Tentara menangkap orang-orang yang terkait dengan PKI atau pun tidak.
Kedua bahu hakim Zac Yacoob tampak bergerak seirama dengan kalimat yang meluncur dari mulutnya. Dua tangannya, yang terletak di bawah meja, seperti meraba sesuatu, memandunya untuk menyampaikan putusan sidang yang telah dipimpinnya selama empat hari berturut-turut.
Lahir di Durban, Afrika Selatan, 3 Maret 1948, Zac terserang meningitis sejak usia 16 bulan, sehingga menyebabkan kebutaan pada kedua matanya. Untuk membaca, dia menggunakan braile dan seorang asisten selalu siap sedia mendampinginya. Sore itu, Jum’at 14 November 2015, pukul 16:00 waktu Den Haag, lelaki yang telah malang melintang sebagai pembela hak-hak azasi manusia di negerinya itu memutus Negara Indonesia sebagai “terdakwa” yang harus menanggung kesalahan masa lalunya.
“Negara Indonesia dan negara lainnya yang mengetahui kejahatan kemanusiaan serius pada 1965-1966 harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi di Indonesia,” demikian kata Zac yang didapuk jadi ketua majelis hakim Pengadilan Rakyat Internasional kasus 1965.
Dalam putusannya, Zac juga “mendakwa” Negara Indonesia bertanggungjawab atas sembilan kejahatan serius terhadap kemanusiaan yang terjadi sepanjang 1965-1966. Mulai dari pembunuhan massal, pemenjaraan di luar hukum, penghilangan paksa sampai dengan kekerasan seksual yang terjadi secara sistematis dan rutin.
Keputusan hakim itu berdasarkan kesaksian yang diberikan baik oleh para saksi korban maupun saksi ahli selama empat hari masa persidangan. Semua saksi korban menyatakan secara meyakinkan adanya keterlibatan aparatur negara dan milisi sipil di dalam setiap kegiatan penangkapan, penahanan, pemeriksaan bahkan penyiksaan di luar hukum.
Kekerasan Seksual dan Keterlibatan Akademisi
Kingkin Rahayu, salah seorang saksi yang menyampaikan keterangannya kepada majelis hakim mengalami penyiksaan atas tuduhan yang tak pernah dilakukannya. Dia dipaksa pemeriksa untuk mengakui terlibat peristiwa pembunuhan jenderal di Lubang Buaya.
“Mereka mulai tanyai, di antaranya apakah kamu pernah pergi ke Lubang Buaya. Ya saya tanya Lubang Buaya itu apa, di mana? Ini saya orang Yogyakarta,” kata Kingkin dari balik tirai hitam dalam persidangan.
Ketika ditangkap di Yogyakarta akhir 1965, Kingkin berstatus mahasiswi dan aktivis Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Kekerasan yang dialami Kingkin selama dalam pemeriksaan dan penahanan masih membekas hingga kini, terlebih akibat pelecehan seksual yang dilakukan salah seorang pemeriksa.
“Suatu saat saya dipanggil periksa lagi... Tanpa dinyana saya ditendang kepala saya. Ditelanjangi lagi. Dalam keadaan telanjang dipegangi dua orang mengarah kepada pemeriksa…,” ujarnya lirih.
Dia kemudian menuturkan pernah dipaksa menciumi kemaluan pemeriksanya. Tak berhenti di situ, siksaan dilanjutkan pemeriksa dengan mencaci maki serta menginjak-injaknya sampai Kingkin tak sadarkan diri. Sampai sekarang kejadian itu masih melekat dalam benaknya, bahkan dia masih ingat nama pemeriksa yang paling kejam dan melecehkannya.
“Lukman Soetrisno,” kata Kingkin menjawab pertanyaan jaksa. Lukman nama besar di kalangan akademisi. Dia guru besar sosiologi terkemuka dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kemunculan namanya di dalam persidangan itu sempat meramaikan perbincangan di kalangan pengguna media sosial di Indonesia.
Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi melalui akun twitternya mengatakan sudah lama mendengar isu ihwal keterlibatan Lukman di dalam peristiwa kekerasan 1965. “Sudah lama mendengar ini. Akhirnya terbongkar juga,” kata kandidat doktor ilmu politik Australian National University itu.
Menanggapi kabar itu, sejarawan UGM Abdul Wahid mengatakan tak mengetahui kenapa guru besar yang selama hidupnya dikenal sebagai akademisi pembela petani kecil dan kerap menyuarakan hak asasi manusia itu bisa terlibat di dalam peristiwa kekerasan 1965. Sejarawan yang sedang meneliti keterlibatan kaum akademisi di dalam peristiwa kejahatan kemanusiaan 1965-1965 itu mengatakan memang ada perintah dari pemerintah pusat kepada kampus untuk membersihkan dirinya dari orang-orang PKI.
“Pada 10 Oktober 1965 ada surat perintah dari KOTI (Komando Operasi Tertinggi) kepada seluruh rektor universitas untuk melakukan pembersihan,” kata Wahid.
Menurut Wahid, Lukman pada saat terlibat di dalam peristiwa itu belum resmi diangkat menjadi dosen UGM. Statusnya masih dosen muda yang sedang mengikuti program pembibitan dosen. Namun pada saat yang bersamaan, Lukman juga mendaftarkan diri sebagai anggota Corps Polisi Militer (CPM) di Yogyakarta.
