Judul Buku: The Fall of the Ottomans: The Great War in the Middle East
Penulis: Prof. Eugene Rogan
Penerbit: Basic Books, New York, 2015
Tebal Buku: xxvi + 486 hlm.
Judul buku ini, jika diterjemahkan secara bebas, bermakna Kejatuhan Utsmaniyah: Perang Besar di Timur Tengah. Intinya, buku ini bercerita tentang Perang Dunia I—dan konflik ikutannya—yang berperan dalam meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah dan mengubah wajah Timur Tengah. Jadi, penulis buku ini mengajak pembacanya untuk menggali dan mengerti akar berbagai konflik di Timur Tengah.
Dalam The Fall of The Ottomans; The Great War in the Middle East ini Eugene Rogan menelaah lebih dalam kaitan antara Perang Besar dan kebangkrutan kekhalifahan ini. Dengan penguasaan bahan tertulis yang kaya dari Arab, Turki, dan Barat, Penulis menyajikan epos terpenting abad dua puluh ini dari perspektif Utsmani. Dan, itulah sumbangan terbesar buku ini. Kehadiran buku ini akan memperkaya percakapan sejarah ihwal Perang Besar dan keruntuhan Utsmani.
Menurutnya, selama ini narasi tentang Perang Besar selalu dari sudut pandang Barat dan mengabaikan peran Utsmani. Padahal, kata Rogan, masuknya Utsmani dalam peperangan itulah yang mengubah Perang Eropa menjadi Perang Besar. Perang Besar sekaligus menjadi tanda berakhirnya kejayaan pemerintahan Utsmaniyah, serta melepaskan kekuatan dahsyat yang mengubah wajah Timur Tengah seperti hari ini.
Dalam The Fall of the Ottomans ini Eugene Rogan—profesor sejarah sekaligus Direktur St Antony’s College Middle East Centre, Universitas Oxford—dengan sangat jelas “menghidupkan kembali” ingatan pembaca akan Perang Dunia I dan apa yang terjadi setelahnya di Timur Tengah. Buku ini mengungkap peranan penting—namun – terabaikan—kawasan ini dalam konflik tersebut, terutama yang berlangsung dalam rentang tahun 1914–1920.
Latar Belakang Perang Dunia I
Kekaisaran Rusia menganggap diri mereka sebagai pewaris Byzantium dan pemimpin spiritual Gereja Ortodoks Timur. Istanbul, sebelum ditaklukkan Mehmed II pada 1453 dan masih dinamai Konstantinopel, adalah ibukota Kekaisaran Byzantium sekaligus pusat Gereja Ortodoks Timur. Selain itu Rusia, tentu saja, memiliki alasan ekonomi. Dengan menguasai Istanbul, Rusia akan menguasai selat-selat strategis di Bosporus dan Dardanela yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di Laut Hitam dan Mediterania.
Rusia lalu mengompori wilayah kekuasaan Utsmani di semenanjung Balkan, agar mereka merdeka. Menanggapi kelakuan Rusia, Abdulhamid II mengibarkan bendera Nabi Muhammad sambil menyerukan jihad. Perang pecah pada April 1877.
Pada saat bersamaan, anggota-anggota parlemen menyayangkan langkah Sultan dalam menyelesaikan konflik. Hari demi hari, Rusia berhasil merangsek sampai ke daerah-daerah pinggiran Istanbul. Sultan meminta saran parlemen, namun ia tak memperoleh dukungan. Mutung, ia kemudian menangguhkan konstitusi, membubarkan parlemen, dan memenjarakan banyak anggota parlemen yang kritis.
Kondisi dalam negeri yang carut dan kekuatan militer yang lemah memaksa Sultan menerima gencatan senjata pada Januari 1878. Ia, karena itu, kehilangan dua perlima wilayahnya dan seperlima penduduknya di semenanjung Balkan. Eropa mengangkangi wilayah Utsmani: Inggris menduduki Siprus pada 1878 dan Mesir pada 1882; Prancis mencaplok Tunisia pada 1881.
Meski kekuasaannya sudah berkurang, Sultan masih tetap menjalankan sikap absolutismenya. Perlahan gayanya itu menyulut perlawanan dari anak-anak muda yang berkumpul dalam Turki Muda, organisasi yang berdiri pada 1889. Mereka ingin mengembalikan konstitusi 1867 dan menghidupkan lagi parlemen. Organisasi paling terkenal di bawah naungan Turki Muda adalah Commite of Union and Progress (CUP). Organisasi rahasia ini beranggotakan kalangan militer dan sipil yang tersebar di semua daerah kekhalifahan Utsmani.
Namun, pemerintah menekan anggota-anggota CUP. Pada 3 Juli 1908 anggota CUP dari militer, Ajudan Mayor Ahmed Niyazi, memimpin dua ratus tentara bersenjata lengkap dan warga sipil pendukungnya untuk mengobarkan revolusi. Mereka menuntut Sultan mengembalikan konstitusi 1876 dan menghidupkan parlemen. Upaya yang kemudian dinamai Revolusi Turki Muda ini berhasil. Abdulhamid II mengabulkan tuntutan mereka.
