Oleh: Alifurrahman
Terungkapnya kelompok SARACEN, kelompok buzzer sekaligus pembuat konten SARA bertarif puluhan juta rupiah, saya jadi teringat dengan beberapa tulisan lama. Tentang pengalaman ditawari 5 juta rupiah per artikel untuk menyerang dan menyudutkan salah seorang politisi.
Saya juga jadi teringat dengan salah seorang teman maya, yang dulu sama-sama diundang ke Istana Presiden, namun sekarang tiada hari tanpa memfitnah dan memutar balikkan fakta serta data-data.
Awalnya saya sangat kaget dengan perubahan drastis si teman ini. Kenapa orang yang dulu ikut berjuang mati-matian mendukung Jokowi, kemudian berbalik arah menjelek-jelekkan tanpa data yang valid? Belakangan saya mendengar kabar dia dibayar bulanan oleh “tim sebelah.”
Bagi kita, mungkin nominal bayaran sejuta dua juta dalam sebulan bukanlah angka besar. Tapi bagi sebagian orang, itu sangat berarti untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Dan teman yang kini menjadi haters akut Jokowi itu sepertinya benar-benar menikmati bayaran dari “tim sebelah.”
Secara hitung-hitungan ekonomi, mendukung Jokowi memang kurang menguntungkan. Jokowi sudah menjadi Presiden Indonesia, apa pun yang dilakukannya berpotensi viral dan diberitakan di semua media. Kerja keras atas kebijakan serta sikap-sikapnya selalu menjadi pusat perhatian. Bahkan Presiden nge-vlog dengan kambing saja sudah bisa trending di Youtube. Kalau sudah begini, untuk apa Jokowi membentuk tim sosial media atau membayarnya secara reguler? Toh media mau memberitakannya secara gratis sepanjang 5 tahun pemerintahannya.
Berbanding terbalik dengan lawan-lawan Jokowi atau katakanlah dari koalisi mabuk mayat dan ayat permanen. Mereka jarang sekali mendapat slot berita. Kalaupun mereka melakukan kegiatan, belum tentu ada yang mau meliputnya. Kenapa begitu? Sebab mereka tidak penting dan bukan siapa-siapa, jadi buat apa diliput?
Jika pun lawan politik Jokowi ingin mengkritik atau membuat pernyataan, itu juga sulit dilakukan. Karena media juga tidak akan terus menerus menampung kritik-kritik tidak jelas dan tidak berdasar. Apalagi yang data-datanya salah. Media juga pikir-pikir untuk menayangkannya sekalipun misalnya dijanjikan bayaran puluhan juta rupiah.
Kalaupun mau diliput, harus buat sensasi dulu. Contoh saja, Prabowo bertemu SBY. Prabowo sebut Presidential Threshold 20% sebagai lelucon. Berita seperti ini laku di media. Sekalipun di satu sisi menunjukkan betapa lucunya seorang Prabowo karena sebenarnya dia sudah dua kali meramaikan Pilpres di Indonesia menggunakan Presidential Threshold 20%.
Dengan kondisi politisi pecundang yang kalah Pilpres dan tak mau terima kekalahan sampai sekarang, pada kesimpulannya mereka tidak bisa terus menerus mengeluarkan pernyataan absurd dan bodoh seperti menyebut Presidential Threshold adalah lelucon. Mereka juga tidak bisa terus menerus memutar balikkan data-data, karena kalaupun masyarakat Indonesia jadi ingat dan membicarakan, namun elektabilitasnya bakal menurun. Sehingga digunakanlah pihak ketiga untuk menyalurkan kepentingan politiknya, mengatas namakan rakyat, mengatasnamakan ummat Islam. Belakangan kita tahu nama kelompok mereka adalah SARACEN.
Efek SARACEN
Menurut analisis saya, salah satu efek kongkrit dari SARACEN adalah terbentuknya isu-isu yang begitu terstruktur, sistematis dan massif namun tidak masuk akal. Contohnya adalah kebangkitan PKI.
Berkali-kali kita dihadapakan dengan isu Pilpres 2014 ini. jokowi diidentikkan dengan PKI, difitnah anak PKI, bahkan Jonru juga ikut dalam permainan isu ini dengan meragukan bahwa Sujiatmi Notomihardjo adalah ibu kandung Jokowi.
Padahal kenyataannya, mana ada PKI? Klaim bahwa jutaan orang sudah menjadi kader PKI hanyalah isu yang terbentuk secara terstruktur, sistematis dan massif oleh akun-akun sosial media tuyul, yang diterima dan disebar luaskan oleh kelompok pendukung pecundang yang kalah di Pilpres 2014.
Massifnya isu PKI yang sengaja dibuat ini rupanya berhasil membuat resah warga dan pemerintah. Seolah-olah kita memang sedang berhadap-hadapan dengan PKI. Dan saat tim komunikasi Presiden tak mampu membendung atau mengimbangi isu yang berkembang di sosial media –mungkin karena Presiden juga enggan menganggarkan dana khusus- maka Presiden Jokowi langsung mengatakan kemarahannya secara terbuka “dalam tap MPR sudah jelas dilarang, jadi kalau ada PKI, tolong kasih tau saya, kita gebuk!”
Jujur, berkali-kali saya tertawa miris jika mengingat kejadian tersebut. bagaimana bisa, sebuah nama kelompok yang sudah mati berpuluh tahun lalu bisa dibangkitkan dan dijadikan bahan untuk menakut-nakuti masyarakat?
Tapi kalau melihat adanya kelompok SARACEN, dan kelompok pendukung pecundang yang kalah di Pilpres 2014 dan gagal move on, kita jadi paham bahwa sebenarnya terjadi supply and demand dalam hal produksi konten hoax dan propaganda. Konten hoax dari SARACEN berhasil memenuhi kebutuhan politik kelompok oposisi, serta dapat dikonsumsi oleh rakyat jelata yang terlanjur benci Jokowi karena tokoh pilihannya di Pilpres 2014 lalu kalah telak.
SARACEN tim Prabowo?
Salah seorang tim SARACEN yang diciduk polisi adalah Sri Rahayu Ningsih (Nysasmita). Jika melihat akun facebooknya, saya mendapatkan beberapa foto SRN yang mengarah kepada Gerindra. SRN hadir di deklarasi relawan Anies Sandi, hadir di posko Kang Tatang untuk bakal calon Gubernur Jabar dan juga berfoto ria di DPC Gerindra Cianjur.
Terus terang ini unik dan mengubah pandangan saya terhadap SARACEN. Yang semula saya pikir kelompok buzzer yang hanya mencari uang demi makan, tapi sepertinya mereka adalah kolompok pasukan politik. tentu tidak mudah bagi orang biasa yang tidak punya jaringan politik, bisa masuk foto-foto di kantor DPC, ikut dalam deklarasi dukungan Cagub Cawagub dari Gerindra.
Bagaimanapun sampai saat ini kita masih mencari tahu siapa saja klien SARACEN dalam pembentukan isu, hoax dan penghinaan. Tapi kalau melihat gambar-gambar yang saya capture dari akun SRN, sebenarnya menjadi mudah disimpulkan. Tetapi selama belum terbukti, kita masih akan terus bertanya-tanya apa hubungan Prabowo dan SARACEN? Begitulah kura-kura.
(Seword/suaraislam/Berbagai-Sumber-lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email