Dalam beberapa kesempatan Redaksi Islam Indonesia mendapat pertanyaan seputar hadis 73 golongan (firqoh) dalam Islam. Berbagai pihak itu menghimbau Islam Indonesia memberikan kajian kritis atas matan dan sanad hadis tersebut. Di antara para penanya adalah ayah dari putri yang masih belajar di tingkat sekolah dasar di salah satu sekolah Islam di bilangan Jakarta Selatan. Ayah itu mengeluhkan tentang putrinya yang, alih-alih belajar kasih sayang dan penghormatan terhadap sesama umat Islam atau sesama manusia secara umum, malah mulai belajar mencurigai, mewaspadai, membenci dan menjauhi golongan-golongan Islam lain — kecuali satu golongan. Dasar yang disampaikannya adalah hadis 73 golongan yang sering disampaikan gurunya di kelas.
Selain itu, hadis 73 golongan ini telah menjadi hadis favorit dan pegangan utama paham takfiri dan ideologi-ideologi ekstremis lain untuk mengobarkan kebencian di antara sesama Muslim. Berdasarkan hadis ini pula mereka mengkafirkan dan memerangi golongan-golongan Islam yang berbeda pemahaman. Singkatnya, hadis ini praktis telah menjadi sumber perpecahan, ekstremisme, pengkafiran dan munculnya ideologi-ideologi eksklusif yang merasa benar sendiri dan akhirnya ingin menafikan semua golongan lain selain golongannya sendiri.
Untuk itu, Redaksi Islam Indonesia merasa perlu memaparkan kajian kritis seputar hadis 73 golongan ini. Dan sebagaimana lazimnya studi kritis hadis, ada dua aspek penting yang akan menjadi sorotan di sini, yakni aspek kesahihan matan (teks) dan aspek kesahihan sanad. Studi atas aspek matan akan menyoroti kesesuaiannya dengan Al-Qur’an dan berbagai prinsip akidah lain, sementara aspek kesahihan sanad akan menyoroti dan menimbang kredibilitas para perawi dan pembawa hadis ini. Demikian semoga kajian ini dapat memberi pemahaman yang lebih tepat ihwal Islam. Yang lebih penting lagi, kritik ini semoga dapat menghilangkan kebencian dan permusuhan di dalam internal umat yang merupakan bahaya serius bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
DARI ENAM AHLI hadis paling terkenal, hadis 73 golongan dalam Islam dicatat oleh tiga muhadis, yaitu Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah dan Imam Turmudzi. Sedangkan tiga muhadis lain, yang lebih tinggi integritas dan kredibilitasnya, yaitu Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Al-Nasa’i, tidak mencantumkan ‘hadis 73 golongan’ itu dalam kitab-kitab hadis yang mereka susun.
Selain tiga dari enam ahli hadis yang mengumpulkan Enam Kitab Hadis (Kutubusittah) paling utama, ada beberapa ahli hadis yang meriwayatkan hadis ini. Sebut saja, misalnya, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ath-Thabrani, Imam Ad-Darimi dan lainnya. Namun, kajian kita hanya terbatas pada ‘hadis 73 golongan’ yang ada di dalam Kutubussittah yang diakui sebagai paling kredibel dan paling utama.
Untuk itu, marilah kita perhatikan beberapa redaksi hadis 73 golongan yang terkenal berikut ini:
Hadis 1
Abu Hurairah berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Yahudi terbagi atas tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan. Sedangkan Nasrani terbagi atas tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan. Dan umatku kelak terbagi atas tujuh puluh tiga golongan.'” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Turmudzi).
Hadis 2
‘Auf bin Malik berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Yahudi terbagi atas tujuh puluh satu golongan, satu di dalam surga dan tujuh puluh lainnya di dalam neraka. Nasrani terbagi atas tujuh puluh dua golongan, tujuh puluh satu golongan di dalam neraka, dan satu golongan di dalam surga. Dan demi Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya umatku kelak terbagi atas tujuh puluh tiga kelompok. Seorang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah mereka? Rasulullah menjawab, ‘Al-Jama’ah.'” (HR. Ibnu Majah).
Hadis 3
Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya Bani Israil terbagi atas tujuh puluh satu golongan. Dan sesungguhnya umatku kelak terbagi atas tujuh puluh dua golongan. Semuanya di dalam neraka kecuali satu golongan saja, yaitu Al-Jama’ah.'” (HR. Ibnu Majah).
