Dia lahir pada tahun 1967 M, di kota Maula Idris, Maroko. Dia tumbuh berkembang di beberapa kota Maroko: al-Qashrul Kabir, Miknas, dan ar-Ribath. Itu karena kondisi orang tuanya yang bekerja di Departemen Pertanian.
Situasi Perkembangan Idris
Sayid Idris hidup di lingkungan keluarga dan situasi sosial yang menguji kepercayaan dirinya sejak awal dia memulai kehidupan, begitu pula menguji rasionalitas, keterbukaan dan kesadarannya. Itu karena dominasi kebebasan berpendapat dan berpikir di sana. Maka dari itu, dia juga bebas dari seluruh kepercayaan di lingkungan hidupnya dan sama sekali tidak mengalami krisis kebebasan.
Sehubungan dengan ini, Sayid Idris mengutarakan pengalamannya bahwa: “Saya tidak besar di tengah keluarga yang memaksa anak-anaknya secara total, karena orang-orang Maroko tidak tahu bagaimana caranya memaksa anak-anak mereka. Kebebasan berkeyakinan di rumahku ini sangat membantuku untuk memasuki alam alternatif-alternatif pemikiran tanpa ada praduga sebelumnya”.
Sebagaimana diutarakan oleh Sayid Idris, Maroko adalah negeri yang bermasyarakat madani, setiap orang berhak memilih jalan dan alirannya sendiri tanpa harus merugikan keamanan umum. Dalam situasi seperti inilah Sayid Idris berkembang sehingga dia memiliki rasionalitas berpikir yang terbuka dan kritis, maka dia berhasrat untuk menyelami pemikiran humaniora secara umum dan pemikiran Islam secara khusus, cita-cita inilah yang menyertainya sejak dini dan mendorongnya untuk melintasi segala rintangan yang dia hadapi untuk merealisasikan cita-cita tersebut.
Awal Penelitian Yang Serius
Sejak pertama Sayid Idris memulai penelitiannya. Dia sadar bahwa tidak ada sesuatu apapun dari agama yang tidak berhubungan dengan sejarah, dan apa saja yang dimiliki oleh umat Islam pada hari ini, baik itu berupa keyakinan maupun hukum dan budaya, semuanya sampai kepada mereka lewat jalur periwayatan. Itulah sebabnya sejarah adalah salah satu sumber ilmiah yang sangat penting. Dan hal itu pula yang membuat Sayid Idris menjurus pada penelitian-penelitian historis yang objektif dan tanpa sedikitpun kecenderungan atau fanatisme terhadap aliran tertentu.
Periode Lintas Rintangan
Rintangan pertama yang dihadapi oleh Sayid Idris dalam petualangannya adalah peringatan sebagian ulama kepadanya agar tidak meneliti fenomena-fenomena sejarah yang lama, mereka beralasan bahwa perbuatan ini hanya akan menimbulkan fitnah dan akan meninggalkan berbagai kejanggalan-kejanggalan pada diri peneliti yang dapat mengguncang dasar-dasar keyakinannya.
Sayid Idris dengan mudah melintasi rintangan ini, dia sama sekali menolak pola pikir yang seperti itu, dia mengatakan: “Penelitian tentang hakikat sudah berubah menjadi fitnah dalam kamus sekelompok orang, seakan-akan mereka puas dengan ketercabikan dalam diri di saat hakikat telah hilang dan membingungkan, menurut mereka kondisi seperti itu lebih baik daripada membongkar hakikat kebenaran yang sesungguhnya wahyu turun karena tujuan itu, dan seakan-akan kepentingan agama adalah menutupi-nutupi hakikat, dan seakan-akan Allah swt. ingin mengacaukan hakikat-hakikat”.
Rintangan berikutnya yang dia hadapi adalah sakralitas sebagian tokoh, namun setelah membulatkan tekad untuk mengetahui hakikat kebenaran dia sadar bahwa tanpa terkecuali hakikat lebih berharga daripada tokoh-tokoh itu, dia juga sadar bahwa dia harus mempersiapkan dirinya untuk menghadapi insiden-insiden yang akan muncul dalam pencarian hakikat-hakikat yang hilang. Dengan demikian maka praduga sakralitas itu tidak lagi mendapatkan peluang untuk membekukan pikirannya dalam pencarian hakikat.
Dengan bermodalkan pola pikir ini Sayid Idris menerobos segala kesukaran yang dia hadapi dalam pencarian hakikat, dan dia menjalani masa yang cukup panjang di tengah puing-puing sejarah yang terpendam. Sayid Idris berkata: “Saya telah mempersiapkan apa saja yang bisa dibutuhkan oleh seorang pencari hakikat yang bertekad untuk melintas di jalan yang sukar dan meletihkan”.
Awal Pengenalannya Dengan Syi’ah
Sayid Idris mengatakan: “Ada dua buku yang jatuh di tanganku dan berbicara tentang tragedi Karbala yang memilukan serta sejarah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., untuk pertama kalinya saya dihadapkan dengan buku yang mempunyai dialek khusus menentang seluruh buku yang saya tekuni untuk membacanya, dan sebelum itu saya tidak tahu bahwa penulis buku ini adalah orang yang beraliran Syi’ah, karena sebelumnya saya tidak mempercayai orang Syi’ah sebagai muslim!, saya tidak bisa memilah-milah antara persoalan Syi’ah dengan Budha dan Sikh!!”.
Mulai dari situ terbukalah benak Sayid Idris sehingga dia mengenal sebagian dari pemikiran-pemikiran Syi’ah, maka itu terlintaslah sebuah pertanyaan dalam dirinya: Kenapa mereka Syi’ah sedangkan kita Ahli Sunnah?.
