Ilustrasi
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ. الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانِ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلِ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلّ وسّلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وِعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ
فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
Alhamdulillah kita masih diberikan kesempatan oleh Allah untuk berkumpul menunaikan salat Id bersama dalam rangka Idul Adha pada tahun ini. Shalawat dan salam kita haturkan sepenuh hati kepada junjungan kita Nabi yang mulia, Nabi yang welas asih, Nabi yang menebar rahmatan lil alamin, Nabi yang kita harapkan syafaatnya kelak di yaumul hisab, Nabi Muhammad SAW yang beserta keluarga dan sahabatnya telah menjadi suri tauladan bagi kita semua.
Khatib berwasiat kepada diri sendiri dan juga kepada jamaah sekalian agar kita senantiasa memegang teguh ketakwaan kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya.
Allahu Akbar 3x wa lilahil hamd
Jamaah salat Idul Adha yang dimuliakan Allah.
Dalam terminologi ajaran Islam, haji adalah kunjungan menuju baitullah dan tempat-tempat syi’ar keagamaan yang lain, pada waktu-waktu tertentu, untuk melaksankan bentuk-bentuk ibadah tertentu demi karena Allah. Ibadah yang dilakukan mulai dari bulan Syawwal, Dzulqaidah, dan puncaknya Dzulhijjah ini tidak hanya dikenal dalam syariat Muhammad SAW, melainkan telah dikenal lama dalam ajaran agama yang dibawa para nabi dahulu.
Dan atas perintah wahyu Allah, syariat ini dikumandangkan dengan tegas oleh Nabi Ibrahim, segera setelah ia bersama putranya, Ismail, membangun kembali Baitullah yang rusak dilanda banjir Nabi Nuh, sebagaimana diceritakan dalam firmanNya:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Surat al-Hajj: 27)
Jika dihayati dan direnungkan secara seksama dan mendalam, haji bukanlah murni semata sebagai ibadah mahdhah kepada Allah, tetapi juga merupakan proyeksi pengenangan dan rekonstruksi sejarah dari peristiwa-peristiwa penting yang dialami oleh para pendahulu kita, Adam, Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar, dengan mengambil lokasi, sebagaimana ditentukan Allah, tanah suci, Masjidil Haram, mas’a (jarak antara bukit Shafa dan bukit Marwah), Arafah, Masy’ar (suatu tempat yang terletak di antara Arafah dan Mina), Mina, Shafa, Marwah, dan sebagainya.
Dipilihnya kawasan Mekkah sebagai lokasi ibadah haji itu tentu bukan tanpa alasan, tetapi mengandung rahasia besar, latar belakang, hikmah, dan tujuan penting. Mekkah adalah suatu daerah yang terletak di tengah-tengah jazirah Arabia. Daerah ini, sebagaimana diketahui, terdiri atas perbukitan terjal dan sebagian besar padang pasir tandus dan gersang. Tidak dapat tumbuh atau ditanami sesuatu tumbuhan yang layak dijadikan makanan manusia.
Makanan pokok jenis nabati sulit, kalau tidak dikatakan mustahil, ditemukan di sana. Karena itu, ketika Nabi Ibrahim atas perintah Allah menempatkan putranya, Ismail, dan Siti Hajar di sana, ia memohon kepada Allah agar kawasan itu menjadi subur, sehingga para penduduk di sana nanti dapat bertahan hidup. Ini sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Surat Ibrahim: 37)
Pada bagian lain dalam al-Qur’an Allah menceritakan pula doa Nabi Ibrahim dalam penggalan ayat berikut ini:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian… ” (al-Baqarah: 126)
Allahu Akbar 3x wa lilahil hamd
Jamaah yang dimuliakan Allah.
Jelas sudah bahwa ibadah haji di tanah suci merupakan bagian dari tradisi yang dilakukan semenjak masa Nabi Ibrahim AS. Lokasinya di Mekkah dan sekitarnya, namun pesan universal dari tradisi telah melampaui batas geografis lokasinya. Tradisi itu diteruskan turun temurun, dan sayangnya menjelang kehadiran Nabi Muhammad sebagai pembawa wahyu terakhir, beberapa tradisi ritual haji itu diselewengkan di masa jahiliah.
