Pesan Rahbar

Home » » Bangsa Celaka: Berebut Nasi Membuang Celana

Bangsa Celaka: Berebut Nasi Membuang Celana

Written By Unknown on Wednesday 2 August 2017 | 00:18:00


Kalau berkerumun dengan masyarakat, misalnya yang hadir 1000 orang, kalau di antara mereka ada 50 saja anak-anak, maka saya menyimpulkan bahwa fokus primer forum itu adalah yang 50 anak-anak. Yang 950 orang-orang dewasa bersama saya dan Kiai Kanjeng wajib mengabdi kepada yang dibutuhkan oleh anak-anak itu.

Wilayah pemikiran dan pembelajaran apa yang diinteraksikan, level metode kependidikan bagaimana yang diterapkan, lagu-lagu apa yang dibawakan, serta seluruh dimensi silaturahmi kerumunan itu, mengacu kepada yang terbaik bagi anak-anak yang hadir. Kalau pengabdian kepada anak-anak sudah maksimal, baru kami orang-orang dewasa dan kaum tua memperoleh haknya.

Maka sesudah mengawali acara dengan doa mempersambungkan antara semua yang hadir beserta lingkungan alam di sekitarnya kepada Tuhan, segera saya meminta anak-anak itu untuk naik panggung. Ada anak-anak pemberani yang langsung berdiri dan berjalan ke panggung. Ada yang harus dipacu-pacu dan dirangsang-rangsang untuk berani beranjak. Ada yang hatinya melompat ke “belakang” dan sangat lama untuk membuatnya berani atau mau berpartisipasi. Ada yang Ibu atau Bapaknya merayu-rayu, bahkan harus saya datangi, saya gendong dan bisiki sejumlah ucapan ke telinganya.

Seluruh proses melibatkan anak-anak itu menyerap perhatian semua hadirin dan menggelembungkan rasa kasih sayang dari dalam diri kaum dewasa dan tua itu dua kali lipat dibanding kalau fokus interaksinya adalah antara saya dengan mereka sendiri. Anak-anak yang tampil spontan biasanya antara kelas 2-6 SD atau 1-2 SMP. Tentu kami berkenalan, saya bertanya kepada sejumlah anak secara berurutan, dan setiap jawaban mereka selalu menggembirakan seluruh hadirin, karena selalu lucu, segar dan mengharukan.

Banyak anak yang tidak tahu nama lengkap Ibunya atau apa pekerjaan Bapaknya. Rata-rata tidak tahu nama Kakek Neneknya, apalagi Buyut atau Canggahnya. Padahal misalnya dalam budaya Jawa ada sebutan nasab ke belakang dan ke depan sampai 18 tingkat: ada Mbah Wareng, Galih Asem, Debog Bosok, Gantung Siwur, Goprak Sente—yang semua sangat mencerminkan konsep kesadaran sejarah peradaban masyarakatnya, keluasan dan kedalamannya.

Proses berkenalan yang teknis dan datar saja sudah melahirkan kegembiraan publik, bahkan kebahagiaan, kebanggaan, kemesraan, bahkan juga pembelajaran tentang hakikat-hakikat nilai hidup yang mereka lalai dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi kalau saya gali isi pikiran, wacana, karakter, kecenderungan individu dan sosial, sampai ke lubuk keimanan dan spiritualitas. Menjajagi anak-anak itu tahu dan bisa melantunkan lagu-lagu apa: pop modern, tembang kampung, lagu daerah, shalawat atau qasidah. Proses penjajagan atas kandungan itu selalu sangat meriah, segar, gembira, serta penuh pintu ilmu dan penyadaran baru bagi semua yang hadir.

Di sela-sela itu semua saya mencuri peluang untuk review, analisis dan refleksi. Kaum dewasa dan tua dan seluruh hadirin menjadi bercermin dan menemukan berbagai kekurangan, kelalaian, dan kesemberonoan dalam pendidikan di rumah, sekolah maupun masyarakat. Dari ranah individu, publik maupun yang terkait dengan kewajiban Negara. Alhasil melalui anak-anak itu sebenarnya seluruh hadirin memeroleh pembelajaran berlipat-lipat, dibanding kalau saya “berceramah” kognitif akademik.

