Oleh: Muhammad Imaduddin
Saya tertarik dengan tulisan sahabat saya, Ahmad Tsauri, alumni Lirboyo dan murid Maulana Habib Lutfi bin Yahya. Ia menulis:
“…Kita juga akan sangat sulit melakukan gerakan riil jika generasi muda NU sendiri tidak begitu faham pemikiran, ajaran, kearifan, filosofi dan NU secara epistemologis. NU tidak lebih dari sekedar label. Jadi tidak perlu heran kalau ada NU rasa Wahabi, NU rasa HTI, NU rasa PKS, NU rasa Arab dll. Jika NU adalah proses pelembagaan kearifan Islam Indonesia yang mengakomodir otentisitas sekaligus lokalitas maka NU berbagai rasa itu bukan lagi NU. Melestarikan paham NU sama dengan menjaga keutuhan NKRI..”
Sepakat dengan Tsauri, menjadi nahdliyin itu tidak mudah. Jangan kira kalau anda tahlilan, maulid, manaqiban, anda sudah menjadi NU. Maka itu, para ulama NU menambahkan kata an-nahdliyah setelah ahlussunah wal jama’ah. Ini untuk membedakan Aswaja NU dengan Aswaja banyak rasa yang dikatakan Tsauri di atas.
Pengertian Aswaja An-Nahdliyah tidak hanya mencakup aspek amaliah, yaitu mengikuti salah satu dari mazhab 4 dalam fiqh, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi dalam akidah, dan Al-Junaid dan Al Ghazali dalam tasawuf, tapi juga meliputi sikap hidup (ideologi) yang terangkum dalam: tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang, proporsional). Tiga prinsip ini menjadi landasan NU dalam menyikapi berbagai persoalan: kebangsaan, politik, sosial, ekonomi, budaya.
Dalam politik, garis politik NU adalah politik kebangsaan. Hadrotussyekh Hasyim Asy’ari menegaskan, nasionalisme dan agama tak bisa dipisahkan, keduanya saling menguatkan. “Agama saja saja tanpa nasionalisme tak bisa menyatukan bangsa, sementara nasionalisme tanpa agama akan kering nilai-nilai” demikian yang sering disampaikan oleh KH. Said Aqil Siradj, ketum PBNU. Inilah sikap tawazun (seimbang) NU dalam politik.
Sikap ini bukan tanpa resiko. Risikonya NU difitnah dengan berbagai macam tuduhan yang memanaskan telinga. Ingat, tahun 1965 ketika NU memutuskan bergabung dengan koalisi NASAKOM, tujuannya adalah untuk mengimbangi kekuatan PKI di pemerintahan, KH. Wahab Hasbullah dinyinyiri oleh Masyumi. Beliau difitnah sebagai antek PKI, gila jabatan, gila uang, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Bahkan seorang tokoh Masyumi dengan penuh kebencian berkata, “jika kepala Kiai Wahab dibelah, maka isinya adalah palu arit..”.
Apa reaksi Kiai Wahab? Cuek. Mungkin Mbah Wahab dalam kesendiriannya berkata, “biarlah sejarah yang akan membuktikan..”. Dan sejarah memang telah membuktikannya, bahwa tindakan Mbah Wahab benar. Kebalikannya, Masyumi yang dibubarkan oleh Sukarno.
Kondisi saat ini agak-agak mirip dengan tahun 65-an. Tokoh-tokoh NU difitnah, di bully di medsos, dan terang-terangan di caci maki. Boleh jadi sejarah pun akan berulang, tentang siapa yang akan dibubarkan.
Politik kebangsaan yang diusung oleh NU juga menegaskan bahwa NU menolak ideologi khilafah dan turunannya, semacam NKRI bersyari’ah yang diperjuangkan oleh FPI dan kawan-kawannya.
NU menolak dakwah dengan cara-cara radikal (radikal ucapan dan tindakan) dan revolusioner, karena berpotensi mengancam keutuhan bangsa. Cara-cara demikian berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa, karena pasti akan mendapat perlawanan dari kelompok nasionalis dan non muslim. Kaidah fiqh-nya, “menolak kehancuran lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan”.
Alhasil, jadilah NU kaffah. Jangan NU setengah. Setengah wahabi, setengah HTI, setengah PKS, apalagi setengah gila.. hehe Caranya dengan memahami dan mempelajari sejarah NU, Aswaja An-Nahdliyah, Nilai Dasar dan Perjuangan NU, ideologi NU, garis politik dan kebijakan NU, serta profil dan kiprah kiai-kiai dan tokoh-tokoh NU yang telah memberi warna dalam sejarah perjalanan bangsa ini.
(Duta-Islam/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email