Hadis 4
‘Abdullah bin ‘Amr berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘… dan sesungguhnya Bani Israil terbagi atas tujuh puluh dua aliran. Sedangkan umatku kelak terbagi atas tujuh puluh tiga aliran. Semuanya di dalam neraka, kecuali satu aliran. Mereka bertanya, ‘Siapakah mereka, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang ada padaku dan sahabat-sahabatku.'” (HR. Turmudzi).
Pembahasan Matan Hadis
Dari hasil penelusuran tim Islam Indonesia, kami mendapati perbedaan redaksi hadis nomor 1 di atas. Hadis ini berasal dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah yang kemudian disandarkan kepada Abu Salamah dari Abu Hurairah r.a. Artinya, Abu Hurairah sebagai sahabat Nabi Muhammad saw tidak menyampaikan hadis ini kepada siapa pun selain Abu Salamah. Abu Salamah juga tidak menyampaikan hadis tersebut kepada siapa pun selain Muhammad bin ‘Amr. Jadi, hadis ini hanya bersumber kepada Muhammad bin ‘Amr. Adapun catatan tentang sosok Muhammad bin ‘Amr akan disajikan pada bagian pembahasan sanad.
Anehnya, hadis yang berasal dari Muhammad bin ‘Amr ini memiliki redaksi yang berbeda-beda dalam beberapa kitab. Misalnya, redaksi hadis dari Muhammad bin ‘Amr di kitab hadis Imam Abu Dawud berbeda dengan redaksi hadis dari Muhammad bin ‘Amr di kitab hadis Imam Ibnu Majah dan Imam Turmudzi. Kesamaan hanya terdapat pada kalimat akhir. Perhatikan hasil scan kitab masing-masing imam hadis tersebut:
Sunan Abu Dawud juz 7 hadis nomor 4596.
Sunan Ibnu Majah juz 5 hadis 3991.
Sunan Turmudzi juz 4 hadis nomor 2640.
Fakta ini mengindikasikan bahwa periwayatan hadis nomor 1 di atas tidak melalui catatan tertulis melainkan hanya melalui hafalan. Dan periwayatan hadis melalui hafalan membuka lebar kemungkinan distorsi teks yang menyebabkannya sulit diterima oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Selain itu, hadis nomor 1 di atas hanya menyebutkan perpecahan umat Yahudi menjadi 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan dan umat Nabi saw menjadi 73 golongan. Dengan kata lain, hadis yang disandarkan kepada Abu Hurairah r.a ini tidak menyebutkan ‘semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja.’
Lain halnya dengan riwayat hadis nomor 2, 3, dan 4 di atas. Hadis-hadis tersebut menyebutkan bahwa seluruh umat Rasulullah saw kelak masuk neraka, kecuali satu golongan saja. Jelas hadis-hadis tersebut bertentangan dengan riwayat hadis nomor 1 yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan Turmudzi.
Marilah kita mulai pembahasan seputar hadis nomor 1. Dari sisi redaksi, hadis tersebut bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai berikut.
Pertama, sekalipun Allah menyatakan dalam surah Al-Maidah ihwal perselisihan di kalangan umat Yahudi (QS. Al-Maidah [5]: 64) dan Nasrani (QS. Al-Maidah [5]: 14) namun Allah sama sekali tidak menyebutkan adanya perselisihan di antara umat Islam di dalam Al-Qur’an. Bahkan, Allah menegaskan tentang persatuan dan persaudaraan di antara mereka. Misalnya, Allah berfirman dalam surah Al-Hujurat (QS. Al-Hujurat [49]: 10) yang menegaskan kaum beriman itu bersaudara dan wajib untuk mendamaikan perselisihan di antara mereka.
Kedua, sekalipun ada perselisihan di dalam internal umat Yahudi dan Nasrani, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka telah menjadi 71 atau 72 golongan di masa Rasul maupun masa-masa setelahnya. Boleh jadi perpecahan umat Yahudi maupun Nasrani lebih banyak dari angka yang disebutkan atau lebih sedikit. Tidak ada survey yang meyakinkan tentang perpecahan kedua umat tersebut sesuai dengan angka yang konon disabdakan oleh Rasulullah di atas. Pertanyaannya, mungkinkah Rasulullah salah? Atau yang lebih mungkin, hadis ini yang lemah dan tidak bersumber dari lisan suci beliau?
