Fitrah -dari sisi fungsinya- memiliki tiga kekhasan utama; Pertama: Cinta kepada kesempurnaan, Kedua: Cinta kepada kebenaran, dan Ketiga: Cinta kepada keindahan. Walaupun ketiga hal tersebut berbeda dari sisi konsep dan definisi, namun secara umum kekhasan kedua dan ketiga kembali kepada kekhasan yang pertama, yaitu cinta kepada kesempurnaan. Karena, meskipun secara praktis masing-masing dari keindahan dan kebenaran itu memiliki contoh luar (ekstensi/mishdaq) yang berbeda, namun secara global semua ekstensi dari dua hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk dari kesempurnaan.
Pendahuluan
Manusia dalam kehidupan di dunia pana ini selalu mencari segala yang dianggap sempurna. Demi terwujudnya kesempurnaan pada dirinya, berbagai sarana ia gunakan. Cinta kesempurnaan merupakan satu hal yang wajar dan bersifat alami (baca: Fitrah) bagi setiap makhluk di muka bumi ini, khususnya makhluk yang dinamakan manusia, baik kecintaan itu bersumber dari hal-hal yang bersifat natural maupun dari kebebasan berkehendak (free will) yang dimilikinya. Sehubungan dengan makhluk manusia, telah terbukti bahwa setiap manusia selalu berusaha untuk memenuhi segala kekurangan yang ada pada dirinya. Dan sebelum ia berhasil merealisasikan hal itu, kita saksikan, biasanya ia selalu menutup-nutupi segala kekurangan yang dimilikinya di hadapan orang lain.
Dengan potensi akal yang dimilikinya, manusia akan terus mencari segala bentuk kesempurnaan dirinya. Dengan itu, ia berusaha mencari berbagai bentuk sarana penunjang demi tercapainya kesempurnaan yang ia harapkan. Meskipun sering kita jumpai betapa banyaknya orang-orang yang salah dalam menentukan wujud rill kesempurnaan tersebut. Hal itu disebabkan kekeliruan mereka dalam mendefinisikan hakikat kesempurnaan diri, atau karena sebab-sebab eksternal yang bersifat negatif yang banyak mempengaruhinya, seperti lingkungan, pendidikan,…dsb.
Di sisi lain, manusia merupakan makhluk hidup yang tediri dari berbagai susunan, baik susunan yang bersifat materi dan inderawi, maupun susunan yang terdiri dari hal-hal immateri dan non-inderawi (supra-natural). Semua sel-sel yang terdapat dalam tubuh manusia merupakan bukti konkrit bahwa manusia tersusun dari hal-hal yang bersifat materi dan inderawi. Pembuktian tersebut dapat dilakukan secara eksperimen. Karenanya, tiada seorangpun yang mengingkarinya. Bahkan hal itu dapat dibuktikan oleh siapapun, sekalipun oleh manusia yang tidak beragama. Sementara susunan manusia dari sesuatu yang bersifat immateri dan non-inderawi masih sering dipermasalahkan oleh banyak pihak. Orang-orang yang biasa menolak kebenaran segala sesuatu yang bersifat non-materi dan tidak dapat dibuktikan secara eksperimen, seperti para pendukung materialisme, mereka tidak mudah menerima adanya eksistensi non-inderawi tersebut.
Untuk membuktikan adanya susunan manusia dari unsur immaterial seperti ruh, maka argumen mereka tentang pembatasan wujud hanya pada hal-hal yang bersifat inderawi dan dapat dibuktikan dengan jalan ekperimen itu harus dibatalkan terlebih dahulu. Pendukung positifisme -dari kelompok materialisme- menyatakan bahwa kami hanya mempercayai sesgala hal yang dapat dideteksi dengan indera dan dibuktikan keberadaannya dengan cara eksperimen di laboratorium yang bersifat ilmiah.
Adapun selain cara itu, mereka anggap tidak ada artinya dan merupakan hayalan belaka. Dengan kata lain -menurut mereka- bahwa eksistensi konkrit adalah segala sesuatu yang dapat dibuktikan keberadanya secara eksperimen. Jika tidak, maka hal itu bersifat abstrak, merupakan hayalan belaka, tidak ilmiah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Konsekwensi dari ungkapan tersebut adalah bahwa -menurut pandangan mereka- ajaran agama itu tidak bersifat ilmiah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Karena agama menekankan pemeluknya untuk beriman dan meyakini keberadaan hal-hal yang bersifat gaib dan eksistensi supra-natural yang tidak dapat dibuktikan keberadaannya melalui jalan eksperimen secara indrawi.
