Hubungan antara perlawanan di Indonesia dan Khilafah
Sudah menjadi rahasia umum di antara orang-orang Belanda, bahwa banyak Sultan Indonesia yang berbaiat kepada Khalifah di Istanbul, yang berarti bahwa semua Muslim berada di bawah kekuasaan Sultan tersebut akan menjadi warga negara Khilafah Islamiyyah.
Umat Islam di Aceh sangat menyadari status mereka. Surat kabar Sumatra Post menulis tentang hal ini pada tahun 1922:
“Sesungguhnya orang Mohammed Aceh mengakui Khalifah di Istanbul”.
Tapi tidak hanya itu, mereka juga menyadari fakta bahwa tanah mereka adalah bagian dari Khilafah Islamiyyah. Inilah salah satu alasan perlawanan sengit mereka terhadap Belanda, sebagaimana yang diakui oleh surat kabar Sumatra Post pada tahun 1922:
“Hari ini, serangan terjadi sebagai hasil dari mentalitas yang dipengaruhi oleh gagasan Perang Suci”.
Pan-islamisme: Konsul Belanda di Konstantinopel telah memperingatkan pemerintahnya bahwa utusan Mohammedan secara rahasia telah dikirim dari Turki ke Indonesia, dengan tugas untuk memotivasi orang-orang Mohammedan (untuk memberontak).” Artikel di surat kabar Het Nieuws van den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 11 November 1912.
Ada kontak reguler antara Muslim Aceh dan Khalifah di Istanbul. Misalnya, Muslim Aceh mengirim delegasi ke Khalifah untuk memberitahukan situasi mereka, meminta bantuan dan dukungan. Pada tahun 1915 lagi, Sumatra Post menyebutkan satu delegasi tersebut, dikirim ke Istanbul pada tahun 1868:
“Ada kontak langsung antara penduduk asli Aceh dan pemerintah Turki. (…) Tidak kurang dari 68 bangsawan (…) memohon (…) kepada Khalifah selama tahun 1868 untuk ‘membebaskan mereka dari pendudukan asing, yaitu Belanda’. Karena, kata mereka, ‘[pendudukan mereka] semakin besar dan berbahaya dari hari ke hari, dan akan tiba saatnya mereka mengendalikan seluruh Aceh’. Karena itu, mereka, orang Aceh, meminta ‘pengiriman tentara dan pejuang, dan untuk mengumumkan kepada semua orang asing bahwa kita (orang Aceh) berada di bawah perlindungan dan merupakan warga Khalifah’.”
Tetapi Khalifah hanya berada di sisi orang Aceh. Surat kabar Nieuw Tilburgsche Courant melaporkan pada tahun 1899 bahwa Khilafah memberikan pendidikan kepada anak-anak dari berbagai sultan, untuk mendukung perlawanan mereka terhadap Belanda:
“Selama beberapa hari terakhir, seorang koresponden di Constantinopel melaporkan bahwa tujuh anak laki-laki bangsawan telah sampai di sana dan diperkenalkan ke menteri pendidikan, karena mereka harus mengikuti kursus pendidikan tinggi. (…) Orang-orang Muslim dari Jawa, menurut laporan koresponden, telah mengirim surat kepada Sultan (Khalifah) yang berisi ucapan terima kasih karena telah membawa anak-anak mereka ke sekolah-sekolah di Khilafah. (…) Sebagai konsekuensinya, empat belas pemuda dari Indonesia menerima pendidikan Mohammedan yang keras, dengan dibayar penuh oleh Sultan Constantinopel. Begitu mereka kembali ke tanah air, setelah mendalami ajaran Islam, mereka akan menjadi pejuang alami untuk Al-Quran, melawan ‘anjing-anjing Kristen’ yang memerintah negara mereka. (…)Di sini, lihatlah bahaya pan-Islamisme di provinsi Timur kita. (…) Belanda sendiri turut bersalah atas tersebarnya masalah yang diinpirasi oleh paham pan-Islamisme. Sebab, sudah terlalu lama mereka ragu untuk mendukung penyebaran agama Kristen, satu-satunya metode yang efektif melawan Islam.”
Khalifah juga mengirim perwakilan ke Indonesia untuk mendukung kaum Muslimin. Surat kabar Het Nieuws van den Dag, misalnya, melaporkan mengenai konsul Khalifah di Batavia yang mendukung gerakan pan-Islamisme:
“Di Indonesia hanya ada satu konsul, di Batavia, dan dia telah menunjukkan cukup banyak antusiasme terhadap pan-Islamisme. Oleh karena itu, pemerintah memintanya untuk diganti.”
Surat kabar yang sama menginformasikan pembacanya pada tahun 1912 bahwa Khalifah mengirim misi rahasia ke Indonesia untuk mendukung Muslim Indonesia:
“Konsul Belanda di Konstantinopel telah memperingatkan pemerintahnya bahwa utusan Mohammed telah Dikirim dari Turki ke Belanda Indonesia, dengan tugas memotivasi orang-orang Mohammed (untuk memberontak).”
