Setelah tulisan saya yang berjudul REKONSILIASI? beredar, saya dikirimi banyak tulisan oleh teman-teman saya dan juga dapat pesan dari orang-orang penting pemerintahan untuk MOVE ON.
Kalau dari teman pakar sosial politik, tulisan Dr. Meutia Ganie dan Dr. Imam Prasodjo terutama yang menonjol. Meutia menganilisis apa yang terjadi di PILKADA DKI dan mengusulkan beberapa perubahan, memperbaiki “mismatch” komunikasi. Dia mengusulkan fokus pada dua hal: kestabilan sistem demokrasi dan masa depan pengelolaan keberagaman di negeri ini. Imam Prasodjo mengingatkan konflik horizontal yang terjadi di Kalimantan, Ambon dan Poso. Beliau menyatakan kesedihannya melihat warga yang harus mengungsi dari kampungnya sendiri karena konflik antar masyarakat. Intinya, Imam Prasodjo mengkhawatirkan pertentangan akibat Pilkada DKI dapat menimbulkan konflik horizontal seperti di Kalimantan, Ambon dan Poso. Bahkan Presiden sendiri mengatakan: “hentikan segala gesekan di masyarakat”.
Saya bingung, seruan untuk menghentikan kemarahan itu ditujukan kepada siapa? Kepada FPI dan gerombolannya yang merupakan proxy Anies-Sandy dan partai pendukungnya? (Saya sebut proxy Anies-Sandy, karena saya percaya yang murni memilih Anies-Sandy karena alasan agama atau karena programnya belum tentu suka dengan kelakukan gerombolan yang sering meresahkan warga), atau kepada pendukung Ahok? Benarkah situasi sekarang dapat menimbulkan konflik horizontal yang dibayangkan? Siapa yang lebih bisa menimbulkan chaos: pendukung Ahok atau proxy Anies-Sandy?
Kelompok pendukung Anies-Sandy dan yang mendesakkan rekonsiliasi menyatakan bahwa apa yang menimpa Ahok itu adalah akibat dari kelakuan dia sendiri. Pidato dia tentang Al Maidah itu selip lidah, kesalahan utama, yang memberi amunisi kepada lawan Ahok ( mulai dari pengusaha yang proyeknya tidak disetujui Ahok, tokoh yang keran penghasilan dari premanisme ditutup, atau partai ultra nasionalis yang tersinggung karena ditinggalkan oleh Ahok, dan partai Islam yang ingin berkuasa, dll) untuk menjatuhkannya. Secara politik, menurut pandangan ini, Ahok mestinya tidak mengucapkan soal ayat Al Maidah 51 itu. Jadi, biarkan Ahok menerima konsekwensi hukum dari perbuatannya, sekarang mari kita lupakan luka-luka itu. Supaya Jakarta damai menjelang 2019.
Kalau pendapat di atas dibenarkan, maka sebenarnya demokrasi kita yang dalam keadaan krisis, bukan kondisi sosial kita. Kenapa demikian? Karena, pendapat-pendapat di atas membenarkan penggunaan issu SARA, fasilitas agama, hukum, perlakuan diskriminatif karena ras, fitnah , dan intimidasi pemilih kalau mendukung Cagub yang berbeda agama, sampai larangan menshalatkan jenazah, semuanya hanya untuk kepentingan politik sesaat. Juga akan memberikan kesempatan kepada koruptor untuk melakukan serangan balik dengan cara tersebut di atas, di daerah lain di Indonesia.
Pernahkah terfikir bahwa ucapan Ahok itu dijamin oleh UUD45 pasal 28e? Setiap orang berhak menyuarakan fikirannya sesuai hati nurani, dan setiap orang dapat berkumpul, berorganisasi dan mengeluarkan pendapat? Seseorang, yang sejak kampanye sebagai Cagub Babel sudah menghadapi penggunaan ayat-ayat ini oleh lawan politiknya? Apakah dia tidak boleh menggunakan haknya yang dijamin konstitusi dalam mempertahankan dirinya dari serangan-serangan lawan politiknya?