Dia menceritakan pengalamannya: “Dalam diriku, pertanyaan itu berubah menjadi hantu yang menyertaiku ke mana saja saya pergi, mulanya saya pura-pura bodoh dan melupakannya untuk meringankan beban penelitian dari diriku, karena sebetulnya beban penelitian itu lebih ringan bagiku daripada beban pertanyaan tersebut dan juga lebih sedikit tekanannya daripada kebingungan dan kebimbangan”.
Dari titik tolak inilah Sayid Idris kemudian bersikeras untuk membebaskan dirinya dari tekanan psikologis dengan cara membekali pikirannya dengan hal yang baru agar kepercayaan-kepercayaan yang dia warisi terbukti kepastiannya, dia sadar bahwa pikiran-pikiran yang menumpuk di benaknya tidaklah berharga jika tanpa asas keyakinan yang kuat dan mengkristal.
Itulah sebabnya Sayid Idris meyakinkan dirinya untuk mempelajari ideologi Syi’ah agar dapat mengetahui perbedaan-perbedaan antara ideologi Syi’ah dan ideologi Ahli Sunnah.
Hasil Penyelaman dalam Literatur Syi’ah
Belum lama Sayid Idris mempelajari literatur Syi’ah dia sudah menemukan hal-hal penting yang mengubah standar-standar yang dia yakini sebelumnya, di antaranya adalah kesadaran dia bahwa kondisi Ahli Sunnah yang ada sama sekali tidak punya beban untuk mendikte gambaran yang cacat tentang lawan-lawannya, dia tidak malu kepada Allah swt. dan kepada sejarah dalam menggunakan pola pembodohan dan pengaburan terhadap para pengikutnya.
Sayid Idris mengatakan: “Tiba-tiba saya merasa diriku telah tertipu”. Hati dia bangkit dan berkata: “Kenapa mereka tidak menyingkap hakikat kepada masyarakat sebagaimana adanya? Kenapa mereka sengaja berusaha menahan kita dalam kedunguan”. Kemudian dia bertekad untuk menemukan kebenaran yang hilang di putaran sejarah Islam, dan salah satu fenomena akbar sejarah yang sangat berdampak dalam dirinya adalah tragedi Karbala yang berdarah dan memilukan, dari situ dia tahu bahwa kezaliman yang dia keluhkan hari ini bukan hal yang baru bagi umat Islam, tiran hari ini melangkah di jalan yang didirikan oleh tiran pendahulu yang menghalangi perjalanan para imam suci dari Ahli Bayt as.
Problem Kebenaran Mayoritas
Sayid Idris mengatakan: “Setiap kali saya mengajukan pertanyaan pada diriku, saya melihat setan menghalangiku seraya berkata kepadsaya: “Jauhkan pertanyaan itu darimu, apa kamu lebih besar daripada jutaan muslimin sebelum dirimu, apa kamu lebih pandai daripada mereka yang ada sekarang sehingga kamu mencari keyakinan dalam persoalan ini?”, kemudian dia melanjutkan: “Dari dulu saya tahu bahwa mereka yang berjuta-juta itu tidak bersikeras untuk mengajukan pertanyaan ini kepada diri mereka sendiri”. Tapi bagaimanapun juga, protes-protes ini tidak sampai pada tahap mampu menghalau semangat Sayid Idris untuk menyibak tabir kegelapan dari hakikat-hakikat yang disembunyikan.
Keberadaan mayoritas yang dominan ini sangat mengganggu dalam dirinya, bagi dia ini rintangan yang berat dan sukar baginya untuk melawan, tapi ada satu hal yang membuat dia menang dalam menghadapi problem ini, yaitu keimanan dia bahwa mayoritas dengan sendirinya tidak dapat mencerminkan hakikat kebenaran, dan dalam kajian yang obyektif mayoritas sama sekali tidak bisa menjadi tolok ukur untuk mengetahui kebenaran, itulah yang membuatnya sanggup mendaki lebih tinggi dari gelombang besar manusia yang tidak mempunyai logika selain kuantitas banyak di alam hakikat.
Sayid Idris mengatakan: “Saya selalu menyodorkan fenomena keteraniayaan Imam Husein as. dan Ahli Bayt as. kepada teman-temanku ... saya haus sekali terhadap penafsiran yang memuaskan tentang tragedi-tragedi yang memilukan ini ... bagaimana kaum salaf “yang saleh” bisa membunuh Ahli Bayt as. dengan cara yang durjana! Tapi teman-temanku malah menyudutkanku dan kesal terhadap pemikiranku yang berjalan tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh bahtera jamaah (masyarakat muslim) pada umumnya”.
Sayid Idris melanjutkan: “Mulai dari sinilah kisah perjalananku menjadi menemukan kebenaran, saya melihat diriku sedang berada di hadapan gelombang besar pertanyaan-pertanyaan yang mengharuskanku untuk berdiri di atas pondasi keyakinan yang kokoh. Saya bukan orang yang suka diperdaya atau ditidurkan, saya tidak akan puas dan tenang selama saya belum menyegarkan kembali keyakinanku yang dulu, biar saja perjalananku ini berhenti sejenak di berbagai stasiun asalkan perjalanan itu memang benar dan bertanggungjawab.
Maka itu Sayid Idris membulatkan tekadnya untuk meneruskan pencariannya apapun hasilnya nanti, dia sadar bahwa ini adalah petualangan yang berat, di sanalah arti pengorbanan yang sesungguhnya mengejawantah dan di sana pula keteguhan tampil menawan, karena para pemimpin di jalan ini tidak pernah aman dari gangguan dan rintangan sampai akhirnya mereka dilukai, disembelih, dan diperangi sepanjang masa!.
