak yang unik, tak ada di tempat lain. Kejahatan fisik dengan kadar lebih rendah, misalnya, berupa penggundulan kepala para perempuan tapol atau istri tapol.
“Penghinaan yang terjadi (itu) agar perempuan itu malu dan ternoda,” kata Ann. Pada masa itu, pandangan miring masyarakat kepada perempuan berambut pendek, apalagi botak, masih kuat.
Di lain tempat, perempuan-perempuan tapol atau istri tapol bahkan harus menjatuhkan harga diri guna menyambung nyawa dengan berlaku laiknya hewan sesuai yang diperintahkan interogator. Perempuan-perempuan itu telah ditelanjangi terlebih dulu. “Itu hiburan untuk interogator,” kata Ann.
Menurut Ann, bentuk kejahatan lain yang tak kalah bejatnya, yaitu mencari logo Palu Arit di sekitar kemaluan perempuan. Pelecehan itu terjadi di tempat-tempat interogasi. Sambil menginterogasi, para interogator memerintahkan para perempuan untuk menanggalkan pakaian. Mereka berdalih untuk mencari logo Palu Arit yang disembunyikan.
“Tentu saja militer itu bisa melihat bagian dalam tubuh perempuan,” kata Ann. Setelah tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh mereka, interogator lalu menggerayangi dan memperkosa mereka.
Bentuk kejahatan lain, lanjut Ann, ada interogator yang melakukan kekerasan fisik berupa penyiksaan bahkan mutilasi. Banyak pula interogator yang meminta paksa aborsi kepada perempuan istri tapol yang ditidurinya dan kemudian hamil.
Di Manado, Sulawesi Utara, kata seorang bapak anggota YPKP 65, telah menjadi fenomena umum menjadikan istri-istri tapol sebagai “suguhan” untuk pejabat-pejabat pusat yang melakukan kunjungan ke sana.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email