Namun, revolusi menyisakan persoalan. Yang paling menonjol adalah ihwal Armenia. Sebagian kalangan Utsmani mencurigai Armenia sebagai musuh dalam selimut. Semasa Utsmani berperang melawan Rusia, orang-orang Armenia kena hasutan Rusia. Banyak orang Armenia membela Rusia. Selain karena kedekatan agama sebagai sesama penganut Kristiani, wilayah Armenia juga berada di perbatasan antara Utsmani dengan Rusia.
Ketika Utsmani terlibat dalam Perang Besar, tak sedikit orang Armenia menyeberang ke Rusia. Itu, di antaranya, terjadi pada pertempuran di Kaukasus. Dalam pertempuran ini tentara Armenia yang semula memihak Utsmani berganti haluan menjadi tentara Rusia. Utsmani kalah besar di Kaukasus. Sejak itu, sentimen anti-Armenia merebak.
Sementara revolusi tak menyudahi persoalan di dalam negeri, kondisi di luar pun dipenuhi hiruk-pikuk peperangan. Rusia bergabung dengan Inggris dan Prancis membentuk persekutuan yang dikenal sebagai Entente atau Sekutu. Jerman yang saat itu berperang dengan Entente mengajak Turki Utsmani yang memang masih punya masalah dengan tiga kekuatan itu. Jerman dan Turki bersatu melawan Entente.
Turki Utsmani masuk dalam pusaran Perang Besar pada November 1914. Sejarah kemudian mencatat, keputusan inilah yang melempangkan Khilafah Utsmaniyah menuju kehancuran. Sempat menang di Galipolli berkat seorang perwira bernama Mustafa Kemal, Utsmani tak kuasa menerima kekalahan demi kekalahan.
Bagaimana Khilafah Berusia Enam Abad yang Menguasai Tiga Benua Itu Berakhir?
Penulis mengajak pembaca kembali ke tahun 1914, ketika pasukan dan sumber daya pemerintahan Utsmaniyah menipis setelah sekian tahun berperang melawan nasionalis semenanjung Balkan dan pasukan Italia. Namun, setelah kejadian pembunuhan Putra Mahkota Austro-Hongaria di Sarajevo, tak ada yang dapat mencegah keterlibatan beberapa kekuatan besar Eropa dalam peperangan. Bahkan, Timur Tengah pun tidak bisa lepas dari konsekuensi salah satu konflik paling merusak dalam sepanjang sejarah manusia itu.
Pada malam 1 Februari 1915, digambarkan bagaimana Pasukan Turki Utsmani tengah bersiap bergerak ke tepi barat Terusan Suez saat badai pasir membutakan pandangan. Sementara pasukan Sekutu yang menguasai Kanal Suez tak bisa membuka mata, komandan Jerman dan Utsmani justru memanfaatkan badai itu. Bergerak dengan senyap, mereka mendekati Ismailia.
Itu adalah malam yang sempurna untuk melancarkan penyerangan. Terusan Suez seperti tak bertuan, hening. Tak tampak penjagaan. Merasa situasi aman, sekelompok relawan jihad dari Libya memekikkan kata-kata untuk menyemangati teman-temannya sesama pasukan Utsmani. Tanpa mereka nyana, pekikan itu disahuti gonggongan anjing-anjing milik tentara Sekutu. Senjata mesin Sekutu pun menyalak. Peluru dan mesiu bertaburan. Fajar sudah merekah saat tepi barat Terusan Suez menjadi medan pertempuran.
Pasukan Utsmani yang semula hanya ingin mengalihkan perhatian Sekutu malah menjadi bulan-bulanan. Utsmani, dengan penyerangan itu, ingin Sekutu menarik kembali tentara mereka di Front Barat ke Mesir dan tak sempat memusatkan kekuatan di Dardanelles. Namun, upaya yang dikomandani Menteri Kelautan Utsmani Ahmed Cemal Pasha ini malah mengikis jumlah tentara Utsmani. Kalah akibat dibombardir lewat darat, laut, dan udara, dalam pertempuran itu Cemal mencatat 192 orang gugur, 361 terluka, dan 727 hilang.
Kekalahan di Terusan Suez ini memperburuk kondisi Utsmani. Jauh sebelum terseret dalam Perang Besar, Utsmani sebenarnya sedang sakit. Antara 1908-1913 Utsmani mendapatkan ancaman dari dalam dan luar, yaitu Revolusi Turki Muda dan tuntutan merdeka daerah-daerah di semenanjung Balkan. Ketika akhirnya bergabung dengan Jerman dalam Perang Besar melawan Entente, kekhalifahan berusia enam abad lebih yang menguasai tiga benua ini perlahan-lahan roboh
Didukung oleh dana, persenjataan, dan penasihat militer dari Jerman, pemerintah Utsmaniyah menantang kekuatan Rusia, Inggris, dan Prancis serta mencoba menyerukan jihad untuk melawan Pasukan Sekutu di sejumlah koloni Muslim. Pasukan Turki menghadiahkan sejumlah kekalahan yang menentukan pada Entente (Pasukan Sekutu) di Gallipoli, Mesopotamia, dan Gaza sebelum gelombang pertempuran akhirnya berbalik menguntungkan Pasukan Sekutu.
Kota-kota besar seperti Baghdad, Yerusalem, dan, akhirnya, Damaskus jatuh ke tangan pasukan penyerang sebelum pemerintah Utsmaniyah setuju menandatangani gencatan senjata pada 1918. Penyelesaian pascaperang menyebabkan pembagian wilayah Utsmaniyah untuk negara-negara pemenang dan meletakkan dasar konflik berkelanjutan yang terus menghiasi dunia Arab modern. Penulis juga mengisahkan pertempuran dan intrik politik yang memukau dari Gallipoli hingga Jazirah Arab.
Kekalahan Turki Adalah Bencana Besar
Menurut Rogan, kekalahan Turki Utsmani itu merupakan bencana besar bagi kekhalifahan. Bukan berarti Utsmani tak pernah kalah. Sejak 1699, Turki Utsmani berperang dan mereka kerap kalah. Tapi, kekhilafahan masih bisa berdiri tegak. Kondisinya sangat berbeda, kata Rogan, setelah Perang Besar. Permainan kini di tangan Eropa.
Dalam rapat pada April 1920 di San Reno, Italia, Eropa “bancakan” wilayah Daulah Utsmaniyah. Inggris mendapat jatah Palestina, termasuk Transyordania, dan Mesopotamia; Prancis mengambil Suriah dan Lebanon. Mereka juga sepakat untuk membagi semua provinsi Daulah Utsmaniyah di Arab. Sementara itu, Anatolia timur dibagi antara Armenia dan Kurdi; Anatolia barat, kota pelabuhan Smyrna (sekarang Izmir), dikuasai Yunani. Daulah Utsmaniyah juga tak lagi menguasai jalur-jalur perairan ke Laut Hitam dan Mediterania. Kekuatan Turki Utsmani di Anatolia hanya tersisa di daerah yang tak dimaui siapa pun, yaitu Bursa, Ankara, dan Samsun di perairan Laut Hitam.
Turki Utsmani, lagi-lagi, dipaksa menerima kenyataan bahwa mereka tak punya pilihan lain kecuali bekerja sama dengan pemenang perang. Mereka mesti menyepakati perjanjian, meskipun isinya memberatkan seperti pembagian wilayah oleh Eropa. Namun, Gerakan Nasional Turki yang dipimpin Mustafa Kemal mengakui bahwa Utsmani tak mungkin mengembalikan wilayah yang sudah lepas.
Di sisi lain, mereka menolak segala persyaratan dalam perjanjian damai yang membebani Turki Utsmani. Mustafa Kemal dianggap pembangkang dan diganjar hukuman mati. Tak menggubris hukuman itu. Pada tahun 1922 Kemal membawa pasukannya dalam tiga pertempuran melawan Armenia, Prancis, dan Yunani. Ia memenangkan ketiga pertempuran itu. Tetapi, dari hasil kajian kalangan Islamis, kemenangan itu tidak lepas dari permainan tingkat tinggi dan konspirasi dengan kekuatan-kekuatan besar Eropa. Dari sini ia lantas menjadi pahlawan dan berhasil menguasai politik dalam negeri. Pada 1 November 1922 ia, bersama Grand National Assembly, mengakhiri riwayat Turki Utsmani.
Kelebihan Buku Rogan
Meski lahir dari seorang akademisi tulen, buku ini jauh dari kesan berat. Alih-alih dihiasi istilah rumit, dalam sekujur buku ini kita justru akan mendapatkan cerita peperangan yang dibumbui kisah sedih, lucu, datar, dan tak jarang tragis. Dalam kaitannya dengan kejatuhan kekhalifahan ini, Rogan berpendapat bahwa pukulan pertama mendarat di tubuh Turki Utsmani pada 1876. Itu ketika Turki Utsmani di bawah Sultan Abdulhamid II melakukan reformasi dengan mengenalkan sistem pemilihan parlemen dan Rusia menggempur untuk merebut Istanbul, ibukota Utsmaniyah.
Rogan tampak piawai dalam menelusuri biografi, autobiografi, maupun sumber tertulis dari pihak Utsmani, baik berbahasa Turki maupun Arab. Meski seorang Eropa, dalam soal keberimbangan dan objektivitas, mungkin Rogan layak mendapat acungan jempol. Yang jelas, The Fall of the Ottomans adalah bacaan penting bagi mereka yang ingin memahami Perang Besar dan asal usul Timur Tengah modern.
Referensi:
1. Historia, Nomor 23 Tahun II
2. www.serambi.co.id/katalog/650/the-fall-of-khilafah
3. www.sant.ox.ac.uk/people/eugene-rogan
(Seraa-Media/Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email