Akhirnya Sayid Idris mengetahui nilai hakikat di mata para pencari hakikat, dia juga tahu sampai mana dia harus meningkatkan upayanya untuk melepas jubah taklid dari dirinya dan membelah pagar kesesatan, tradisi dan taklid yang kokoh.
Oleh karena itu, dia mempersiapkan seluruh bekal yang diperlukan dalam perjalanan intelektual ini, dan hasil yang dia dapatkan dari usaha keras tersebut adalah tersibaknya hakikat yang dia warisi dari mazhab Syi’ah, akhirnya dia juga tahu bahwa Ahli Bayt as. adalah mazhab pertama di dalam Islam, dan Syi’ah bukanlah orang-orang yang merintis jalur baru di luar jalur yang umumnya diikuti orang, melainkan mereka adalah orang-orang yang konsisten terhadap sikap mereka yang sejati, dan keteguhan itu terjadi di saat bangsa serta kelompok yang lain melarikan diri dari jalur itu dan berpencar mencari hakikat dari selain ahlinya.
Keputusan Final
Sayid Idris berkata: “Di saat-saat kemunculan hakikat yang sebenarnya bagiku, terjadilah kemelut sengit dalam diriku antara akal dan nafsu, nafsuku keberatan sekali untuk meninggalkan akidah yang lama, di sisi lain akalku tidak mau mengabaikan hakikat kebenaran yang jelas dan pasti, aku dihadapkan pada dua pilihan; mengikuti jalan yang aku warisi sebelumnya atau menempuh jalan kebenaran dan cahaya akal”. Dia melanjutkan: “Ini merupakan keputusan paling penting yang pernah kuambil selama masa hidupku untuk kemudian bergelut dengan tantangan-tantangan intelektual dan sosial”.
Dari sejak itu Sayid Idris menemukan posisinya dalam hidayah para imam suci as., dia umumkan kesyi’ahannya sewaktu dia masih di Maroko, kemudian berhijrah ke Siria untuk melanjutkan studi di Hauzah Ilmiah Damaskus, dia duduk di bangku hauzah sebagian guru, syekh dan ulama, dia meneruskan studinya di Hauzah sambil mengajar di sana, selain itu dia juga aktif dalam jurnalisme dan penulisan.
Praktis ada dua kecenderungan intelektual yang mengkristal dalam diri Sayid Idris; yang pertama adalah konsen terhadap kajian-kajian modern yang populer di negeri Maroko, dan yang kedua adalah konsen terhadap kajian-kajian agama dan mazhab yang mulai dia tekuni melalui guru-guru Hauzah Ilmiah, tempat pendidikan dia sekarang.
Ustad Sayid Idris memproduksi berbagai karya di dua bidang tersebut, dia mengarang buku-buku yang berkenaan dengan kajian agama seperti buku yang berjudul “Laqod Syayya’anil Husein” dan buku “Al-Khilafah al-Mughtashobah”, dia juga menulis buku-buku tentang pemikiran-pemikiran modern seperti buku “Mihnatut Turotsil Akhor”.[1]
Karya-karya Idris Huseini
1. Laqod Syayya’anil Husein as.; al-Intiqolus Sho’bu fi Rihabil Mu’taqodi wal Madzhab.
“Sungguh Husein as. telah Mensyi’ahkanku; Proses Perpindahan yang sulit dalam Akidah dan Mazhab”. Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1414 H/1994 M, oleh Darun Nakhil lit-Thiba’ati wan Nasyr, Beirut.
Buku ini memuat penelitian yang obyektif tentang beberapa keyakinan yang menjadi titik tolak penulis untuk berpindah dari mazhab Ahli Sunnah ke mazhab Ahli Bayt as.. Di pengantar buku ini dia menyebutkan tujuan-tujuan dia menulis, kemudian dia lanjutkan dengan sebuah topik tentang telaah terhadap sejarah dan alasan bicara tentang Syi’ah dan Ahli Sunnah.
2. Al-Khilafah al-Mughtashobah; Azmatu Tarikhin Ummu Azmati Mu’arrikhin.
“Kekhalifahan yang Dirampas; Krisis Sejarah adalah Induk Krisis Sejarawan”. Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya oleh Darul Kholij, dan terbitkan lagi pada tahun 1416 H oleh Darun Nakhilil Arobi lit-Thiba’ati wan Nasyr, Beirut. Isinya adalah pengantar, tiga pasal, dan penutup. Di pengantar buku ini disinggung pula persoalan tentang “gerakan munafik di tengah masyarakat Islam” dan “Langkah-langkah Nabi saw. dalam memusatkan umat”.
3. Hakdza Aroftus Syi’ah; Taudlihat wa Rudud.
“Demikianlah Aku Mengenal Syi’ah; Penjelasan dan Bantahan”. Diterbitkan oleh Darun Nakhilil Arobi lit-Thiba’ati wan Nasyr, Beirut, tahun 1418 H.
4. Mihnatut Turotsil Akhor; an-Naz’atul Aqlaniyyah fil Maurutsil Imami.
“Cobaan Literatur Lain; Kecenderungan Rasional dalam Literatur Imamiah”. Diterbitkan oleh Darul Ghodir, Beirut, 1419 H. Kajian lengkap tentang literatur Syi’ah yang dalam sejarahnya selalu diasingkan agar tidak berperan aktif di tengah masyarakat. Ustad Sayid Idris membaginya dalam tiga bidang: Penulisan sejarah, ilmu kalam (teologi), hikmah, dan dasar-dasar pensyari’atan.