Sebanyak mikrofon yang ada dikasih ke anak-anak itu. Saya bertanya dan siapa saja silakan mengacungkan tangan untuk menjawab. “Kalau saya datang ke rumahmu membawa nasi, sayur, krupuk dan sambal, tapi kalian hanya boleh memilih satu: kalian pilih apa?” Di berbagai workshopdan forum rata-rata mereka menjawab: “Nasi”. Ternyata meskipun tidak ada pendidikan khusus tentang skala prioritas, secara alamiah dan organik anak-anak kita tidak memilih sambal atau krupuk. Mereka sudah mengerti apa yang primer, sekunder, dan tersier.

Kalau pembelajaran, ketajaman pengetahuan, kebijaksanaan ilmu, dan kepekaan rasa terhadap skala prioritas nilai-nilai kehidupan ini dipupuk secara simultan atas anak-anak ini di keluarga, sekolah, rumah ibadah serta pendidikan nasional–maka beberapa puluh tahun lagi kalau anak-anak ini menjadi pemegang otoritas Pemerintahan: mereka akan relatif lebih terhindar dari tindakan ngawur dan otoriter, tidak semberono memberangus ini itu, membubarkan sana sini, membenci dan memusuhi rakyatnya sendiri.

“Kalau ada gempa bumi, rumah kalian ambruk, semua hancur, lantas saya datang membawa pakaian dan makanan, tapi hanya boleh milih satu karena harus berbagi, kalian pilih apa?” Seratus persen anak-anak kita di segmen dan level apapun menjawab “Pakaian.” Tidak ada anak-anak yang berpikir “Nggak apa-apa telanjang, asalkan bisa makan”. Mereka sudah mengenal secara naluriah kebenaran hidup bahwa “Nggak apa-apa nggak makan asal masih berpakaian”.

Tinggal kita menengok publik dewasa dan tua semuanya: “Di dalam budaya politik nasional kita, para pemimpin lebih memilih pakaian atau makanan?” Mereka menjawab: “Makanan.” “Lebih memilih kekayaan atau martabat hidup?” Mereka menjawab: “Kekayaan.” “Lebih memilih korupsi atau memertahankan rasa malu?” “Korupsi.” Pikiran rakyat kita masih sehat. Berbeda dengan banyak pemimpin mereka, yang berkiprah tanpa pernah memerhitungkan martabatnya sebagai manusia.

Bahkan dalam budaya elite nasional, martabat hidup diidentikkan dengan jabatan, kekayaan dan pencitraan. Manusia baru merasa punya martabat kalau ia menjadi pejabat, tokoh, kaya, dan bergincu citra. Manusia tidak membangun harga diri kemanusiaannya. Manusia bergantung pada kehebatan dunia di luar dirinya yang ia jadikan pakaiannya. Kalau pakaian itu harus dicopot, ia mendadak merasa kehilangan dirinya. Karena memang diri kemanusiaannya tidak primer dalam kariernya.

Publik menghormati seseorang karena jabatan dan kekayaannya. Kalau di suatu kerumunan orang tidak tahu bahwa ia pejabat dan kaya, maka tak ada yang menghormatinya, bahkan menghinanya. Sesudah ada yang kasih tahu bahwa ia pejabat tinggi, baru kerumunan itu menghormatinya. Dan si pejabat juga merasa terhormat karena itu, padahal yang dihormati bukan dirinya, melainkan jabatan dan kekayaannya.

Jabatan dan kekayaan dijadikan pakaian utama manusia. Kalau ia kehilangan dua hal itu, ia menjadi telanjang. Jabatan Lurah, Gubernur atau Presiden, lebih penting dari manusia yang menjabatnya. Jabatan lebih besar dan hebat dibanding manusia. Karena berpuluh-puluh tahun orang menempuh karier tanpa mengetahui bahwa yang primer adalah pakaian martabat, harga diri kemanusiaan, akhlak sosial, dan kasih sayang kepada sesamanya.

