Pilkada serentak 2017 sudah berlalu, Pilkada 2018 di depan mata. Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla menegaskan masjid tak boleh digunakan untuk kampanye.
“Hari ini ada bikin edaran imbauan, memang masjid, baik secara Undang-Undang, itu tidak boleh dipakai untuk kampanye, karena itu kita tidak mengizinkan itu untuk dipakai kampanye,” kata JK di rumah dinasnya, Jl Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (23/5/2017).
Menurut JK, masjid tak boleh disusupi kepentingan kelompok tertentu. Masjid untuk umat, tanpa memandang pilihan politiknya.
“Karena kalau kampanye di masjid, nanti ada yang partai A, partai B, partai C atau pendukung A, B, C itu akan bahaya. Nanti jemaahnya pula bertentangan. Oleh karena itu kita tidak mengizinkan dan Undang-Undang pun begitu,” ulas JK.
Selain di masjid, JK juga meminta kampanye tak dilakukan di tempat lain yang dilarang aturan. Salah satunya kampanye tak boleh dilakukan di kompleks tentara.
“Nanti bagaimana pula tentara itu kalau ada kampanye di kompleks,” ujar JK.
Lihat Disini:
Anies-Sandi dan Dosa-Dosa Politisasi Masjid
Pasangan calon (paslon) Anies Baswedan-Sandiaga Uno menjadi titik referensi berbagai kelompok kepentingan: dari Islam radikal hingga pendukung khilafah, dari barisan penolak pemerintah Jokowi hingga mereka yang merasa rugi karena kebijakan taktis Ahok.
Potensi-potensi inilah yang menjadi ancaman terhadap persatuan, maupun prinsip kebhinekaan. Karena dari beragam kelompok itu, memiliki kepentingan-kepentingan masing-masing yang terkulminasi pada kepentingan untuk memilih Anies-Sandi. Atau, pada titik tertentu, tidak punya pilihan lain, selain memilih Anies-Sandi.
Namun, yang paling menyedihkan—bagaimana lingkaran penasihat politik paslon Anies-Sandi, menggunakan politik komodifikasi agama. Masjid-masjid di Jakarta, menjadi panggung politik untuk mengabarkan seruan politik maupun ungkapan kebencian. Inilah yang menjadikan ruang sosial-keagamaan di Ibu Kota menjadi semakin panas.
Dalam sebuah video yang dilansir luas di Youtube, penasihat politik Anies-Sandi, Eep Saifulloh Fatah, mengungkap strategi politik untuk menggunakan masjid dan khatib shalat Jum’at, sebagai jaringan kampanye. Eep mengulas bagaimana partai FIS (Front Islamic du Salut) di Aljazair dapat memenangi pertarungan politik.
FIS lahir dari pergerakan warga al-Jazair yang muak dengan dominasi partai pemerintah, FLN yang dikomando presiden Chadli Benjedid. Singkatnya, kelompok Islam menggunakan FIS sebagai kendaraan politik, yang dikomando Dr. Abbasi Madani.
Eep menilai strategi politik FIS sangat efektif untuk memenangi pertarungan politik. “Dilihat dari ketokohan, tidak ada tokoh yang menonjol yang tersebar di berbagai daerah. Di lihat dari pendanaan, sangat biasa. Ternyata, di antara berbagai faktor, ada satu faktor yang punya peranan. Yakni, partai FIS punya satu jaringan yang tidak terlihat. Jaringan itu bekerja, dan hasilnya sungguh dahsyat. Dan, jaringan itu adalah masjid,” ungkap Eep.
Dari analisanya, Eep menyampaikan bahwa apa yang menjadi strategi partai FIS. Menurut Eep, jaringan politik yang perlu dikembangkan, yakni melalui ulama, ustadz yang menjadi khatib Jum’at. Shalat Jum’at menjadi media strategis untuk menggerakkan kesadaran publik, agar memiliki sikap politik. Bagi Eep, sejumlah khatib, para ulama, ustadz yang mengisi kegiatan-kegiatan di masjid. Termasuk dan terutama shalat Jum’at, itu bukan hanya menyerukan ketaqwaan, tapi dilanjutkan dengan seruan-seruan politik.
Eep menegaskan, ia dan timnya telah mengembangkan startegi yang dilakukan Partai FIS di Aljazair, untuk kontestasi politik di Jakarta.
“Secara pribadi, saya ingin menjadikan itu sebagai strategi untuk mengalahkan Pak Ahok,” jelas Eep. Ia juga mengulangi di akhir pidatonya, “Secara pribadi, saya ingin menjadikan hal itu sebagai strategi untuk mengalahkan Pak Ahok,” jelas Eep S. Fatah, sebagaimana video yang beredar luas di Youtube.
Dosa Politisasi Masjid
Dari strategi politiknya, terasa jelas bagaimana lingkaran politik Anies-Sandi menggunakan masjid sebagai kendaraan politik. Konten-konten khotbah Jum’at menjadi amunisi untuk menyebar kebencian, mendiskreditkan pasangan tertentu, dan prasangka lintas agama. Aura masjid di DKI Jakarta—terutama menjelang Pilkada—semakin panas dan mengerikan.
Memang, masih ada beberapa masjid yang sejuk dengan khotbah santun. Akan tetapi, kita akan merasakan perubahan nuansa masjid-masjid di DKI Jakarta pada enam bulan terakhir, dengan kampanye politik yang demikian massif.
Jika warga terbelah, konflik meruncing dan permusuhan terjadi dari masjid, Anies-Sandi dan lingkaran politiknya ikut menanggung dosa. Jika strategi politik masjid ini menjadi kampanye andalan Anies-Sandi, dari nasihat tim politiknya, tentu saja mereka sesunggungnya penista agama!
Eep S Fatah, harusnya mengingat, bahwa konteks politik DKI Jakarta dan Al-Jazair berbeda. Strategi politik FIS digunakan untuk melawan penguasa politik yang solid, dengan dukungan militer. FIS menggunakan masjid untuk konsolidasi. Namun, yang terjadi di Jakarta berbeda, masjid-masjid telah menjadi arena pertarungan politik kebencian. Inilah politik mengerikan yang tega menggunakan masjid sebagai kendaraan politik. Anies-Sandi yang mengambil untung dari situasi ini,harusnya sadar betapa mereka sesungguhnya penista agama! (*)
(Detik-News/Kumparan/Gerilya-Politik/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email