5. Hiwarul Hadlorot.
“Dialog antar Peradaban”. Diterbitkan oleh al-Markazuts Tsaqofi al-Arobi –Darul Baydlo’–, Maroko, cetakan pertama tahun 2000 M. Penulis menyebutkan dalam pengantar buku ini bahwa: “Karya yang ada di depan pembaca budiman adalah sebuah usaha untuk memperjelas duduk permasalahan tentang dialog antar peradaban”.
6. Al-Mufaroqotu wal Mu’anaqoh; Su’alul Muqoyasati fi Qornin Jadid, Ru’yatun Naqdiyyah fi Masarotil ‘Uwlamah wa Hiwaril Hadlorot.
“Perpisahan dan Pelukan; Soal Perbandingan di Era Modern, Pandangan Kritis tentang Perjalanan Globalisasi dan Dialog antar Peradaban”. Diterbitkan oleh al-Markazuts Tsaqofi al-Arobi –Darul Baydlo’–, Maroko, cetakan pertama tahun 2001 M.
Di pengantar buku itu penulis mengatakan: “Dalam karya ini, kami berusaha untuk menunjukkan sisi lain dari globalisasi yang berbeda dengan sisi yang populer. Kami memandangnya dengan perasaan gelisah dan bukan dengan nafsu gharizah (insting). Dan akhirnya kami sampai pada kesimpulan yang juga didapatkan oleh para ahli di barat, merekalah baris terdepan penentang aborsi dan pengguguran yang dilakukan oleh globalisasi... ini di bagian pertama. Adapun di bagian kedua, kami memaparkan dialog antar peradaban dan meliputnya dari awal agar tidak mengalami jalan buntu, lalu mempertemukan konsep-konsep pertama. Di sini kami juga membantah pendapat yang menyatakan pluralitas peradaban.
Di antara tema-tema yang dimuat dalam buku ini adalah: Globalisasi dan dunia, benarkah globalisasi atau industri perang?, arab dan globalisasi: tantangan dan jawaban, globalisasi budaya ibarat proyek penetrasi, dialog peradaban atau budaya, dan lain sebagainya.
Sekilas tentang Buku “Laqod Syayya’anil Husein”
Buku ini memuat pengalaman yang dilalui oleh Ustad Idris Huseini di ruang pemikiran untuk memilih sebuah keyakinan yang argumentatif dan berdalil, ternyata hasilnya adalah dia mendapatkan kebenaran di selain apa yang telah dia warisi dari leluhurnya.
Dalam buku ini Ustad Idris menuangkan pengalaman perpindahannya dari mazhab Ahli Sunnah ke mazhab Ahli Bayt as., dia berkata di kata pengantar: “Tidak penting bagi saya dalam pengalaman ini untuk memperkenalkan kepribadianku, melainkan nilai tema yang diusung dalam buku jauh lebih penting, ini adalah pengalamanku di garis keyakinan dan aku bertanggung jawab untuk itu, karena itu aku bermaksud untuk menjaganya tetap bebas, merdeka dan tanpa belenggu apapun”.
Pasal Pertama: Apa Bayanganku Sebelumnya tentang Sejarah Islam?
Penulis berpandangan bahwa lingkungan tempat dia hidup sangat berpengaruh dalam membentuk kerangka pemikiran yang menjadi sudut pandang dia melihat sejarah, dia berkata: “Sejak semula mereka telah menyuntikkan sejarah ini kepadaku ..., kita mesti menahan diri saat menyaksikan darah, kefasikan dan kekafiran, kita tidak punya hak selain menutup mata dari kenyataan itu, kita juga harus tutup mulut –saat membaca sejarah Islam– dan hanya berkata: “Mereka adalah umat yang telah lalu, bagi mereka apa yang telah mereka perbuat ...”.
Penulis menyebut kondisi ini sebagai pengekangan yang terencana dan tali kekang yang diikatkan ke akal manusia sebelum masuk ke mihrab sejarah yang suci, dia berkata: “Mereka mengajarkan kita untuk menolak akal kita sendiri sehingga kita menjadi robot dan komputer yang bodoh, politik mengalahkan sejarah dan mengubahnya menjadi kesengsaraan yang hakiki”.
Tapi kesadaran Ustad Idris menjadikannya sebagai orang yang selalu berpikir kritis dan tidak menerima apapun kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu, itulah kenapa dia berkata: “Alangkah beratnya krisis yang dihadapi oleh pencari hakikat kebenaran”.
Pasal Kedua: Periode Perpindahan
Pada pasal kedua, Ustad Idris menceritakan kesyia’hannya. Kata dia, salah satu rintangan serius yang dipersiapkan oleh orang-orang di sekelilingnya ketika hendak terjun ke dalam pembahasan akidah dan telaah atas fenomena yang terjadi pada awal kemunculan Islam adalah mereka mengatakan kepadanya: “Itu adalah fitnah yang semoga Allah swt. menyucikan kita darinya, dan kita juga tidak berhak untuk menghadirkannya kembali serta menyelam ke dalamnya”. Tapi Ustad Idris berkata berkomentar sebaliknya: “Bagaimana mungkin Allah swt. menyucikan kita dari fitnah itu sementara fitnah itu senantiasa hadir di tengah kita dengan berbagai cela dan pengelabuhannya”.
Ustad Idris selalu melontarkan topik keteraniayaan Imam Husein as. di Hari Asyura kepada teman-temannya, dia terus mencari penjelasan yang memuaskan tentang tragedi yang memilukan ini, dan berangkat dari sinilah kisah kesyi’ahan dia. Sebab, di sela-sela perenungan atas tragedi Karbala dirinya dihadapkan pada gelombang besar pertanyaan-pertanyaan yang mengharuskan dia untuk berdiri di atas pondasi keyakinan yang kuat, maka mulailah dia bertolak untuk memperbaharui dan mengobati keyakinan-keyakinannya.
