Meski telah lama diwacanakan, sertifikasi khatib Jumat kembali menjadi sorotan. Pasalnya, Kementerian Agama tengah menampung aspirasi sebagian umat Islam berupa keresahan terkait materi khotbah Jumat yang telah dinilai telah bergeser dari esensinya.
Laporan masyarakat yang didapat Kemenag, kata Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, terkait isi khotbah yang justru berisi cacian, celaan dan kedengkian, yang berpotensi meresahkan umat. Atas wacana yang mengemuka ini, sertifikasi ini pun menuai kontroversi di tengah masyarakat.
Lukman menegaskan, sejauh ini, tidak ada sertifikasi ulama maupun khatib Jumat dari pemerintah. “Saya sampaikan, yang kita perlukan adalah apa yang boleh dan apa yang tidak boleh terkait dengan khotbah Jumat,” ujar Menag Lukman usai membuka acara Rakernas Kemenag 2017 di Hotel Mercure Jakarta, seperti dilansir liputan6.com Ahad (26/2).
Batasan-batasan itu, kata Lukman, nantinya diharapkan tidak hanya diketahui oleh khatib atau orang yang berkhutbah, tapi juga takmir atau pengurus masjid.
“Sehingga masyarakat kita semua memiliki pemahaman yang sama, bagaimana materi khotbah Jumat itu sebaiknya disampaikan apa saja yang dibolehkan dan yang dianjurkan dan apa saja yang seharusnya dihindari,” katanya.
Dengan adanya batasan-batasan itu, maka diharapkan semua masyarakat dapat menjaga kesucian khotbah Jumat. Politisi PPP ini tak ingin khotbah Jumat justru berisi provokasi yang justru dapat memecah belah ukhuwah Islamiyah.
“Karena masjid harus bisa memberikan jaminan keselamatan kepada seluruh umat, tidak bisa sebaliknya,” ucap Lukman.
Sementara itu, Cendekiawan Muslim Prof. Komaruddin Hidayat mengatakan sertifikasi itu tidak diperlukan, karena para khatib berasal dari seleksi alam.
“Hendaknya pemerintah memfasilitasi masjid melakukan penataan, buat angket survei kepada jemaah, apa yang disenangi dari kurikulum itu,” katanya usai menghadiri kegiatan Festival Madania, di Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu, 4/2 seperti dilansir tempo.co.
Komaruddin melanjutkan, “Memberikan khutbah di masjid ada rambu-rambunya, konten dan budaya masjid harus dijaga, jangan dilepas begitu aja. Karena memang ada beberapa masjid yang bahasanya keras.”
Setiap masjid, bagi eks rektor UIN Jakarta ini, seharusnya menata diri termasuk penceramahnya agar pesan dakwah yang disampaikan kepada masyarakat untuk meningkatkan ilmu dan ketakwaan tersampaikan.
“Jadi bukan sertifikat yang dibutuhkan, tapi konten dan budaya masjid itu yang harus ditata. Masjid yang menjaga kedamaian, meningkatkan keilmuan, ketakwaan, jangan jadi mimbar politik,” katanya.[]
(Liputan-6/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email