Di masa jahiliah orang-orang biasa tawaf di Ka’bah dalam keadaan tanpa busana. Seperti disebutkan di dalam riwayat Imam Muslim, Imam Nasai, dan Ibnu Jarir. Sedangkan lafaznya berdasarkan apa yang ada pada Ibnu Jarir, diriwayatkan melalui hadis Syu’bah dari Ibnu Abbas bahwa dahulu kaum pria dan wanita melakukan tawafnya di Baitullah dalam keadaan telanjang bulat.
Kaum pria melakukannya di siang hari, sedangkan kaum wanita pada malam harinya. Alasan mereka sebenarnya cukup masuk akal saat itu. Karena Ka’bah itu suci, sementara mereka kotor bergelimang dosa, maka mereka hendak memasuki rumah Allah dengan cara mensucikan diri mereka dengan telanjang seperti bayi yang baru lahir.
Namun Allah melarang praktik semacam ini. Turun surat al-A’raf ayat 31:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Bukan diminta menanggalkan pakaian, kita justru disuruh mengenakan pakaian yang bagus dan indah saat memasuki rumah Allah. Pun demikian bagi mereka yang sedang dalam keadaan ihram dan bertawaf mengelilingi Ka’bah, syariat Islam mengatur agar kita mengenakan pakaian khusus, bukan malah telanjang bulat.
Proses penyucian diri dari dosa bukan dilakukan dengan menelanjangkan tubuh kita di depan Ka’bah. Islam mengatur sedemikian rupa proses penyucian diri dari dosa lewat taubatan nasuha, membaca istighfar, berwudhu untuk membersihkan dari hadats kecil, mandi janabah bila berhadats besar, maupun lebih dalam lagi seperti mengamalkan ibadah puasa sehingga selepas Ramadan kita kembali suci seperti kertas putih, ataupun lewat penunaian zakat untuk menyucikan harta kita.
Di sinilah pentingnya kita mengikuti syariat Islam. Syariat Islam meminta kita melanjutkan tradisi ritual haji, namun pada saat yang sama juga memilah mana tradisi yang baik (shalih) yang harus kita pertahankan, dan mana tradisi yang harus kita benahi. Dengan kata lain, Islam tidak serta merta menolak semua tradisi atau adat istiadat.
Bagaimana kita mengisi penerapan syariat dengan mengkomodasi budaya? Dalam bahasa ushul al-fiqh ini disebut dengan al-‘Adah Muhakkamah (adat kebiasaan dijadikan panduan menetapkan hukum).
Begitu juga dengan kaidah al-Ma’ruf ‘urfan ka al-Masyrut Syartan (hal baik yg sudah dikenal secara kebiasaan diterima seperti halnya syarat) atau al-Tsabit bil-dalalatil ‘urf kats-tsabit bil dalalatin nash (yang ditetapkan dengan indikasi dari adat sama statusnya dengan yang ditetapkan berdasarkan petunjuk nash). Dan juga kaidah lainnya: Ma raahu al-muslimun hasanan fa huwa ‘indallah hasan (apa yang dianggap baik oleh umat Islam maka di sisi Allah pun dianggap baik).
Allahu Akbar 3x wa lilahil hamd
Jamaah yang dimuliakan Allah.
Salah satu tradisi lainnya dari Nabi Ibrahim yang sekarang kita ikuti adalah tradisi berkurban. Sebenarnya tradisi berkurban ini bisa dilacak sampai ke belakang jauh sebelum Nabi Ibrahim, yaitu tepatnya pada kisah Habil-Qabil, putra Nabi Adam.
Al-Qur’an mengisahkan:
Ceritakanlah kepada mereka kisah dua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia (Qabil) berkata, “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil, Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Al-Maidah: 27).
Dalam kitab Tafsir Ibn Katsir dikisahkan bahwa Habil seorang peternak dan mengurbankan domba gemuk yang sehat. Sedangkan Qabil seorang petani yang menyerahkan gandumnya tapi hanya memberi yang jelek saja, bukan gandum terbaik. Itu sebabnya domba Habil diterima, dan gandum Qabil ditolak.
Menurut kitab Tafsir Thabari, domba milik Habil ini disimpan di surga, dan domba inilah kelak yang dipakai untuk menggantikan Nabi Ismail saat hendak dikurbankan oleh Nabi Ibrahim. Wa Allahu a’lam.