Ustad Idris mengatakan: “Kala itu saya tidak mempunyai referensi yang cukup untuk mengkaji mazhab Syi’ah ... Allah swt. tahu bahwa keyakinan Syi’ahku menguat di sela-sela referensi dari Ahli Sunnah wal Jama’ah itu sendiri, dan juga diperkuat dengan kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam ajaran mazhab Ahli Sunnah”.
Pasal Ketiga: Dan Jatuhlah Daun Mulberry (Bebesaran)
Pada pasal ketiga, penulis mengulang analisa sejarah dan mengulas persoalan Syi’ah dari sudut pandang sejarah dan bukan dari sudut pandang mazhab, kemudian dia membahas asal-asul kemunculan Syi’ah.
Berkenaan dengan klaim penisbatan Syi’ah kepada Abdullah bin Saba’, Ustad Idris mengatakan: “Ini bukan lelucon pertama yang dituduhkan kepada Syi’ah melainkan satu dari sekian lelucon atau supersisi yang dirajut oleh jari-jari kotor yang dibayar atau dipaksa oleh Dinasti Umayyah, dan oleh karena itu produk lelucon mereka harus ditentang!”.
Kemudian dia menyebutkan tuduhan bahwa Syi’ah adalah mazhab Persia dan berkata: “Hanya pelawak sejarah saja yang menyatakan Syi’ah sebagai mazhab buatan orang-orang Persia, orang-orang arab lebih dahulu Syi’ah daripada mereka, bahkan merekalah yang memasukkan mazhab Syi’ah ke Persia, buktinya adalah mayoritas ulama’ besar Ahli Sunnah, baik di bidang ilmu tafsir, hadis, sastra, bahasa maupun yang lainnya adalah dari Persia, dan untuk tempo tertentu Iran tetap menerapkan sunnah Dinasti Umayyah dalam mencaci Ali bin Abi Thalib as. dan mengutuk beliau di masjid-masjid dan mimbar-mimbar”.
Pasal Keempat: Dari Kesengsaraan
Sejarah Menuju Sejarah Kesengsaraan Pada pasal keempat, penulis mengajak pembaca untuk menghakimi secara adil dan bijaksana saat menelaah sejarah, kemudian dia menerangkan sejarah Rasulullah saw. dan lebih terfokus pada bagian-bagian sensitif dari sejarah beliau yang menurut dia merupakan kunci untuk memahami fenomena-fenomena yang disaksikan oleh sejarah Islam setelah beliau wafat.
Penulis menjelaskan bahwa persekongkolan anti Rasulullah saw. telah dimulai dari awal penaklukan dan kemenangan Islam, orang-orang munafik yang sudah menjadi bagian dari masyarakat berencana untuk membunuh beliau pada saat-saat yang berpeluang.
Lalu penulis melontarkan persoalan khilafah dan suksesi seraya mengatakan: “Risalah Nabi saw. menuntut perhatian yang serius terhadap kontinuitas kepemimpinan misi Islam agar tidak muncul anggapan penentang bahwa syari’at Nabi saw. adalah sementara dan sudah berakhir bersamaan dengan kematian beliau.
Jelas di luar logika risalah-risalah sebelumnya jika persoalan yang bersinambung dengan risalah Islam dan nasib masa depannya ini terlewatkan begitu saja”.
Penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa: “Prinsip utama dalam kepemimpinan adalah wasiat atau suksesi, adapun Dewan Syuro tidak lebih hanya upaya pembenaran atas apa yang telah terjadi di Saqifah Bani Sa’idah. Hal itu karena sejarah sendiri menyibah hakikat Dewan Syuro yang mereka jadikan sandaran di Saqifah. Bahkan Dewan Syuro itu sendiri telah menunjukkan kesengsaraannya dalam hal memilih formula hukum dan dalam menciptakan atmosfir keserakahan hawa nafsu atau fanatisme kesukuan yang merajalela pada waktu itu. Tentunya tidaklah mudah bagi kita untuk menutup mata dari perselisihan dan perseteruan yang terjadi di sekitar persoalan khilafah!”.
Selanjutnya penulis membuktikan bahwa Rasulullah saw. telah mengangkat Ali bin Abi Thalib as. sebagai menteri, penerus dan wasiynya. Dia undang sejarah untuk membicarakan hakikat yang sebenaranya terjadi lalu menyebutkan beberapa tempat yang di sana Rasulullah saw. melantik Ali bin Abi Thalib as. sebagai wasiy dan khalifah setelah beliau, di antaranya adalah: Hadis ad-Dar, ikatan persaudaraan antara Rasul dan Ali, hadis Ghodir Khum, dan lain sebagainya.