Anak-anak itu saya tanya lebih lanjut: “Coba bikin urutan berdasarkan yang terpenting menurut penilaian kalian: pangan, papan, dan sandang”. Mungkin karena sering mendengar ungkapan itu di keluarga dan budaya masyarakatnya, mereka menjawab: “Sandang, pangan, papan”. Tak apa tak punya rumah asal masih bisa makan. Tak apa tidak makan asalkan masih bisa berpakaian. Tetapi etos nasional kita adalah tidak apa-apa tidak berpakaian asalkan punya rumah dan makan enak. Tak apa-apa menjadi kolutor, perampok, koruptor, atau pengemis, asalkan kaya dan punya jabatan. Koruptor yang dipenjara tidak menyesali kenapa ia mencuri, tapi membodoh-bodohkan dirinya kenapa sampai ketahuan.

Padahal anak-anak itu saya tanya “Ini ada baju dan celana, kalian pilih salah satu?”, mereka semua menjawab, “Celana”. Melalui pengetahuan, ilmu, atau mungkin naluri saja, mereka tahu bahwa mereka tidak bersedia pakai baju bagus, bahkan meskipun pakai jas dan dasi mahal, kalau bagian bawahnya tidak bercelana. Silakan dielaborasi sendiri variabel detail hal primer-sekunder celana panjang dengan celana dalam.

Sementara pemandangan nasional kita, kalau kita peka terhadap simbolisme itu: banyak pemuka masyarakat yang tidak keberatan aurat dan martabatnya melorot bahkan telanjang, asalkan bagian atas di panggung nasional mereka tampak pakai baju, jas dan, dasi mewah.

Uang, proyek, kepentingan keduniaan, termasuk kekuasaan, kegagahan, dan kemenangan—mengalahkan khitthah harkat kemanusiaan, akidah, akhlak, ukhuwah kesatuan ummat, persaudaraan kebangsaan, dan kasih sayang kemanusiaan. Neraka membakar sorga. Itu membuat persaingan, perebutan, dan pertengkaran antarmanusia dan kelompok-kelompok.

Asalkan saya dapat akses laba, tak keberatan saudara saya hancur sebagai ongkosnya. Bangsa kita menjadi tak lagi sebadan, sehati, sejiwa. Bahkan sesama Ummat Islam tidak lagi “kajasadin wahid”. Kalau kaki terantuk, mulut tidak mengaduh. Kepala menabrak tiang, mata tak menangis. Bahkan malah tertawa. Mungkin juga malah mendorong agar kepala tertubruk tiang.

Tidak ada pasal hukum yang menyentuh urusan martabat manusia. Tidak ada aturan perundang-undangan, regulasi birokrasi, Perppu atau Keputusan Menteri yang berkaitan dengan rasa malu. Tidak ada teks tentang malu dan martabat di Pancasila. Ada kata ‘adab’ di Sila-2, tapi belum diperjelas itu dari epistemologi ‘adab’ ataukah ‘aadaab’. Kalau adab itu sopan satun teknis, subasita dalam paugeran kasat mata. Kalau aadaab itu lebih kualitatif, muatan nilai keberadaban untuk membangunan peradaban yang konstruksional dan menyeluruh. Bangsa dan Pemerintah Indonesia semakin turun adab-nya, dan tidak pernah ingat untuk berurusan dengan aadaab.

Kita suntuk menegakkan kejayaan, membangun kemajuan, untuk sementara di wilayah materialisme dulu. Jalannya sementara adalah kapitalisme. Cara menempuhnya sementara adalah liberalisme. Hukum rimba. Belum sempat ngurusi manusia. Ma`dabah (arena pemberadaban) kapan-kapanlah.

Sebab di sekolah-sekolahpun belum sempat juga meniti evolusi madrasah (mengenali), mahfadhah (menghafalkan), ma’lamah (mempelajari), ma’rafah (memperdalam dan memperluas), apalagi ma`dabah (mengkonstruksi peradaban).

Semua level persekolahan masih Madrasah. Bahkan di kampung-kampung stagnan di tahap Majlis Ta’lim (pembelajaran), bahkan Majlis Taklim (omong-omongan). Kita menempuh sejarah tanpa kursus menjahit celana.

Sumber: Manusia, Negara, dan Celana

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: