Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin orang-orang yang arif dan berwawasan luas memang cenderung tidak mudah kagetan dalam menghadapi perbedaan, bahkan se-ekstrim apapun. Mereka umumnya memiliki kemampuan untuk memahami dan memaklumi perbedaan yang ada, meski sikap itupun bukan berarti menerimanya.
Kemampuan memahami itu tidak jarang menjadikan mereka untuk cenderung diam. Dan disikap diam ini lah yang disayangkan oleh Menteri Lukman, apalagi suara kaum Moderat sangat diperlukan saat ini.
“Sekarang menurut saya tidak bisa lagi seperti itu. Kaum moderat di Republik ini harus speak up dan speak out, lebih banyak bersuara,” kata Lukman dalam sambutannya di Wisuda Sarjana dan Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, seperti dilansir portal resmi Kementrian Agama, 18/03.
Karena itu, kepada para sarjana yang hadir, jebolan Ponpes Modern Gontor ini mengajak untuk lebih lantang menyuarakan moderasi Islam. Menurutnya, moderasi menjadi kunci yang paling relevan dengan konteks keindonesiaan yang majemuk.
“Untuk bisa menjadi moderat, kita harus lebih banyak menyuarakan suara moderasi,” tegasnya.
Kalau saat ini tidak mulai lantang menyuarakan moderasi Islam, kata Menag, tidak ada yang bisa menjamin 5, 10, atau 100 tahun yang akan datang, bagaimana warna keberagamaan dan keberislaman di Indonesia.
“Kita sudah punya contoh di beberapa negara lain, bagaimana sesama umat Islam dan sama-sama meneriakkan takbir, tapi juga saling menumpahkan darah. Sesuatu yang tentu tidak diajarkan dalam Islam,” tuturnya.
Seperti diberitakan islamindonesia.id sebelumnya, Kapolri Tito Karnavian mengakui peran ulama moderat sangat diperlukan untuk membantu pemerintah menanggulangi ekstrimisme. Pasalnya, penyebaran paham ekstrimis kerap dilakukan melalui narasi ideologi dengan mengutip ayat-ayat kitab suci yang multitafsir.
Dia mencontohkan konsep Islam Nusantara di kalangan Nahdlatul Ulama merupakan salah satu contoh ideologi tandingan. Jika dilakukan secara intensif, kata Tito, maka konsep Islam Nusantara mencegah upaya ekstrimisme dan terorisme.
Namun, Tito menyayangkan penyebaran ideologi tandingan tersebut terkendala dengan adanya fenomena silent majority. Meski kelompok moderat jumlahnya banyak, tetapi mereka cenderung diam ketika menemukan paham radikalisme menyebar di masyarakat.[]
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email