Penulis mengatakan: “Sungguh Rasulullah saw. tidak pernah lalai akan nilai dan pentingknya suksesi atau kekhalifahan setelah beliau, pidato beliau di Haji Wada’ adalah rencana untuk umat Islam yang dapat menjaga mereka dari kesalahan-kesalahan masa datang, di sana beliau menekankan kehormatan Ahli Bayt as. dan mengangkat Ali bin Abi Thalib as. sebagai pemimpin umat Islam setelah beliau, ... beliau juga memperingatkan mereka pada akibat yang akan menimpa mereka apabila menentang nash (ketentuan syari’at Islam tersebut) dan sebaliknya mengikuti kebatilan atau pendapat mereka sendiri, beliau juga memperingatkan mereka pada konsekuensi penyesatan, kemurtadan dan pemfitnahan. Ya’qubi menyebutkan dalam buku sejarahnya: “Setelahku nanti, jangan kalian kembali menjadi kafir dan menyesatkan serta sebagian dari kalian memperbudak sebagian yang lain, sesungguhnya kepada kalian aku telah wariskan dua pusaka besar yang selama kalian berpegang teguh padanya niscaya kalian sama sekali tidak akan sesat, dua pusaka besar itu adalah kitab suci Allah dan keluargaku Ahli Baytku”, lalu beliau memerintahkan umat manusia untuk komitmen terhadap pengumuman dan pusaka yang beliau tinggalkan itu seraya bersabda: “Sungguh kalian harus bertanggungjawab untuk itu, dan hendaknya orang yang menyaksikan kejadian ini menyampaikan kepada yang tidak menyaksikannya”.[2]
Kenyataan di Balik Wafatnya Rasulullah saw
Ustad Idris Huseini secara khusus menyebutkan sebagian dari kenyataan yang terjadi pada saat Rasulullah saw. sedang sakit, pra dan pasca wafat, khususnya tentang kejadian-kejadian yang memiliki dampak politik dan sosial yang menakutkan setelah itu. Di antaranya adalah: Persiapan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. untuk pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid sebagai orang yang dipilih oleh beliau sebagai panglima perang pada waktu itu dan ternyata sebagian sahabat Nabi saw. enggan untuk menerima keputusan beliau tersebut, sikap durhaka Umar bin Khattab terhadap Rasulullah saw. di saat dia menghalangi beliau yang sedang sakit untuk menulis wasiat dan dia berkata “cukup bagi kami kitab Allah”.
Adapun setelah Rasulullah saw. wafat: “Beliau tidak lebih dari tubuh yang tidak bergerak di pelukan keluarganya (Ahli Bayt as.), hanya mereka yang memandikan jenazah beliau, sedangkan yang lain saling menanduk satu sama lainnya untuk memperebutkan hak yang pada hakikatnya sudah diputuskan secara final oleh teks agama, mereka mengeksplotasi situasi dan menunggangi peluang ketika Imam Ali as. dan Ahli Bayt as. tidak hadir di lokasi perselisihan”.
Sehubungan dengan sikap Umar bin Khattab setelah wafatnya Rasulullah saw. yang berkata: “Sungguh orang-orang munafik beranggapan bahwa Rasulullah (saw.) telah wafat, padahal sungguh demi Allah (swt.) beliau tidak mati melainkan beliau pergi menuju Tuhannya sebagaimana Musa bin Imran juga pergi ...”, Ustad Idris berkomentar: “Sejak awal Umar tahu bahwa Rasulullah saw. telah wafat, dia juga tahu tentang ayat yang dibaca oleh Abu Bakar ketika datang ke tempat kejadian, yaitu firman Allah swt.:
﴿ وَ مَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُولٌ قَد خَلَت مِن قَبلِهِ الرُّسُلُ أَفَئِن مَاتَ اَو قُتِلَ انقَلَبتُم عَلَی اَعقَابِکُم ﴾ / آل عمران: 144
Artinya: “Dan Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, maka apakah kalau dia wafat atau dibunuh kalian akan mundur ke belakang (murtad)”. (QS. Alu-Imran: 144)., melainkan tujuan dia melontarkan persoalan ini ke depan adalah menyibukkan masyarakat agar jangan sampai berpikir tentang suksesi dan kekhalifahan setelah beliau. Dengan demikian maka dia dapat mengeksploitasi waktu sampai kedatangan Abu Bakar dan apa yang mereka rencanakan sebelumnya berjalan dengan lancar”. Setelah itu, Ustad Idris Huseini menyebutkan kejadian Saqifah Bani Sa’idah dan permainan yang diaktori oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah untuk mencapai target mereka.
Era Pasca Saqifah
Di bab ini, Ustad Idris Huseini secara khusus menyebutkan stasiun-stasiun penting sejarah pasca Saqifah, kemudian dilanjutkan dengan problem-problem pelik yang disebabkan oleh fenomena Saqifah, di antaranya adalah:
1. Larangan terhadap Fatimah Zahra as. untuk mendapatkan tanah Fadak sebagai warisan dari ayahnya (yakni Rasulullah saw.) dan sikap beliau terhadap larangan tersebut.
2. Serangan militer Abu Bakar terhadap muslimin yang dia tuduh sebagai kelompok murtad karena tidak menyerahkan zakat kepadanya.
3. Kelaliman Abu Bakar dalam hal pelantikan Umar bin Khattab sebagai pemimpin setelahnya yang tentunya merupakan pelecehan terhadap kedudukan muslimin dan penindasan terhadap kebebasan mereka.
Ustad Idris berkata: “Semua orang berusaha untuk menggambarkan Umar bin Khattab dalam bentuknya yang legendaris sebagaimana yang diinginkan oleh musuh-musuh Bani Hasyim, dengan asap tebal itu mereka hendak menutupi keutamaan-keutamaan Bait Alawi (keluarga suci Ali), padahal pada kenyataannya Umar bin Khattab sama sekali tidak mempunyai kelayakan untuk posisi khilafah baik secara psikologis maupun secara sosial.
Dia melanjutkan: “Catatan-catatan negatif tentang Umar bin Khattab dan sikap-sikapnya yang aneh baik dalam politik, sosial maupun hukum tidak akan pernah dilupakan oleh sejarah, di antaranya adalah:
1. Kedangkalan politik.
Dalam hal ini penulis membeberkan bukti yang banyak lalu berkata: “Umar bin Khattab membatasi ruang gerak Ali bin Abi Thalib as. dan Syi’ahnya serta sebaliknya memberikan kebebasan secara luas kepada Dinasti Umayyah”.
