Oleh: Karen Armstrong
Aku tak pernah berniat untuk menjadi seorang sejarawan agama ataupun sebagai penulis lepas. Aku bermimpi untuk menjadi seorang profesor di universitas dan menghabiskan hidupku dengan mengajar kesusasteraan Inggris. Selama 13 tahun, segala pikiran tentang agama telah memenuhiku dengan rasa khawatir dan perasaan gagal. Aku memasuki biara pada usia 17, dan mengalami pergulatan batin selama tujuh tahun untuk menjadi seorang biarawati yang baik.
Ketika itu aku sama sekali tidak bisa berdoa. Padahal setiap pagi aku pergi ke kapel untuk memulai meditasiku. Aku harus berjuang mengatasi kebosanan, rasa kantuk, dan gangguan lain yang tiada habisnya. Surga terasa tertutup bagiku, dan Tuhan tampak jauh serta tidak nyata. Aku juga mulai memiliki keraguan besar terhadap beberapa ajaran gereja. Bagaimana mungkin orang-orang bisa tahu dengan pasti bahwa seorang lelaki bernama Yesus merupakan perwujudan Tuhan? Apa maksud kepercayaan semacam itu? Benarkah Tuhan yang menciptakan dunia ini? Ataukah manusia yang mulai menciptakan Tuhan? Akhirnya, dengan penuh penyesalan, aku meninggalkan biara dan—untuk sementara terbebas dari beban depresi, keraguan, dan rasa kekurangan ini—aku merasa kepercayaanku kepada Tuhan mulai menghilang perlahan-lahan.
Aku tidak merasa bahwa pengalamanku ini adalah sesuatu hal yang luar biasa. Sebagian besar dari kita telah mendengar mengenai Tuhan di saat yang sama kita mendengar tentang Sinterklas. Selama tahun demi tahun, ide kita mengenai Sinterklas berubah, berkembang, dan menjadi matang, sementara ide kita mengenai Tuhan tetap berada di level kanak-kanak. Pengetahuan kita tentang Tuhan tidak diijinkan untuk berkembang dengan cara yang sama. Namun bagiku, semuanya berubah ketika aku mulai menulis Sejarah Tuhan.
Aku menduga bahwa lembaran-lembaran ini tidak akan berbeda jauh dengan yang sebelumnya, yaitu sebuah lembaran skeptis yang akan menjelaskan konsep Tuhan yang telah sering dikemukakan oleh para teolog untuk menjawab kebingungan dan kebutuhan masa kini. Namun, kondisiku ketika itu benar-benar berbeda. Aku baru saja mengalami bencana besar dalam sejarah karirku: karirku di pertelevisian tidak berjalan lancar, teman-temanku menjauhiku, dan aku tinggal di sebuah tempat terpencil di London yang murah. Setiap hari aku sendirian—dan berada dalam kesunyian
Bagiku, teologi adalah puisi, dan kau tidak bisa membaca puisi yang rumit di dalam sebuah klub malam yang berisik. Kau membutuhkan pikiran yang tenang dan rasa penerimaan. Ditambah lagi, ketika itu tidak ada kru televisi yang menuntutku untuk menjadi cerdas dan provokatif. Hanya ada aku dan teks, dan secara bertahap, kata-kata itupun mulai mengalir.
Tiba-tiba saja aku menemukan bahwa aku sedang mempelajari banyak hal dari tradisi-tradisi agama di dunia. Dari Yudaisme aku belajar untuk tak pernah berhenti bertanya—tentang apapun!—dan berhenti membayangkan bahwa aku telah mencapai pemahaman akhir mengenai apa yang kuketahui tentang Tuhan. Mereka bahkan menolak untuk menyebutkan nama Tuhan, sebagai pengingat bahwa pengetahuan manusia kepada hal-hal yang bersifat ketuhanan sangat terbatas dan berpotensi kepada penghujatan.
Dari Kristen Ortodoks Rusia dan Eropa Timur aku belajar bahwa Yesus adalah manusia pertama yang pernah dirasuki oleh Tuhan—sama seperti Budha yang merupakan manusia pertama yang tercerahkan di sepanjang sejarah kita—dan kita semua bisa menjadi sepertinya, bahkan hingga saat ini. Kemudian dari Al Quran aku belajar bahwa agama mengajarkan keadilan, kasih sayang, dan menghargai apapun yang datang dari Tuhan.
Sambil terduduk di meja kerjaku, aku berpikir bahwa ada saat ketika aku merasa tersentuh begitu dalamnya, sehingga merasa terangkat sesaat dari diriku saat ini. Aku merasa telah menghuni perasaan kemanusiaanku lebih dari biasanya. Inikah Tuhan? Jika ya, apakah Tuhan itu? Namun kemudian aku teringat, jika aku berpikir bahwa aku akan dapat menemukan jawabannya, maka di saat itulah aku akan kehilangan seluruh intinya. Jadi, proses belajarku telah menjadi doaku.
Aneh rasanya, ketika aku harus mengakhiri pertanyaan-pertanyaanku dengan menyadari betapa sedikitnya pengetahuanku. Namun seperti itulah pengalaman manusia di dunia ini. Tak peduli seberapa banyak kita tahu, selalu ada sesuatu yang kabur dari diri kita. Jika kita bisa melepaskan hasrat untuk ingin mengetahui semuanya dan membiarkan semuanya tetap terkontrol—yang akan membawa kita pada kecemasan yang begitu besar—maka kita akan mengalami kebebasan yang luar biasa.
Dunia ini tidak lagi diperkecil untuk menempati alam pikiran kita yang sempit. Sebaliknya, kita justru melihat kemungkinan-kemungkinan segar dan misteri di balik semua hal dan semua orang di sekitar kita. Ketidaktahuan telah membangun diri kita.
Di awal abad ke-20, orang-orang berpikir bahwa hanya sedikit pertanyaan besar yang tersisa, karena pertanyaan-pertanyaan penting itu telah dijawab di abad ke-17 oleh Isaac Newton. Mereka merasa bahwa pengetahuan mereka tentang alam semesta ini telah lengkap, dan mereka telah memahami semua rahasia yang ada di jagad raya ini. Namun, kemudian Einstein hadir dengan fisika kuantumnya dan menyajikan alam semesta yang tidak terbatas dan tidak mampu dimengerti di hadapan kita. Meskipun demikian, kita tidak merasa frustasi, tapi justru menjadi sumber kebahagiaan. Seperti kata Einstein, pengalaman emosional terindah yang mampu dirasakan oleh manusia adalah pengalaman yang bersifat mistis, dan bahwa mengetahui hal-hal yang tidak bisa kita tembus benar-benar ada akan membawa kita kepada kearifan tertinggi dan keindahan yang tiada tara.
*Diterjemahkan dari pernyataannya di oprah.com
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email