Itulah sebabnya ajaran Islam menganjurkan agar hewan-hewan tersebut merupakan hewan pilihan. Hewan yang sehat dan gemuk yang disukai orang. Bukan hewan cacat, sakit atau kurus yang tak layak dimakan, hatta si pemberinya pun tidak mau memakannya. Yang tulus berkurban akan memberikan yang terbaik. Begitulah hukum alam ini. Tengoklah bagaimana pengorbanan ibu kepada anaknya. Ketulusan melahirkan persembahan terbaik. Begitu pula kurban yang kita hendak berikan kepada Allah.
Allah berikan berbagai rezeki dan kasih sayangNya kepada kita sepanjang tahun ini. Allah selamatlan kita dan keluarga dari musibah. Allah jaga kita. Allah berikan perlindungan terbaik. Allah kabulkan permohonan kita dengan cara-cara terbaik sesuai ketentuanNya. Lantas, ketika tiba saatnya Allah meminta kita berkurban, apa tega kita hanya memberikan sekadarnya saja?!
Anjuran demikian bukan berarti Allah memerlukan yang baik-baik untuk diriNya sendiri. Sama sekali Allah tidak memerlukannya. Tetapi semua itu demi kepentingan manusia sendiri, terutama kaum fakir miskin sebagai pihak yang berhak menerimanya.
Maka, menjadi penting sekali firman Allah di bawah ini:
“Daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-Hajj : 37).
Pada masa jahiliah orang Arab memuncratkan darah hewan kurban mereka ke Baitullah, dan mempersembahkan juga daging hewan kurban mereka di Baitullah. Para sahabat yang merasa lebih berhak atas Baitullah menganggap mereka juga lebih berhak melakukan tradisi itu di Baitullah (Ka’bah). Lantas, turunlah firman Allah di atas yang memutuskan benang merah tradisi persembahan darah berabad-abad sebelumnya: Allah tidak membutuhkan darah dan juga daging hewan kurban kalian!
Itulah asbabun nuzul surat al-Hajj ayat 37 di atas. Tidak perlu memuncratkan darah hewan ke Ka’bah. Bahkan daging qurban tidak pula dipersembahkan sebagai “sesajen”, melainkan dibagikan kepada fakir miskin. Muatan teologis yang tegas, dibalut dengan kandungan sosial yang bernas. Kurban itu adalah simbol ujian ketakwaan kita. Takwa itulah yang akan mencapai keridhaan Allah, bukan darah dan daging hewan.
Dan sebenarnya bukan hanya darah dan daging yang tidak Allah butuhkan. Juga zakat, infaq, sadaqah kita. Salat kita. Puasa dan haji kita. Bahkan keimanan dan keislaman kita sekalipun. Kitalah yang membutuhkan Allah. Semua ritual pada hakekatnya kembali manfaatnya untuk diri kita. Kitalah yang lemah. Kitalah yang membutuhkan asupan ibadah.
Allah sama sekali tidak akan berkurang sedikit pun keagunganNya kalau tak ada manusia yang menyembahNya, dan tak bertambah sediki tpun kalau semua penduduk bumi menyembahNya. Maka, tidak mungkin kita bisa menukarkan amal ibadah kita dengan keridhaanNya. Mustahil!
Allahu akbar 3x wa lilahil hamd
Jamaah yang dimuliakan Allah.
Begitulah dua contoh bagaimana Islam menganjurkan kita untuk melanjutkan tradisi baik yang dilakukan orang-orang saleh sebelum kita. Pada saat yang sama, dalam tradisi yang baik itu sepanjang sejarah peradaban telah terjadi berbagai penyimpangan ritual maupun pengaburan makna, maka syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad memilah mana tradisi yang harus kita lanjutkan dan mana yang harus kita benahi.
Manhaj dakwah semacam itu pula yang dikembangkan oleh para ulama Nusantara. Sebagai contoh ayat di atas mengenai perintah untuk memakai pakaian yang bagus dan indah saat memasuki rumah Allah. Maka, setelah bekerja seharian mengenakan pakaian yg kotor berdebu dan keringatan, tradisi Nusantara mengajarkan memakai sarung saat salat. Yang perempuan mengenakan pakaian khusus untuk salat, yaitu mukena. Ini semua agar terpelihara aturan syariat untuk suci dari najis, maupun terpenuhi anjuran untuk mengenakan pakaian yang bagus saat memasuki masjid.