2. Kedurhakaan Sosial.
Umar bin Khattab bukanlah lelaki yang disebut-sebut oleh kaum Arab, sebelumnya dia juga tidak punya bobot yang menguatkannya. Di samping itu juga, dia tidak memiliki dokumen nasab yang layak dijadikan sandaran. Oleh karena itu, dia ingin sekali menuntut balas dengan cara merebut posisi kekhalifahan, bukan untuk mencari sesuatu yang hilang darinya melainkan untuk balas dendam terhadap para penguasa dan kalangan elit.
3. Keanehan hukum.
Umar bin Khattab tidak seperti yang diceritakan oleh sejarahwan-sejarahwan kerajaan, dia adalah orang yang tidak memiliki karakter ilmu hukum fikih, bukan hanya itu bahkan dia berani mengeluarkan fatwa-fatwa yang aneh dan keluar dari batas teks agama, Ibnu Abil Hadid mengatakan: “Umar bin Khattab seringkali mengeluarkan fatwa dan kemudian dia sendiri melanggarnya serta mengeluarkan fatwa sebaliknya ...”.[3]
Di samping itu, Umar bin Khattab sendiri berulang kali mengakui kelemahannya dalam hal hukum di depan mayoritas muslimin pada waktu itu sampai akhirnya tersebarlah sebutan bahwa “Semua orang lebih pintar hukum daripada Umar”.
Kekhalifahan Pasca Wafatnya Umar
Ustad Idris mengatakan: “Kekhalifahan telah memasuki babak permainannya yang ketiga, kekuasaan yang sembrono ini menciptakan kondisi terburuk yang pernah dialami oleh umat Islam”.
Menurut Ustad Idris, ide yang tetapkan oleh Umar bin Khattab untuk menentukan khalifah setelahnya adalah permainan yang matang, kemudian dia mulai mempertanyakan: “Bukankah Umar adalah orang yang sebelumnya berpandangan bahwa urusan kepemimpinan Islam setelah Rasulullah saw. adalah dibiarkan begitu saja dan dipasrahkan kepada muslimin untuk berpendapat di sana? Lalu kenapa dia tidak membiarkannya juga kepada mereka untuk secara bebas mengambil keputusan dalam hal urusan umat Islam? Kenapa dia mengharuskan enam kandidat untuk jalan sesuai dengan idenya dan siapa saja yang menentang harus dibunuh?”.
Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas: “Sebetulnya sejak awal Umar bin Khattab sedang mempersiapkan kekhalifahan Usman bin Affan, sedangkan keinginan dia untuk mengikutsertakan enam orang secara bersamaan adalah taktik dia untuk itu. Dengan taktik itu, dia ingin mengumumkan kepada masyarakat setelahnya bahwa kendatipun Ali bin Abi Thalib as. termasuk di antara enam orang tersebut namun dia tetap tidak memperoleh kekhalifahan karena di samping tidak punya kelayakan dia juga tidak diterima oleh masyarakat, dengan demikian maka secara politis Umar bin Khattab dapat menjatuhkan beliau di depan publik dan menghalangi beliau dari hak kekhalifahan yang sebenarnya. Pada saat yang sama, Umar bin Khattab juga ingin menjatuhkan pesaing-pesaingnya yang lama yaitu Thalhah dan Zubair. Adapun kehadiran Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdur Rahman bin Auf tidak lain hanya untuk keseimbangan yang pada gilirannya akan memenangkan pemilihan Usman bin Affan sebagai khalifah setelah Umar.
Usman atau Fitnah
Akbar Ustad Idris memandang bahwa khalifah ketiga Usman bin Affan adalah produk situasi yang sebenarnya merupakan satu mata rantai dari realitas komplotan bersejarah atas keluarga Bani Hasyim, hanya saja Usman adalah pribadi yang lemah sehingga dia tidak mampu menjaga stabilitas dan keadilan antara masyarakat umum dengan sanak famili.
Politik Usman bin Affan memancing marah muslimin pada waktu itu, karena dari sejak awal berkuasa dia membangun pemerintahannya atas dasar klan, dia mendudukkan Dinasti Umayyah di atas massa sehingga mengundang kebangkitan publik secara meluas yang berujung pada kematiannya.
Ustad Idris menyifati kebangkitan itu: “Kebangkitan demi menegakkan kembali keadilan sosial adalah hak dan benar, kebangkitan itu diikuti oleh seluruh kelompok masyarakat yang menentang politik Usman dengan segenap kepentingan dan tujuan mereka. Oleh karena itu yang membunuh Usman adalah semua orang, baik yang kecil maupun yang besar semuanya telah menuntut balas kepada Usman.
Kemudian dia melontarkan sebuah pertanyaan: “Meskipun begitu, apakah masyarakat pada waktu itu berhasil mengembalikan urusan pemerintah secara maksimal dan menghentikan pengaruh aktif Dinasti Umayyah?
Lalu dia sendiri menjawab pertanyaan itu: “Masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa selain menciptakan titik tolak baru sehingga sejarah Islam memasuki era keguncangan yang besar, otoritas Dinasti Umayyah jauh lebih luas, dalam dan kuat daripada yang dibayangkan dapat disapu oleh kebangkitan orang-orang fakir dan miskin, bertahun-tahun sudah berlalu dari masa kekhalifahan yang memberi peluang penuh kepada Dinasti Umayyah untuk membangun kembali kekuasaan mereka”.
Dia melanjutkan: “Ternyata pembunuhan Usman bin Affan tidak melemahkan Dinasti Umayyah melainkan membuat mereka lebih kuat dari sebelumnya, pembunuhan itu malah mengaburkan sejarah tentang wajah-wajah buruk, kemunafikan semakin menginap lama di sana, dan sesungguhnya pembunuhan Usman adalah pintu masuk ke dalam pengertian tentang sejarah Islam!”.