Ketiga, Allah Swt telah menjadikan umat Islam sebagai umat yang satu, umat yang terbaik dan seterusnya. Bagaimana bisa umat yang terbaik menjadi terpecah belah lebih banyak dari umat Yahudi dan Nasrani?
Mari kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini:
Ayat 1:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143).
Ayat 2:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 110).
Ayat 3:
“Sesungguhnya ini umat kalian umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 92).
Ayat 4:
“Sesungguhnya ini umat kalian umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 52).
Ayat 5:
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 213).
Kesimpulan ayat-ayat di atas menegaskan dua hal yang jelas bertolak belakang dengan teks hadis-hadis di atas: Pertama, bahwa umat Rasulullah adalah umat yang satu; Kedua, bahwa umat beliau adalah umat yang terbaik, yang menjadi saksi bagi umat-umat lain. Nah, bagaimana mungkin kita dapat menerima hadis yang lemah yang bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang sharih, lugas dan tegas seperti ayat-ayat di atas? Jawabnya tentu tidaklah mungkin.[]
Pada kajian hadis 73 golongan sebelumnya diatas telah disebutkan bahwa perpecahan umat Islam sebagaimana termaktub dalam hadis 1 sudah bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Apalagi tambahan kalimat ‘semuanya masuk neraka kecuali satu golongan’ sebagaimana termaktub dalam hadis 2, 3, dan 4.
Selain bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran, tambahan kalimat ‘semua masuk neraka kecuali satu’ juga bertentangan dengan hadis shahih riwayat Imam Bukhari sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Setiap umatku akan masuk ke dalam surga, kecuali bagi yang menolak (masuk surga).” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang menolak (masuk surga)?” Rasulullah saw menjawab, “Siapa saja yang menaatiku akan masuk surga; dan siapa saja yang tidak menaatiku, berarti dia menolak (masuk surga).”
Selain itu, sejarawan Muslim abad 4 hijrah, Syekh Muhammad bin Ahmad al-Maqdisi (336 H/947 M – 380 H/990 M) di dalam kitabnya, Ahsan al-Taqâsîm fî Ma’rifah al-Aqâlîm, mengungkapkan bahwa di masanya ada riwayat lain yang berbunyi, “Umatku akan terbagi menjadi tujuh puluh tiga golongan; tujuh puluh dua di dalam surga dan satu di dalam neraka.” Menurut al-Maqdisi, riwayat tersebut lebih sahih dari segi sanad ketimbang riwayat ‘tujuh puluh dua masuk neraka dan hanya satu masuk surga’ yang sayangnya lebih terkenal.
Senada dengan itu, Syekh Muhammad Abduh (w. 1905) – penulis tafsir al-Manar juga mendukung pernyataan al-Maqdisi seraya berkata, “Di antara yang membahagiakan saya adalah hadis lain yang berbunyi ‘bahwa yang celaka adalah yang satu.’”
Sekarang marilah kita perhatikan kritik para ulama yang menyoal adanya kalimat tambahan ‘semuanya masuk neraka kecuali satu golongan’.
Kritik Ulama atas Kalimat Tambahan
Imam Ibnu Hazm al-Andalusi (w. 456 H), penulis buku kajian agama-agama dan aliran-alirannya berjudul al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal, menolak kesahihan hadis 73 golongan dalam Islam. Ibnu Hazm berdalil bahwa hadis tersebut tidaklah sahih dari sisi sanad dan hadisnya termasuk ke dalam hadis ahad. Ulama kelahiran 384 H ini juga mempersoalkan orang-orang yang menggunakan hadis ahad itu sebagai dalil.
Lebih lanjut, Imam Ibnu Hazm menyitir bahwa salah satu implikasi dari hadis perpecahan umat menjadi 73 golongan itu adalah tiap golongan akan mengkafirkan yang lain. Padahal, Rasulullah saw sudah mewanti-wanti umatnya untuk tidak saling mengkafirkan. Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa yang memanggil saudaranya ‘hai kafir’, maka salah satu dari keduanya adalah kafir.’