Fakta bahwa dia sudah menyatakan pendapatnya tentang penggunaan ayat Al Maidah untuk kepentingan politik sesaat sudah dilakukan sejak penerbitan bukunya tahun 2008 setelah pengalaman dikalahkan dalam Pilkada Babel. Kenapa beliau tidak diserang saat buku itu keluar? Kenapa dia kemudian dipenjara bak teroris karena melaksanakan haknya untuk mengemukakan pendapat dan menyuarakan fikiran sesuai hati nurani?
Menurut ahli hukum, Ahok masuk penjara itu melanggar prosedur KUHAP, karena tidak melalui penetapan penahanan oleh Hakim. Dari segi norma hukum, penahanan tidak ada alasannya karena proses banding sudah mulai. Prosedur KUHAP kita untuk penahanan terdakwa adalah untuk kepentingan pemeriksaan, untuk mencegah pengulangan kejahatan, mencegah penghilangan barang bukti, atau mencegah larinya terdakwa. Selama ini Ahok tidak ditahan karena tidak memenuhi unsur diatas. Selain itu, beliau kerjasamanya baik, selalu hadir tepat waktu dalam persidangan dan dia tidak mungkin lari dari Indonesia.
Lalu alasannya ditahan apa? Demi kedamaian dia dibiarkan masuk penjara? Siapa yang akan melakukan kerusuhan dan kegaduhan apabila dia tidak ditahan? Apakah kita mau move on kemudian menginjak-nginjak hak azasi seorang Ahok, salah satu putra terbaik bangsa? Adakah kedamaian diatas ketidak adilan hukum? Kalau seorang Gubernur diperlakukan demikian, bagaimana dengan rakyat biasa?
Pertanyaan yang paling hakiki: apakah PNS 1/1965 itu masih pantas kita pertahankan untuk masa depan demokrasi kita?
Pernahkah kita terfikir, bahwa setiap warga negara berhak dipilih dan memilih tanpa ada batasan SARA? Pernahkah kita sadar bahwa mengkampanyekan memilih seseorang dengan alasan SARA atau melakukan intimidasi terhadap orang-orang yang memilih berdasarkan SARA itu adalah tindak pidana,? Pernahkah ada yang memperhatikan bahwa penggunaan sarana agama untuk kampanye adalah pidana?
Kemana supremasi hukum dalam kasus Pilkada DKI? Keadilan mana yang mau dicapai dalam demokrasi, keadilan yang didikte oleh gerombolan yang didukung oleh kelompok kepentingan untuk kepentingan politik sesaat atau keadilan yang mempertahankan hak azasi yang dijamin konstitusi?
Demokrasi kita sedang krisis karena kenyataannya lembaga-lembaga negara lumpuh, tidak berdaya, dan tidak mampu melaksanakan fungsinya untuk menegakkan konstitusi dan hukum yang mengatur hal-hal tersebut di atas.
Demokrasi kita dalam krisis karena kepentingan politik menjadi panglima dan menginjak-injak hak sipil dan politik yang dijamin dalam konstitusi dan Kovenan PBB Mengenai Hak Sipil dan Politik yang sudah kita ratifikasi.
Demokrasi kita dalam krisis karena partai politik pendukung Anies-Sandy melalui proxynya mengkhianati UUD 1945, UU Pemilu dan UU Anti Diskriminasi dan seluruh elemen negara, legislatif, yudikatif dan eksekutif membiarkan pengkhianatan ini terjadi.
Demokrasi kita dalam krisis karena apa yang terjadi di Pilkada DKI memperlemah usaha pemberantasan korupsi di Indonesia.
Demokrasi kita sedang krisis karena taktik pemenangan Pilkada mengkhianati falsafah dasar negara kita, Pancasila dan prinsip kebangsaan kita Bhineka Tunggal Ika. Semua itu adalah ruh dan sendi-sendi demokrasi kita.
Krisis demokrasi, itulah yang terjadi saat ini, yang dapat berkembang menjadi krisis sosial kalau tidak segera dibereskan dalam tatanan kenegaraan kita. Kedamaian tidak mungkin dicapai apabila sumber ketidak damaian tersebut tidak dihilangkan.
Jakarta 22 Mei 2017
Emmy Hafild
(Gerilya-Politik/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email