Pengaruh pematung India dalam Patung Pancoran.
Media sosial kembali hangat dengan ramainya perbincangan mengenai wajah Patung Dirgantara atau Patung Pancoran karya Edhi Sunarso. Fotografer Rudy Sunandar memotretnya menggunakan drone lalu mengunggahnya di instagram pada 8 April 2017. Foto itu memperlihatkan Patung Pancoran yang berotot, dengan mimik keras, dan sorot mata yang tajam memandang ke angkasa.
Edhi Sunarso (1932-2016) dikenal lewat karyanya berupa patung-patung besar di Jakarta, seperti Patung Pancoran di Jakarta Selatan; Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat; dan Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.
Mengapa ketiga patung tersebut bertekstur kasar?
Kepada pengajar Institut Seni Indonesia Yogyakarta Mikke Susanto, Edhi Sunarso mengungkapkan alasannya bahwa “tekstur adalah sarana mendekatkan tujuan untuk membentuk maskulinitas, gerak dan berkarakter keras pada patung.”
Pada 1965, Sukarno meminta Edhi untuk membuat patung untuk mengenang jasa para penerbang Indonesia. Patung tersebut akan diletakkan di dekat markas besar AURI kala itu (sekarang Wisma Aldiron). Edhi merealisasikan pesanan Bung Besar dengan membuat patung berbahan perunggu setinggi 11 meter dan seberat 11 ton yang ditempatkan pada dudukan berbentuk angka tujuh setinggi 27 meter. Sayangnya, Sukarno tak sempat meresmikannya karena dijatuhkan dari kekuasaannya.
“Selain harus menggetarkan dan mencatat dinamika gerak, patung itu dibuat dengan mempertimbangkan selera Bung Karno. Sedangkan patung-patung pribadi Edhi sendiri justru dibentuknya dengan pola tekstur yang halus,” ujar Mikke,
Mikke mengungkapkan bahwa pola tekstur kasar karya Edhi dipengaruhi oleh dosennya di India, Ramkinkar Baij (1906-1980). Banyak patung bikinan Baij yang bertekstur kasar seperti patung penyair Rabindranath Tagore di danau Balaton, Hongaria. Baij sendiri salah satu perintis perkembangan seni patung modern India. Dia adalah figur kunci aliran Contextual Modernism India dan pengajar penting di Santiniketan University. Pada 1957, Edhi menerima medali emas untuk The Best Exhibit dalam All India Fine Art & Craft Exhibition yang digelar di Santiniketan.
Saat ini, Victoria Memorial Hall India menggelar eksebisi senirupa bertajuk “Art Movement in Bengal in the Early 20th Century An Intra-Asian Artistic Discourse” yang diselenggarakan pada 10-30 April 2017. Pameran yang dikuratori Amitava Bhattacharya ini akan menampilkan pula karya beberapa maestro Indonesia seperti Sutan Harahap, Rusli, Affandi, Kartika, dan Edhi Sunarso.
“Bahkan dalam pameran ini akan diterbitkan sebuah buku berjudul Art Movement in Bengal in the Early 20th Century An Intra-Asian Artistic Discourse yang di dalamnya membahas peran dan eksistensi Edhi Sunarso secara khusus,” pungkas Mikke.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Edhi Sunarso (dekat anak kecil) dan gurunya, Ramkinkar Baij, di kampus Santiniketan, 1956. (Foto: koleksi Mikke Susanto).
Media sosial kembali hangat dengan ramainya perbincangan mengenai wajah Patung Dirgantara atau Patung Pancoran karya Edhi Sunarso. Fotografer Rudy Sunandar memotretnya menggunakan drone lalu mengunggahnya di instagram pada 8 April 2017. Foto itu memperlihatkan Patung Pancoran yang berotot, dengan mimik keras, dan sorot mata yang tajam memandang ke angkasa.
Edhi Sunarso (1932-2016) dikenal lewat karyanya berupa patung-patung besar di Jakarta, seperti Patung Pancoran di Jakarta Selatan; Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat; dan Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.
Mengapa ketiga patung tersebut bertekstur kasar?
Kepada pengajar Institut Seni Indonesia Yogyakarta Mikke Susanto, Edhi Sunarso mengungkapkan alasannya bahwa “tekstur adalah sarana mendekatkan tujuan untuk membentuk maskulinitas, gerak dan berkarakter keras pada patung.”
Pada 1965, Sukarno meminta Edhi untuk membuat patung untuk mengenang jasa para penerbang Indonesia. Patung tersebut akan diletakkan di dekat markas besar AURI kala itu (sekarang Wisma Aldiron). Edhi merealisasikan pesanan Bung Besar dengan membuat patung berbahan perunggu setinggi 11 meter dan seberat 11 ton yang ditempatkan pada dudukan berbentuk angka tujuh setinggi 27 meter. Sayangnya, Sukarno tak sempat meresmikannya karena dijatuhkan dari kekuasaannya.
“Selain harus menggetarkan dan mencatat dinamika gerak, patung itu dibuat dengan mempertimbangkan selera Bung Karno. Sedangkan patung-patung pribadi Edhi sendiri justru dibentuknya dengan pola tekstur yang halus,” ujar Mikke,
Mikke mengungkapkan bahwa pola tekstur kasar karya Edhi dipengaruhi oleh dosennya di India, Ramkinkar Baij (1906-1980). Banyak patung bikinan Baij yang bertekstur kasar seperti patung penyair Rabindranath Tagore di danau Balaton, Hongaria. Baij sendiri salah satu perintis perkembangan seni patung modern India. Dia adalah figur kunci aliran Contextual Modernism India dan pengajar penting di Santiniketan University. Pada 1957, Edhi menerima medali emas untuk The Best Exhibit dalam All India Fine Art & Craft Exhibition yang digelar di Santiniketan.
Saat ini, Victoria Memorial Hall India menggelar eksebisi senirupa bertajuk “Art Movement in Bengal in the Early 20th Century An Intra-Asian Artistic Discourse” yang diselenggarakan pada 10-30 April 2017. Pameran yang dikuratori Amitava Bhattacharya ini akan menampilkan pula karya beberapa maestro Indonesia seperti Sutan Harahap, Rusli, Affandi, Kartika, dan Edhi Sunarso.
“Bahkan dalam pameran ini akan diterbitkan sebuah buku berjudul Art Movement in Bengal in the Early 20th Century An Intra-Asian Artistic Discourse yang di dalamnya membahas peran dan eksistensi Edhi Sunarso secara khusus,” pungkas Mikke.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email