Imam Muhammad bin Ibrahim al-Wazir al-Hasani (w. 840 H) dalam bukunya, al-‘Awâshim wa al-Qawâshim, menganggap kalimat ‘semuanya di dalam neraka’ adalah penambahan yang merusak dan tidak benar. Bahkan dianggap sebagai bagian dari plot orang-orang ateis.
Imam as-Syaukani (w. 1250 H), penulis kitab tafsir Fath al-Qadîr, juga senada dalam penolakannya terhadap hadis yang mengandung kalimat tambahan ‘semuanya di dalam neraka, kecuali satu.’ Menurutnya, kalimat tambahan tersebut tidaklah sahih, bukan marfu’ dan bukan pula mauquf. Dengan demikian Imam as-Syaukani menegaskan bahwa hadis tersebut dha’if (lemah) secara sanad.
Syekh Yusuf al-Qardhawi adalah di antara ulama kontemporer yang menolak hadis 73 golongan dalam Islam. Berikut ini kami kutipkan beberapa argumen ulama kelahiran Mesir ini:
? Hadis 73 golongan dalam Islam tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Seandainya mereka tidak mengkategorikan hadis ini sebagai hadis palsu, maka setidaknya hadis tersebut tidak memenuhi standar periwayatan hadis Bukhari dan Muslim.
? Sesungguhnya sebagian riwayat hadis tidak menyebutkan ‘semua golongan masuk neraka, kecuali satu’. Sebagian riwayat tersebut hanyalah menyebutkan perpecahan umat dan jumlah golongannya saja. Sebagian riwayat tersebut adalah berasal dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim.
? Redaksi hadis 73 golongan dalam Islam memiliki masalah. Ketika Allah swt menjadikan umat Islam sebagai umat wasatha,saksi bagi manusia dan umat terbaik, hadis ini justru memperburuk citra Islam. Dari segi jumlah golongan, menurut hadis ini, umat Islam lebih banyak terpecah golongannya dari umat Yahudi dan Nasrani.
? Sekalipun al-Turmudzi menyebut hadis tersebut sebagai ‘Hasan Shahih’ dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim, namun sumber hadis tersebut hanya dari jalur Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah bin Waqqash al-Laytsi. Bagi yang membaca biografinya di dalam Tahdzîb Al-Tahdzîb akan mengetahui bahwa perawi ini adalah seorang teolog sebelum menjadi penghafal hadis. Sesungguhnya tidak seorang pun menganggapnya tsiqah. Oleh karena itu, al-Hafidz (al-‘Asqalani) tidak lebih dari menyatakan bahwa Muhammad bin ‘Amr adalah seorang yang jujur namun banyak salah. Kejujuran dalam posisi ini tidak cukup tanpa diiringi sifat kuat hafalan (dhabith). Maka bagaimana halnya dengan seorang yang banyak salah.
Pembahasan Sanad Hadis
Hadis 1
Sebagaimana telah dijanjikan sebelumnya, maka pembahasan kali ini kita juga akan menyinggung sosok Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah. Berikut ini adalah yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam bukunya, Tahdzîb al-Tahdzîb tentang Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah:
? Ali bin al-Madini mengutip Yahya bin Sa’id tentang Muhammad bin ‘Amr, “Dia bukanlah seorang yang Anda inginkan.”
? Ishaq bin Hakim mengutip Yahya al-Qatthan, “Muhammad bin ‘Amr adalah seorang yang baik, namun dia bukanlah seorang yang hafal di bidang hadis.”
? Ibnu Khaitsamah berkata, “Ibnu Ma’in ditanya perihal Muhammad bin ‘Amr. Dia berkata, ‘Orang-orang selalu berhati-hati dengan hadis darinya.’ Lalu ditanya kembali, ‘Apa penyebabnya?’ Ibnu Ma’in menjawab, ‘Dia meriwayatkan hadis sesekali dari Abu Salamah sesuatu yang berasal dari pendapatnya, kemudian dia meriwayatkan hadis di waktu yang lain dari Abu Salamah dari Abu Hurairah.”
? Al-Jurjani berkata, “Dia bukanlah seorang yang kuat dalam bidang hadis. Hadisnya berasal dari keinginannya.”
? Abu Hatim berkata, “Hadisnya baik, hadisnya dicatat dan dia seorang yang tua.”