Tentu saja agama apapun dengan keras menyangkal anggapan semacam itu. Karena salah satu kesamaan yang terdapat di antara semua ajaran agama adalah meyakini eksistensi non-inderawi dan supra-natural. Untuk membatalkan pendapat para pendukung materialisme -khususnya positifisme- yang mengingkari eksistensi immateri dan supra-natural, terlebih dahulu kita harus melakukan -minimal- dua hal; Pertama: Membuktikan keterbatasan indera manusia dalam melakukan eksperimen dan menyingkap segala eksistensi materi alam semesta. Kedua: Membuktikan keberadaan hal-hal yang bersifat non-inderawi, namun memiliki eksistensi riil.
Stigma yang belum tersingkap dari berbagai macam fenomena alam menunjukkan kelemahan eksperimen inderawi manusia. Lantas, apakah selama teka-teki tersebut tidak dapat dipecahkan dengan jalan akal pikiran, kita harus mengingkari keberadaannya di alam semesta ini? Kemudian jika telah dibuktikan keberadaannya melalui eksperimen, maka sesuatu yang semula kita ingkari keberadaannya itu lantas menjadi ada. Bukankah ungkapan tadi dapat diartikan bahwa ada dan tiadanya sesuatu itu sangat bergantung kepada eksperimen? Padahal banyak sekali hal-hal yang bersifat materi yang telah ada, namun belum bisa terungkap karena keterbatasan sarana yang dimiliki.
Dahulu, para ilmuwan mengatakan bahwa partikel terkecil yang ada di alam ini bernama atom. Karena pada saat itu partikel terkecik yang dapat dideteksi oleh alat pendeteksi tercanggih (mikroskop) hanyalah atom. Namun setelah mereka dapat menemukan alat pendeteksi yang lebih canggih, ternyata atompun tersusun dari beberapa partikel lagi, yaitu proton, netron dan elektron. Lantas, apakah ketika mereka belum menemukan alat pendeteksi yang lebih canggih tersebut ketiga partikel tadi harus kita katakan tidak ada karena belum terbukti secara eksperimen? Sebenarnya di dalam dunia materi ini masih sangat banyak eksistensi yang belum dapat diungkap melalui jalan eksperimen.
Ya, eksperimen inderawi memang perlu dipakai untuk menyingkap berbagai rahasia alam, namun tentunya tidak dapat mencakup seluruh eksistensi yang ada di alam raya ini. Hanya dengan berbekal eksperimen inderawi manusia tidak akan mampu menyingkap semua rahasia alam semesta. Karena ia hanyalah merupakan salah satu sarana dari beberapa sarana yang ada. Ini merupakan langkah pertama yang telah disinggung di atas. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa eksperimen memiliki banyak keterbatasan yang tidak mungkin dijadikan satu-satunya tolok ukur dalam menjawab teka-teki alam semesta ini.
Langkah kedua adalah membuktikan eksistensi non-materi dan bersifat supra-natural. Abu Ali Sina yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Sina adalah seorang filosof muslim paripatetik terkemuka. Dia pernah mengajarkan satu teori yang terkenal dengan sebutan “terbang di awang-awang” (al-khala’/ath-thair ala al-Hawa’). Beliau mengajarkan bagaimana cara untuk pembuktian keberadaan “aku” (al-Ana). Siapakah aku? Apakah aku “ada”? Pertanyaan tentang eksistensi diri (baca:jiwa). Apakah aku adalah tubuh materi ini, yang dapat berinteraksi melalui panca indera? Sehubungan dengan persoalan tersebut, Ibnu Sina memberikan resep untuk menjawab teka-teki tadi dengan mengajarkan sebuah terapi yang dapat membuktikan eksistensi diri.
Dia mengatakan: “Hendaknya anda berada di sebuah ruangan yang gelap dan sunyi, sekiranya semua panca indera anda dapat diistirahatkan secara total dan dalam posisi tubuh yang senyaman mungkin. Jika semua panca indera anda sudah dapat beristirahat secara total dan semua anggota tubuh anda telah lepas dari berbagai sentuhan dan ikatan apapun. Ketika itu bisikkan pada hati anda; apakah aku ini ada? Jika aku ini tidak ada, niscaya tidak akan pernah terlintas pertanyaan seperti itu pada diriku. Berarti aku ini ada. Tetapi siapakah aku? Apakah wujudku ini hanya berupa tubuh materi, padahal semua anggota tubuh materiku telah kuistirahatkan secara total?”.
Setelah anda melakukan perenungan melalui terapi semacam itu, pasti anda akan dapati bahwa sebenarnya diri anda memiliki eksistensi, namun ia adalah sesuatu yang bersifat non-materi. Hingga detik ini, para pengingkar eksistensi non-materi masih terus kebingungan tentang teka-teki yang menyebabkan manusia itu hidup. Tetapi di sisi lain, mereka tahu bahwa manusia itu dapat hidup karena keberadaan ruhnya. Namun apakah hakikat ruh? Berbagai eksperimen telah mereka lakukan, namun sedikitpun mereka tidak berhasil menyingkap esensi ruh manusia. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa ada eksistensi rill yang bersifat non-inderawi yang tidak dapat dibuktikan berdasarkan eksperimen inderawi, karena ia bersifat supra-natural.