Bai’at Imam Ali bin Abi Thalib as.
Penulis memandang bahwa pada akhirnya komplotan anti Imam Ali as. terbentur dengan sejarah, masyarakat tidak lagi menemukan jalan selain kembali kepada beliau, dan mau tidak mau komplotan ini harus berhenti pada satu titik, dan titik itu adalah kesadaran mayoritas umat Islam yang muncul setelah terbunuhnya Usman bin Affan.
Pada saat memerintah, Imam Ali as. menghadapi lingkungan yang didominasi oleh hukum prioritas elit masyarakat, maka langkah pertama beliau adalah menyingkirkan rintangan-rintangan yang berat untuk memberikan hak masing-masing orang tanpa terkecuali, dan langkah beliau ini memancing emosi orang-orang yang sudah terbiasa dengan prioritas atas masyarakat biasa sehingga mereka lebih memilih untuk bergabung ke blok yang lain, yaitu blok Dinasti Umayyah, karena di sana mereka menemukan kepuasan yang mereka dambakan.
Itulah kenapa Imam Ali as. terjun ke pertempuran bersejarah melawan dua kelompok feodal dan kelompok miskin yang oportunis.
Maka terjadilah Perang Jamal, yaitu peperangan yang sifatnya mendadak dan direncanakan oleh akal yang dini serta dipimpin oleh wanita yang berakal lemah. Kemudian dilanjutkan dengan Perang Siffin yang terjadi karena upaya Imam Ali as. untuk menyingkirkan Muawiyah dari pemerintahan berapapun kesulitan yang harus beliau hadapi. Setelah itu terjadi Perang Nahrawan akibat kedangkalan berpikir sekelompok orang dan penentangan mereka terhadap kebijakan Imam Ali as. serta sikap beliau terhadap Muawiyah di situasi yang sangat rumit.
Kemudian penulis menyebutkan secara berurut kejadian-kejadian sejarah yang dimainkan oleh aktor-aktor musuh kebenaran, dia menyebutkan apa yang terjadi pada masa kekhalifahan Imam Hasan as. dan komplotan besar musuh-musuh kebenaran untuk membunuh beliau, setelah itu Muawiyah mulai mengambil langkah-langkah besar untuk mengubah kekhalifahan menjadi kerajaan, lalu Yazid ikut terlibat dalam huru hara kekuasaan yang menyebabkan munculnya tragedi Karbala.
Pada akhirnya penulis menceritakan kisah dramatis Karbala yang memilukan dengan berdasarkan data-data yang disepakati oleh sejarah, dan di sinilah dia sampai kepada beberapa kesimpulan penting yang mengantarkannya untuk menjadi Syi’ah dan memeluk mazhab Ahli Bayt as.
Pasal Kelima: Konsep-konsep yang Menyibak Hakikat
Pada pasal ini, penulis memilih dua konsep sahabat dan keimaman. Di bagian pertama dia mengungkapkan tindakan politik dan moral generasi yang disebut dengan sahabat Nabi saw., dia menyebutkan beberapa contoh yang di antaranya adalah Abu Bakar dan Aisyah, lalu menilai seberapa benar mereka bertindak.
Hasil yang dia dapatkan adalah: Tidak semua sahabat itu adil. Lalu dia menjelaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda bahwa ada sebagian sahabat yang akan kembali ke tradisi leluhur mereka.
Adapun sehubungan dengan konsep keimaman, penulis membawakan kajian lengkap tentang konsep itu berikut juga tentang urgensitas keimaman, sifat-sifat imam, keutamannya, kesuciannya dan lain sebagainya.
Pasal Keenam: Akidah Imamiyah
Di pasal keenam penulis menerangkan kronologi munculnya Ilmu Kalam (teologi), dia mengatakan: “Ilmu Kalam muncul akibat kejadian-kejadian yang beruntun setelah wafatnya Rasulullah saw., arus kencang tantangan intelektual dan filosofis, yang masuk dari negeri-negeri yang berhasil ditaklukkan ke dunia Islam, menuntut muslimin untuk konsen terhadap Ilmu Kalam demi membuktikan keyakinan mereka secara rasional yang mau tidak mau harus diterima oleh komunitas di luar Islam.
Kemudian penulis memfokuskan pembahasan kepada beberapa persoalan dalam Ilmu Kalam, di antaranya adalah: Tauhid, sifat-sifat Tuhan, keadilan Ilahi, apakah Tuhan bertubuh dan bisa dilihat?, firman Tuhan dan bada’. Dia membahasnya satu persatu secara komparatif antara tiga pandangan kelompok Syi’ah, Muktazilah dan Asyariah, lalu menyebutkan bukti-bukti kuat yang membuatnya bermazhab Ahli Bayt as.
Di penghujung bukunya, Ustad Idris meringkas perjalanannya yang cepat di bidang keyakinan, dia mengatakan: “Kami umumkan pentingnya merujuk kembali dasar keyakinan untuk kemudian membangunnya lagi di atas dasar-dasar yang ilmiah dan teliti serta terhindar dari taklid buta”. Dia menambahkan: “Sungguh saya tidak merasakan manisnya keyakinan kecuali setelah petualangan dan perjalanan ini”.[4]
Referensi:
1. Laqod Syayya’anil Husein; al-Khilafah al-Mughtashobah; majalah al-Minbar, edisi ke3, tahun pertama, bulan Jumadil Ula 1421 h.
2. Tarikh Ya’qubi: jilid 3, halaman 90-93.
3. Syarhu Nahjil Balaghoh, Ibnu Abil Hadid, jilid 3, halaman 181.
4. Riwayat hidup ini dinukil dan diterjemahkan dari situs www.aqaed.com
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email