? Al-Nasa’i berkata, “Dia tidak masalah.” Lain waktu al-Nasa’i menyatakan, “Tsiqah.”
? Ibnu Hibban berkata, “Suka melakukan kesalahan.”
? Ibnu Sa’ad berkata, “Banyak hadisnya yang dianggap lemah.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal terkait sosok Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah. Pertama, Muhammad bin ‘Amr bukanlah penghafal di bidang hadis. Kedua, Muhammad bin ‘Amr suka menyandarkan pendapatnya sendiri atas Abu Salamah dan Abu Hurairah. Ketiga, dia seorang yang suka melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis, sehingga hadis-hadisnya dianggap lemah.
Catatan 1: Imam al-Nasa’i menganggapnya tidak masalah dan lain waktu dia menganggapnya tsiqah, namun mengapa Imam al-Nasa’i sendiri tidak meriwayatkan hadis 73 golongan dalam Islam seperti tiga ulama hadis lainnya belum terjawab. Barangkali al-Nasa’i beranggapan matan hadis itu yang bermasalah, dan bukan sanadnya.
Catatan 2: Jika Abu Hatim menyebutkan bahwa Muhammad bin ‘Amr mencatat hadisnya, mengapa ‘hadis 73 golongan dalam Islam’ yang berasal darinya dan diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah dan Imam Turmudzi memiliki perbedaan redaksi? Terlebih lagi, dalam kaitan dengan tambahan kalimat ‘semuanya masuk neraka kecuali satu’ hampir semua ahli hadis sepakat tambahan tersebut merusak dan tidak sahih.[]
Setelah membincangkan salah satu perawi hadis 73 golongan, yakni Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah, saatnya kita membincangkan tokoh-tokoh lain yang ikut meriwayatkan hadis 2, 3, dan 4 yang telah tertera sebelumnya.
Selain hadis yang disandarkan kepada Abu Hurairah r.a, Imam Ibnu Majah juga menuliskan dua hadis lain yang disandarkan kepada Anas bin Malik r.a (hadis 2) dan ‘Auf bin Malik (hadis 3). Sedangkan Imam al-Turmudzi menuliskan satu buah hadis lain yang disandarkan kepada ‘Abdullah bin ‘Amr r.a (hadis 4). Lihat terjemah bahasa Indonesianya pada kajian pertama.
Pembahasan Sanad Hadis
Hadis 2:
Sunan Ibnu Majah Hadis 3992;
Hadis di atas diriwayatkan oleh ‘Amr bin ‘Utsman al-Himshi, dari ‘Abbad bin Yusuf, dari Shafwan bin ‘Amr, dari Rasyid bin Sa’d, dari ‘Auf bin Malik …
Hadis yang mengandung kalimat tambahan ‘semua masuk neraka kecuali satu’ ini dicatat oleh Imam Ibnu Majah berasal dari ‘Abbad bin Yusuf al-Himshi dan Shafwan bin ‘Amr. Seraya mengutip hadis ini, Imam Al-Dzahabi, pakar ilmu hadis abad 8 Hijriah, menyebutkan bahwa Imam Ibnu Majah tidak menukil riwayat dari ‘Abbad bin Yusuf selain hadis tersebut.
Ibnu ‘Uday (w. 365 H) menggolongkan ‘Abbad bin Yusuf sebagai salah satu perawi dhaif di dalam kitabnya, al-Kâmil fî Dhu’afâ’ al-Rijâl. Ibnu ‘Uday menyatakan, “‘Abbad bin Yusuf ini meriwayatkan dari penduduk Syam. Dan dia sendiri dari Syam wilayah Homs. (‘Abbad bin Yusuf) meriwayatkan hadis-hadis unik tanpa dikenali oleh para perawi lain (yanfaridu bihâ) dari Shafwan bin ‘Amr dan selainnya.”
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani menggolongkan ‘Abbad bin Yusuf sebagai orang yang diterima. Namun, karena dia tidak pernah meriwayatkan hadis lain dari Shafwan bin ‘Amr selain hadis 73 golongan dengan tambahan ‘semuanya di neraka kecuali satu’, maka hadis ini pun harus dianggap munkar (tidak diterima). Jadi, hadis riwayat ‘Abbad ini memiliki keunikan sekaligus kelemahan.