Kerjasama juga terjadi sebaliknya. Mengenai keputusan Khalifah untuk membangun kereta api Hejaaz, surat kabar Het Nieuws van den Dag mengatakan pada tahun 1905:
“Raja Boni telah memberi 200 poundsterling untuk mendukung pembangunan kereta api Hijaz ke tempat-tempat suci Islam . (…) Pada saat yang sama, utusan tersebut memberi surat dari penguasa Boni kepada (Khalifah), di mana dia meminta Khalifah untuk mendukung dirinya dan sekutunya, dalam kesulitan mereka melawan penguasa Belanda”.
“Panislamisme di Provinsi wilayah Timur kita: Raja Boni telah memberi 200 pound sterling untuk mendukung pembangunan kereta api Hijaz ke tempat-tempat suci Islam “. Artikel di surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, 17 Juli 1905.
Karena dekatnya hubungan antara Muslim Indonesia dan Khilafah, para analis di Belanda mulai khawatir ketika Inggris dan Prancis mulai melakukan kejahatan terhadap Muslim di Negara Islam lainnya:
“Saya khawatir orang-orang Mohammedan [di wilayah yang kita kuasai] akan merasakan ketidakadilan yang sedang dilakukan saat ini. Pemberontakan dan ketidakpuasan akan semakin meningkat, di Belanda juga Indonesia.”
Rencana Belanda untuk Menghentikan Perlawanan: “Menghentikan Khilafah”
Surat kabar Belanda dari periode 1850 – 1930 juga menjelaskan rencana apa yang dibuat orang Belanda untuk mengatasi pemberontakan di Indonesia, dan untuk mengembalikan negara tersebut di bawah kendalinya. Misalnya, Belanda membuat rencana hukum dan peraturan agar orang-orang Indonesia tidak pergi haji. Surat kabar yang ditulis Het Nieuws van den Dag pada tahun 1884:
“Kita sebelumnya telah membuat peraturan untuk sebanyak mungkin membatasi perjalanan ke Mekkah.”
Surat kabar mengacu pada peraturan haji tahun 1859, di mana calon peziarah harus memenuhi syarat keuangan tertentu, dan mereka wajib lapor ke konsulat Belanda di Jeddah saat mereka datang, sehingga pemerintah Belanda dapat mengawasi mereka.
Meskipun demikian, keinginan untuk berangkat haji tetap kuat di antara orang Indonesia. Setelah mereka kembali, pengaruh mereka untuk memotivasi perlawanan juga kuat.
Sebuah laporan di surat kabar Het Nieuws van den Dag pada tahun 1904 menulis:
“Tidak butuh waktu lama untuk merasakan pengaruh perjalanan mereka ke tempat-tempat aneh, tinggal dalam waktu lama atau pendek di Mekkah. Gerakan pan-Islamis adalah konsekuensinya. Ada saat ketika orang menilai pengaruh haji secara berlebihan; Namun, hari ini, orang meremehkan mereka. Karena mereka seperti bahan bakar, yang menjadi berbahaya begitu seseorang menyalakannya. (…) Pemerintah harus terus memantaunya.“
Karena Belanda tidak bisa begitu saja melarang haji—yang pastinya akan menyebabkan pemberontakan massal orang Indonesia—beberapa analis menasihati pemerintah Belanda untuk memastikan kontrol yang lebih kuat terhadap mereka yang melakukan haji. Surat kabar yang diterbitkan oleh Nieuws van den Dag pada tahun 1884 menerbitkan sebuah opini yang menunjukkan bahwa pemerintah Belanda mengirim mata-mata bersama dengan jamaah haji:
“Bukan di masjid atau di langgar bahwa benih kebencian dan fanatisme agama ditaburkan, tapi di desa dan di kampung-kampung serta di rumah-rumah penduduk pribumi yang terpencil. Di situlah para haji membuat putaran liciknya (…). Orang-orang Eropa Indonesia yang andal, yang bisa berbicara bahasa Jawa, Melayu, Soenda atau Madoera, harus dikirim ke tempat-tempat ini (Mekkah, Madinah) oleh pemerintah sebagai polisi rahasia.”
Belanda mematuhi nasihat ini dengan mengirim orientalisnya, Christiaan Snouck Hurgronje, ke Mekkah untuk memata-matai Muslim Indonesia pada tahun 1885.
Begitu mereka kembali ke Indonesia, pemerintah Belanda berusaha membatasi pengaruh para haji. Pada tahun 1889 sebuah opini di surat kabar Algemeen Handelsblad menyarankan pemerintah kolonial untuk membuat masjid dan madrasah di bawah kendalinya, sehingga kelas-kelas yang mengajarkan Islam juga bisa berada di bawah kendalinya:
“Tidak bisa dipahami. Mereka melihat kejahatan. Mereka diperingatkan tentang hal itu dari berbagai sisi. Namun mereka membiarkannya tumbuh! Inilah sikap pemerintah kolonial kita dalam beberapa tahun terakhir melawan seruan untuk memberontak yang datang dari pan-Islamisme. (…) Mister Van den Berg meyakinkan kita bahwa ceramah yang dibacakan di masjid telah menabur ‘roh paling jahat yang melawan aturan orang-orang Kristen’. Oleh karena itu, kita memandang perlu untuk mengontrol gagasan yang diajarkan dan yang merendahkan kekuasaan kita yang sah.”