“Kemungkinan pemeriksaan yang dilakukannya itu dalam posisinya sebagai CPM dan pemeriksaan itu dilakukan di luar kampus,” ujarnya.
Lukman meraih gelar doktornya dari Cornel University, Amerika Serikat. Selama berkarier sebagai dosen di UGM dia banyak melakukan penelitian tentang masyarakat pedesaan dan perburuhan serta menyuarakan keadilan bagi kaum marjinal. Menurut Wahid, sebagaimana dikutip dari beberapa sumbernya, “katanya hal itu dilakukan Lukman untuk menebus kesalahan yang pernah dilakukannya pada peristiwa 1965.”
Keterangan saksi ahli Saskia Eleonora Wieringa memperkuat kesaksian Kingkin tentang adanya kekerasan seksual yang dilakukan oleh para interogator. Saskia yang menulis disertasi tentang penghancuran Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) itu banyak mendapatkan cerita seputar penyiksaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan.
“Ada pasangan baru menikah, dipaksa melakukan hubungan seks di depan interogator. Kemaluan mereka disetrum. Kemudian para interogator memperkosa perempuan itu di depan suaminya sendiri dan mengatakan lihatlah kami lelaki bisa melakukannya lebih baik,” kata Saskia menuturkan.
Dalam Pengadilan Rakyat Internasional kasus 1965 juga terungkap peran kaum akademisi lainnya di dalam menyusun penggolongan tahanan politik. Dalam penahanan anggota dan simpatisan PKI, Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) memberlakukan tiga kategori tahanan politik: golongan A bagi mereka yang terlibat langsung peristiwa G30S, B untuk mereka yang mendukung peristiwa G30S, dan label C diberikan kepada mereka yang dianggap sebagai simpatisan PKI.
Penggolongan tersebut merupakan hasil kerjasama riset Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dengan Fakultas Psikologi Universitas Nijmegen, Belanda. Hasil riset itu digunakan oleh Kopkamtib untuk menggolongkan tahanan politik sekaligus memilah siapa saja yang masih dianggap “die hard” pada ajaran komunisme.
Menanti Keseriusan Pemerintah
Penyelenggaraan Pengadilan Rakyat Internasional kasus 1965 mengundang reaksi yang beragam dari pejabat pemerintahan. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan penyelenggaraan pengadilan tersebut tidak murni karena diselenggarakan di Belanda, negara bekas penjajah Indonesia.
“Kalau mau begitu kita adili Belanda juga. Berapa yang dibunuh Belanda di sini? Lebih banyak lagi,” kata Jusuf Kalla.
Sementara itu Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan melontarkan komentar yang senada dengan Jusuf Kala dengan mengatakan korban pembunuhan Westerling juga harus dibuka. “Westerling kalau mau dibuka, buka-bukaan dong, berapa banyak orang Indonesia dibunuh?” kata Luhut seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Komentar dua petinggi pemerintahan itu agak berbeda dari pernyataan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang menilai penyelenggaraan Pengadilan Rakyat Internasional sebagai bagian dari demokrasi. “Ini adalah wujud dari freedom of expression dari sekelompok orang,” kata Retno.
Dalam keterangan pers yang disampaikan usai rangkaian persidangan selesai, advokat senior yang bertugas menjadi jaksa di dalam Pengadilan Rakyat Internasional Todung Mulya Lubis mengapresiasi pernyataan Retno. Menurut Todung, pengadilan tersebut mengangkat isu kemanusiaan. “Apabila yang dibicarakan soal kemanusiaan, maka itu menjadi urusan semua orang yang ada dunia ini, tidak lagi dibatasi oleh negara. Saya menghargai pernyataan menteri Retno, dia berkomentar baik,” ujar Todung.
Sejak kejatuhan Soeharto, belum terlihat adanya keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan perkara pembunuhan massal 1965-1966. Upaya rekonsiliasi pernah digagas melalui RUU 27/2004 namun 21 nama calon komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berhenti di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Upaya lain pernah dilakukan oleh Komnas HAM yang melakukan penyelidikan pro justisia dalam peristiwa 1965-1966. Namun laporan resmi yang telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung itu tak jelas nasibnya hingga kini.
Menurut Saskia Wieringa, dunia harus tahu apa yang terjadi di Indonesia pada 1965-1966. Karena menurutnya selama ini banyak negeri yang menutup mata dan telinganya atas apa yang terjadi pada anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Penyelenggaraan pengadilan rakyat di Den Haag ini merupakan itikad dari masyarakat, tak hanya dari Indonesia tapi juga dari berbagai negeri, yang ingin agar kemanusiaan dan keadilan ditegakkan di Indonesia.
“Selama tidak pernah diungkap, maka kekerasan dan kejahatan kemanusiaan akan tetap berlangsung karena dari peristiwa 1965 kita ketahui pola-polanya sama,” ujar sejarawan yang juga menjadi ketua Yayasan IPT 1965 itu.
Usai pengadilan, media nasional dan internasional menyiarkan fakta-fakta yang disampaikan para saksi di dalam persidangan. Kejahatan kemanusiaan serius yang pernah terjadi pada 1965-1966 kini telah tersebar luas ke seantero dunia. Hal terakhir yang masih dinanti oleh para korban dan penyintas peristiwa tersebut adalah itikad baik dari pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan dengan cara yang beradab.
“Saya sudah tua, tak menginginkan apa-apa, saya hanya ingin keadilan ditegakkan,” kata Martin Aleida, sastrawan-cum-wartawan penyintas peristiwa 1965.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email