Kejanggalan lainnya adalah adanya kontradiksi saat dibenturkan dengan sanad Shafwan bin ‘Amr yang lain. Para perawi tsiqah lain yang meriwayatkan dari Shafwan bin ‘Amr justru meriwayatkan hadis dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan bukan dari ‘Auf bin Malik.
Jadi, hadis ini mengandung tiga kelemahan. Pertama, salah satu perawinya lemah; kedua, riwayat ‘Abbad bin Yusuf ini hanya satu-satunya dalam kumpulan hadis yang dicatat Ibnu Majah; dan ketiga, terdapat perbedaan dengan jalur periwayatan lain.
Hadis 3:
Sunan Ibnu Majah Hadis 3993;
Hadis di atas diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Ammar, menyampaikan kepada kami al-Walid bin Muslim, menyampaikan kepada kami Abu ‘Ammar, menyampaikan kepada kami Qatadah, dari Anas bin Malik …
Di antara perawi hadis ini adalah Hisyam bin ‘Ammar. Abu Hatim menilainya sebagai orang yang jujur, namun setelah berusia tua, Hisyam bin ‘Ammar berubah. Muhammad bin Ahmad al-Ashbahani mengutip pernyataan Ibnu Warah yang mengatakan bahwa Hisyam bin ‘Ammar pernah menjual hadis.
Selain itu, ada perawi bernama al-Walid bin Muslim yang dikenal sebagai penipu atau penyeleweng hadis. Di sini tidak disebutkan Qatadah mendengar langsung dari Anas bin Malik r.a, padahal di antara Qatadah dan Anas bin Malik r.a terdapat satu perawi yang dhaif. Sementara Qatadah juga terkenal sebagai penyeleweng hadis (mudallis).
Sesungguhnya hadis di atas yang disandarkan kepada Anas bin Malik r.a memiliki dua sanad lain yang diriwayatkan oleh al-Awza’i dari Yazid al-Riqasyi. Perbedaannya dengan hadis yang berasal dari Qatadah adalah Yazid al-Riqasyi mendengar langsung dari Anas bin Malik r.a. Tujuan kami menyebutkan hal ini adalah untuk membuktikan adanya dua kemungkinan penyelewengan hadis.
Kemungkinan pertama, Hisyam bin ‘Ammar teledor dalam meriwayatkan hadis dari gurunya, al-Walid bin Muslim, dari al-Awza’i, kemudian menjadikannya dari Qatadah, padahal hadis ini berasal dari Yazid al-Riqasyi.
Kemungkinan kedua, al-Walid bin Muslim meriwayatkan hadis ini dari al-Awza’i, dari Qatadah dari al-Riqasyi, kemudian membuang al-Riqasyi dari rangkaian sanad hadis. Setelah itu terjadilah pembajakan hadis ini.
Pertanyaannya adalah, mengapa al-Riqasyi sengaja dihilangkan oleh al-Walid bin Muslim dari sanad tersebut? Kemungkinan karena al-Riqasyi dianggap lemah oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Imam ad-Daruquthni berkata, “Al-Walid bin Muslim memotong sanad hadis-hadis al-Awza’i karena al-Awza’i meriwayatkan hadis dari guru-guru yang daif, seperti Nafi’, az-Zuhri dan ‘Atha’. Kemudian al-Walid bin Muslim membuang mereka dan menjadikannya seolah dari al-Awza’i.”
Dua kemungkinan tersebut dikuatkan oleh premis berikut ini. Hisyam bin ‘Ammar dari al-Walid bin Muslim dari al-Awza’i adalah rangkaian sanad Syam. Sedangkan Qatadah dari Anas adalah sanad Iraq wilayah Bashrah.
Hadis 4:
Sunan Turmudzi Hadis 2641;
Hadis di atas diriwayatkan oleh Mahmud bin Ghaylan, dia berkata, menyampaikan kepada kami Abu Dawud al-Hafriy, dari Sufyan al-Tsauri, dari ‘Abdurrahman bin Ziyad al-Afriqi, dari ‘Abdullah bin Yazid, dari ‘Abdullah bin ‘Amr…
Imam al-Turmudzi setelah mencatat hadis di atas secara jujur menyebutkan bahwa hadis ini aneh dan model hadis seperti ini tidak dikenal olehnya selain ini.