Rasa takut—dan benci—terhadap Islam dan Negara Islam sampai-sampai membuat Belanda membuat aturan bahwa setiap Muslim yang berbicara tentang kekhalifahan akan ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara:
“Hukum bagi pemimpin agama mulai dari tiga bulan sampai lima tahun, jika saat pertemuan publik dia mengkritik pemerintah atau menyerukan kebencian terhadapnya, atau memotivasi masyarakat untuk melawan atau memberontak.”
Pelajar asal Jawa di Istanbul di masa Daulah Utsmaniyyah thn 1900, bernama Ahmad & Said Effendi. Via @OttomanArchive
Menurut beberapa analis, langkah ini tidak cukup. Di surat kabar Het Nieuws van den Dag, pemerintah diminta untuk membuat aturan bahwa semua pembicaraan soal Negara Islam adalah tindakan tindakan pengkhianatan:
“Barangsiapa yang menghidupkan kembali di tengah-tengah pribumi, gagasan sesat bahwa mereka ada kaitannya dengan Khalifah Turki, pada dasarnya melakukan sebuah tindakan pengkhianatan terhadap undang-undang kita”.
Untuk lebih jelasnya, hukuman yang ditetapkan untuk jenis pengkhianatan ini adalah kematian. Jadi, mereka meminta pemerintah Belanda untuk membunuh semua orang yang berbicara tentang kekhalifahan.
“Siapa pun yang menghidupkan kembali di tengah-tengah para pribumi gagasan sesat bahwa mereka ada kaitannya dengan Khalifah Turki, pada dasarnya melakukan tindakan pengkhianatan terhadap undang-undang kita”. Sebuah opini di surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, 10 Juni 1915.
Apa yang ingin dicapai oleh pemerintah Hindia Belanda dan pemimpin Belanda jelas bisa dilihat. Mereka ingin memutuskan hubungan dengan Khilafah dan melarang gagasan Khilafah dari benak Muslim Indonesia.
Kesimpulan: Apakah perlawanan Indonesia melawan penjajahan Belanda bersifat nasionalistik, atau Islami?
Jelas, ada perbedaan besar antara perlawanan Indonesia melawan penjajahan Belanda seperti yang dijelaskan dalam buku sejarah yang ada sekarang ini; dan yang dijelaskan di surat kabar pada masa itu. Dan perbedaan ini berarti klaim buku sejarah bahwa masyarakat Indonesia menerima dengan baik peraturan Belanda tidaklah benar; dan “perlawanan yang sifatnya nasionalistik” hanyalah mitos.
Kebenaran tentang perlawanan Indonesia melawan penjajahan Belanda ditemukan di surat kabar-surat kabar pada masa itu. Dan mereka menggambarkan perlawanan sebagai sesuatu yang masif, terinspirasi oleh Islam, dan bertujuan untuk menyatukan kembali tanah Muslim Indonesia dengan tanah-tanah Muslim lainnya di dalam satu kekhalifahan.
“Haji ke Mekkah dan nilai pentingnya bagi provinsi Timur kita”, sebuah artikel di surat kabar Het Vaderland, 11 November 1938
Analisis di surat kabar Belanda tentang penghancuran kekhalifahan semakin membuktikan hal ini. Setelah penghancuran Khilafah, tanah kaum Muslim dipecah menjadi entitas yang terpisah. Wilayah Hijaz berada di bawah kekuasaan keluarga Al Saud, yang penampilannya memang Islami tapi isinya tidak.
Menurut seorang mantan konsul Belanda di Jeddah, mister Van der Meulen, konsekuensi dari semua ini (penghancuran khilafah) adalah bahwa haji tidak perlu lagi dianggap sebagai ancaman bagi pemerintahan Belanda di Indonesia, setelah selama hampir seratus tahun ia dianggap sebagai ancaman nomor satu. Mister Van der Meulen mengemukakan pandangannya saat pertemuan Organisasi Indonesia pada tahun 1938. Dia mengatakan, menurut surat kabar Het Vaderland:
“Haji ke Mekkah, pada kondisi sekarang, dengan seorang raja Al Saud yang berperang Melawan aksi pan-Islamis dan komunis—yang secara terbuka mengapresiasi kekuasaan kita di Indonesia—tidak lagi menjadi ancaman bagi kekuasaan kita”.
Hal ini bisa dimaknai satu hal. Adanya ikatan yang kuat antara Khilafah dan Muslim Indonesia berpengaruh pada banyaknya masalah bagi kolonialisme Belanda. Hanya karena ikatan inilah haji dianggap sebagai isu mendasar. Dan tanpa ikatan itu, haji tidak lagi menjadi masalah. Itulah sebabnya Belanda juga merasa lebih senang ketika pada tahun 1924 Khilafah dihancurkan oleh sesama penjajah, Inggris dan Prancis.
Sumber: www.newcivilisation.com
(Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email