Menyamar, seorang waliyullah berpakaian kumal sebelum datang memohon sumbangan ke rumah seorang saudagar kaya. Saudagar kaya itu merasa sebal dengan penampilan si wali dan mengusirnya pergi dengan kata-kata kasar.
Beberapa hari kemudian si wali datang dengan jubah keagamaan yang mewah dan berkilauan, memohon sedekah ke saudagar kaya tersebut. Si saudagar kaya yang tak mengenali penyamaran itu segera menyuruh anak buahnya untuk menyiapkan makanan mewah untuk sang tamu. Lalu ia mengajak si wali menikmati makanannya. Si wali pun menanggalkan jubah keagamaannya yang mewah, melipatnya dengan rapi dan meletakkannya di atas kursi di dekat meja makan.
Katanya, “Kemarin aku datang dengan pakaian usang dan Anda mengusirku. Hari ini aku datang dengan pakaian mewah dan Anda menjamuku. Tentunya makanan ini bukan untukku tapi untuk jubah ini.”
Setelah berkata demikian wali tersebut berlalu, meninggalkan si saudagar yang kaget bukan kepalang. Lantas si wali pun menyimpulkan, “Kalau ternyata bukan diriku, melainkan pakaianku yang dihormati, mengapa aku mesti senang?”
“Dan kalau ternyata bukan diriku, melainkan apa yang kupakai yang dihina, mengapa aku mesti sedih?”
Demikianlah manusia, lebih sering menghormati apa yang melekat pada diri seseorang, seperti apa yang dipakai (pakaian dan asesorisnya), juga kekayaan yang dimiliki dan jabatan yang disandang dan bukan melihat pribadi atau keberadaan apa adanya seseorang itu sendiri.
***
Apa hikmah yang dapat kita petik dari kisah di atas?
Jika engkau dihormati orang, janganlah bangga diri. Dan kalau pun engkau tidak dihormati, jangan kecewa dan bersedih hati, sebab engkau tetap berharga.
Siapapun yang merendahkanmu saat ini, jangan sampai membuatmu runtuh, bangkitlah dan tetaplah teguh.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email