Setelah kita meyakini keberadaan supra-natural di alam semesta ini, termasuk pada diri manusia yang biasanya disebut dengan ruh, jiwa, akal, hati sanubari, fitrah dan sebagainya, maka muncul pertanyaan dalam hati kita; dari manakah asal-muasal eksistensi supra-natural tersebut yang dari sisi tingkat kesempurnaannya di atas eksistensi material? Dari sinilah mulai muncul pembahasan tentang ketuhanan. Tuhan yang oleh setiap pemeluk agama diyakini sebagai sumber segala eksistensi. Tuhan merupakan eksistensi absolut, oleh karena itu konsekwensi logisnya adalah bahwa Dia dari segala sisi-Nya -termasuk semua atribut yang ada pada eksistensi dzat-Nya- bersifat absolut juga. Karena mustahil sesuatu yang terbatas terdapat pada sesuatu yang tidak terbatas dan bersifat absolut. Tuhan dengan keabsolutan-Nya, menjadi kausa prima dari alam semesta ini, baik yang bersifat materi maupun yang bersifat non-materi. Lalu, Benarkah eksistensi absolut yang bernama Tuhan itu ada, sebagaimana yang diklaim oleh para pengikut ajaran agama?
Cara Membuktikan Wujud Tuhan
Sebagaimana telah disinggung di atas, agama mengklaim bahwa sebenarnya ada eksistensi absolut sebagai pencipta alam semesta ini yang diberi nama Tuhan. Para agamawan dalam membuktikan keberadaan eksistensi tersebut memberikan berbagai macam argumen, dimana metode penggunaan dan penyampaian argumen tersebut sangat bergantung kepada disiplin ilmu masing-masing agamawan itu sendiri. Paling tidak, ada tiga metode yang mereka gunakan sebagai argumen keberadaan Tuhan; Pertama: Metode yang dipakai oleh para teolog. Selain berlandaskan pada argumen akal, metode ini juga bertumpu pada teks-teks agama dan fenomena keberagamaan yang lain. Kedua: Metode yang dipakai oleh para filosof. Penggunaan argumen akal murni merupakan ciri khas metode kedua ini. Ketiga: Metode yang dipakai oleh para ahli mistik (tasawuf/irfan). Metode ini lebih bertumpu pada pembuktian keberadaan Tuhan melalui penglihatan mata batin (kasyf wa syuhud) yang didahului oleh penyucian jiwa.
Metode pertama, selain memiliki cakupan argumen yang lebih luas, ia juga dapat dicerna oleh banyak kalangan dan lapisan. Karenanya metode tersebut lebih bersifat membumi dibanding dua metode lainnya. Oleh karena itu, dapat kita saksikan betapa banyak agamawan yang memiliki kecenderungan teologis dibanding dengan kecenderungan filosofis dan mistis. Alhasil, walaupun metode mereka berbeda, namun tujuan mereka satu, yaitu mengungkap teka-teki tentang Tuhan. Hal itu mengingat, bahwa mereka meyakini Tuhan sebagai Dzat Yang bersifat absolut. Sedang manusia -betapapun tinggi derajatnya- tetap memiliki keterbatasan dan berbagai kekurangan. Merupakan satu hal yang mustahil, apabila wujud dan eksistensi yang serba terbatas (manusia) mampu mengenal semua sisi wujud dan eksistensi yang tidak terbatas (Tuhan). Para agamawan tersebut meyakini bahwa semua eksistensi yang ada di alam semesta ini berasal dari Tuhan. Dengan demikian bahwa semua person eksistensi alam semesta ini bisa dijadikan sebagai sarana untuk mengenal penciptanya. Tentu hal itu sesuai dengan kapasitas kesempurnaan yang dimiliki oleh masing-masing person tersebut. Karena masing-masing person itu telah menjadi pengejawantahan kesempurnaan penciptanya.
Fitrah, Cara Mudah Mengenal Tuhan
Dari sekian argumen yang dikemukakan oleh para agamawan, argumen fitrah merupakan salah satu cara termudah untuk dapat mengenal Tuhan. Karena argumen ini bertumpu pada esensi dasar manusia. Oleh karenanya, setiap orang akan dapat mencernanya dengan lebih mudah, karena setiap manusia mesti memiliki esensi dasar tersebut.