Tradisi sarung dan mukena ini tidak terdapat di Mekkah. Namun bukan berarti tradisi ini bertentangan dengan ajaran Islam. Begitu juga dengan tradisi mengenakan pakaian baru saat lebaran, ini merupakan aplikasi ayat di atas dalam konteks kearifan lokal.
Mau pakai baju batik atau blankon, sorban dan gamis, atau peci hitam–peci putih, salat Anda sama-sama sah. Islam Nusantara tidak akan menganggap hanya yang pakai batik dan peci hitam serta sarung yang sah salatnya. Para ulama juga tidak akan menganggap hanya mereka yang pakai sorban dan gamis saja yang sah salatnya. Selama salatnya menutup aurat dan suci dari najis, maka pakaian apa pun yang dianggap baik menurut adat setempat bisa dipakai untuk salat. Tapi kalau Anda telanjang bulat masuk ke masjid seperti orang jahiliah dulu, tentu ini tidak dibenarkan.
Begitu juga ungkapan akhi-ukhti dalam interaksi sehari-hari, sesungguhnya itu sederajat dengan panggilan mas atau mbak. Mau panggil istri Anda dengan ummi atau mama atau ibu atau panggilan mesranya lainnya, silakan saja. Tidak perlu anti-Arab, tapi juga tidak perlu memaksakan orang lain untuk seperti orang Arab. Mau makan nasi kebuli, silakan. Mau makan jengkol dan pete, ya silakan. Islam Nusantara mengakomodir semuanya.
Allahu akbar 3x wa lilahil hamd
Begitu pula kearifan lokal ketika Kanjeng Sunan Kudus melarang warga Kudus untuk menyembelih sapi. Larangan menyembelih sapi oleh Sunan Kudus pada saat itu sangat beralasan. Pada awal datangnya Islam di Kudus sebagian besar masyarakat Kudus masih memeluk agama Hindu dan sebagian lainnya beragama Budha. Dalam kepercayaan umat Hindu, sapi adalah binatang yang sangat dihormati dan dimuliakan.
Meski dalam Islam menyembelih sapi adalah hal yang dihalalkan, tapi untuk menjaga perasaan umat Hindu yang tinggal di Kudus saat itu dan menghindari pertumpahan darah antar-umat beragama, Sunan Kudus melarang masyarakat Kudus menyembelih sapi saat Idul Adha. Terlebih isu agama adalah isu yang paling rentan memicu pertikaian antar-umat beragama.
Hingga sekarang masyarakat Kudus masih menghormati larangan itu, meski sebagian besar masyarakatnya sudah beragama Islam. Hal ini mereka lakukan untuk melestarikan pesan yang tersirat dari larangan tersebut.
Bayangkan seandainya fatwa Sunan Kudus bukan seperti itu, tapi misalnya karena Nabi menyembelih unta, maka kurban harus berupa unta. Tentu ini sulit mencari unta di tanah Jawa. Itulah sebabnya para ulama fiqh telah menetapkan hadyu itu berupa hewan ternak (bahimatul an’am). Ini tentu memudahkan buat kita yang berada di luar Arab. Unta bisa diganti dengan sapi atau kerbau.
Kambing Jawa atau sapi Madura, meski belum pernah ke Arab, hukumnya sah sebagai hewan kurban. Sekali lagi, yang sampai kepada Allah bukan darah dan daging hewan kurban, tetapi ketakwaan kita.
Apa yang dilakukan oleh ulama Nusantara itu persis mengikuti metode dakwah yang digariskan oleh al-Qur’an: melanjutkan tradisi yang baik dari para orang baik sebelum kita, pada saat yang sama memilah-milah mana tradisi yang harus dibenahi dan didakwahi dengan lemah lembut, dan mana yang nyata-nyata harus ditinggalkan, dan bisa juga mana hal-hal baru yang lebih baik yang bisa kita pelajari dan kita amalkan.
Selamat menjalankan tradisi yang baik dalam perayaan Idul Adha, sebagaimana Hadits Nabi SAW mengingatkan kita untuk mengerjakan dan melanjutkan tradisi yang baik:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang mengerjakan dalam Islam tradisi yang baik, maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengkutinya tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya sedikitpun.” (HR Muslim)
Semoga Allah menerima amalan jamaah haji dan ibadah kurban yang kita lakukan dalam rangka melanjutkan tradisi Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad kama shalayta ‘ala Sayyidina Ibrahim. Taqabalallahu minna wa minkum, taqabbal ya karim.
(Geo-Times/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email