Dalam rangkaian sanad hadis terdapat seseorang bernama ‘Abdurrahman bin Ziyad al-Afriqi. Para ulama hadis menggolongkannya sangat daif. Ibnu Hibban menyatakan bahwa ‘Abdurrahman bin Ziyad al-Afriqi meriwayatkan hadis-hadis palsu dengan menyandarkan kepada orang-orang yang tsiqah. Sementara Ibnu ‘Uday al-Jurjani menyatakan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan al-Afriqi tidak memiliki tautan hadis lain.
Lebih jauh lagi Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa hadis di atas tergolong munkar. Al-Qaththan juga menilai demikian: al-Afriqi adalah seorang yang daif mengingat banyak riwayatnya yang munkar dan orang ini mengecoh orang-orang shalih.
Al-Hakim setelah meriwayatkan hadis serupa menyatakan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan hujah/dalil.[]
Hadis 73 golongan dalam Islam telah menjadi perbincangan kontroversial selama berabad-abad. Dan selama berabad-abad itu pula hadis ini telah disalahgunakan oleh berbagai kalangan untuk memecah persatuan dan kesatuan umat Islam di pelbagai belahan dunia.
Hal ini dapat dilihat dengan maraknya pengkafiran dan penyesatan antar golongan dalam Islam. Masing-masing golongan menganggap dirinya lah satu-satunya yang selamat dan masuk surga. Padahal, sebagaimana telah dibuktikan pada kajian sebelumnya, matan hadis tersebut bertentangan dengan sejumlah ayat Al-Qur’an dan hadis shahih riwayat Imam Bukhori yang menyatakan bahwa semua masuk surga kecuali yang menolaknya. Ditambah lagi sanadnya daif dan munkar.
Sekalipun hadis ini dianggap sahih oleh sebagian orang, namun harus dipahami bahwa teks hadis itu secara harfiah menyebutkan bahwa kesemua 73 golongan itu adalah umatnya (baca: ummati), yaitu umat Islam. Maka, sungguh tidak layak dan mencerminkan kecongkakan bila salah satu golongan umat ini menganggap yang lain keluar dari umat Rasulullah Saw. Tidak ada hak bagi satu golongan menganggap golongan lain masuk neraka.
Setidaknya, kita patut mengingat sejumlah hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah kerap menyebut ummati, yang tentunya menegaskan kasih sayang beliau kepada seluruh umat ini secara mutlak, tanpa membedakan satu aliran atas aliran yang lain.
Dalam suatu hadis sahih disebutkan bahwa ketika Nabi selesai membaca surat Ibrahim ayat 36 dan surat al-Maidah ayat 118, Nabi mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan :
“ Ya Allah, umatku, umatku..dan Nabi menangis. Maka Allah berkata, ‘Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad – Dan Tuhanmu Maha Mengetahui – dan tanyakan padanya apa yang menyebabkannya menangis ?’ Maka Jibril mendatanginya dan menanyakannya. Lalu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan apa yang telah diceritakan. Maka Allah menjawab: ‘Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad dan katakanlah, ‘Sesungguhnya Kami akan membuatmu ridha dalam urusan umatmu, dan tidak akan berbuat buruk pada umatmu'”. (HR. Muslim)
Perbedaan pendapat di antara umat Islam tidak bisa dijadikan alasan untuk mengeluarkan suatu golongan, aliran atau sekte dari Islam. Islam sebagai satu umat yang agung menghargai adanya perbedaan pendapat selama itu berpijak pada sumber-sumber dan argumen-argumen yang benar. Mungkin itu pula mengapa Rasulullah selalu menyebut mereka dengan umat, yang mengisyaratkan makna kesatuan yang utuh.
Ala kulli hal, umat Islam di Indonesia dengan nilai-nilai agung yang termaktub dalam Al-Qur’an dan ideologi Pancasila harus menjadi perekat keutuhan, dan bukan malah menjadi sumber pemecah belah bangsa dengan dalih hadis 73 golongan yang telah kita kritisi maupun dalih-dalih lemah lain. Apalagi, sebagaimana yang telah dibuktikan dalam beberapa kajian lalu, hadis itu dalam berbagai versi redaksinya bertentangan dengan Al-Qur’an dan memiliki sanad yang lemah bahkan munkar (tertolak).
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email