Fitrah -dari sisi fungsinya- memiliki tiga kekhasan utama; Pertama: Cinta kepada kesempurnaan, Kedua: Cinta kepada kebenaran, dan Ketiga: Cinta kepada keindahan. Walaupun ketiga hal tersebut berbeda dari sisi konsep dan definisi, namun secara umum kekhasan kedua dan ketiga kembali kepada kekhasan yang pertama, yaitu cinta kepada kesempurnaan. Karena, meskipun secara praktis masing-masing dari keindahan dan kebenaran itu memiliki contoh luar (ekstensi/mishdaq) yang berbeda, namun secara global semua ekstensi dari dua hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk dari kesempurnaan.
Ditinjau dari sisi dasar eksistensinya, fitrah juga memiliki empat kekhasan; Pertama: Dia Tidak mengalami perubahan dengan berubahnya waktu dan tempat, Kedua: Dia bisa diperoleh tanpa memerlukan proses belajar-mengajar, Ketiga: Dia dimiliki oleh setiap manusia, walaupun pengaruhnya terhadap diri setiap individu berbeda-beda. Keempat: Dia senantiasa hadir dalam diri setiap insan, dan tidak akan pernah sirna dari diri mereka, karena ia merupakan bagian primer dari penciptaan manusia, dan merupakan esensi dasar bagi penciptaannya.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa fitrah insan senantiasa mengajarkan manusia untuk mencintai segala bentuk kesempurnaan. Seruan fitrah ini tidak akan pernah berhenti selama pemiliknya belum dapat menunaikan ajakannya tersebut dengan baik sesuai dengan idealisme fitrah. Bentuk kesempurnaan yang dilihat oleh fitrah insani adalah kesempurnaan yang bersifat absolut. Oleh karenanya, sebelum pemilik fitrah itu dapat mencapai kesempurnaan absolut, niscaya fitrah akan selalu mengajaknya menuju kepada kesempurnaan yang bersifat absolut tersebut. Tetapi, mengingat semua kesempurnaan yang ada pada eksistensi alam materi ini bersifat terbatas, sementara fitrah itu terus mengajak kepada suatu yang tidak terbatas, dengan demikian tidak ada jalan lain bagi pemilik fitrah kecuali ia harus menelusuri alam non-materi dan supra-natural demi mencari kesempurnaan yang dituntut oleh fitrah tersebut. Tetapi, alam non-materi pun memiliki gradasi wujud yang sangat banyak, dan semua gradasi wujud tersebut tetap tidak akan sesuai dengan seruan fitrah yang senantiasa menuntut kesempurnaan yang bersifat absolut. Oleh karena itu, hanya eksistensi yang bersifat absolut dan yang memiliki kesempurnaan absolut saja yang mampu menghentikan tuntutan fitrah. Eksistensi yang brsifat absolut dan memiliki kesempurnaan absolut itu -dalam bahasa agama- disebut Tuhan.
Ketika seseorang telah dapat menemukan pemilik kesempurnaan absolut (Tuhan) dan berhasil meraih-Nya, niscaya ia tidak akan menganggap lagi berbagai bentuk kesempurnaan apapun selain-Nya. Monoteisme sejati adalah seseorang yang menganggap bahwa kesempurnaan sejati itu hanya milik Tuhan. Dia sama sekali tidak mengharap dan menginginkan bentuk kesempurnaan apapun selain kesempurnaan Tuhan yang bersifat abstrak, apalagi sampai terikat padanya. Kalaupun dia berusaha mencari kesempurnaan selain kesempurnaan Tuhan, hal itu ia lakukan hanya sebagai sarana dan perantara untuk mencapai kesempurnaan yang lebih tinggi, yang berakhir pada kesempurnaan absolut yang ada pada Dzat Tuhan.
Setiap orang yang tidak mau berusaha untuk mengenal kesempurnaan absolut Tuhan, pasti akan merasa gundah dan gelisah terhadap tuntutan fitrah insaniahnya. Mengapa tidak? Di satu sisi, fitrah dirinya secara terus menerus menuntutnya untuk mencari kesempurnaan. Sedang di sisi lain, karena pengetahuannya terhadap konsep kesempurnaan hanya terbatas pada wujud materi saja, maka ia hanya akan menyibukkan dirinya dalam upaya mencari kesempurnaan tersebut di alam materi, sementara hal itu tidak dapat menghentikan tuntutan fitrahnya. Orang yang melihat kesempurnaan hanya pada harta kekayaan, niscaya ia akan memusatkan konsentrasinya secara penuh untuk meraih semua harta kekayaan semaksimal mungkin. Mengingat bahwa materi dan kekayaan duniawi bersifat terbatas, sementara fitrah insani menuntut kekayaan yang tidak terbatas (absolut), oleh karena itu meskipun kekayaan duniawi telah dapat ia raih, namun hal itu tidak akan dapat menghentikan tuntutan fitrahnya. Dia senantiasa akan diteror dengan tuntutan fitrah untuk memperoleh kekayaan absolut yang merupakan bagian dari kesempurnaan sejati. Dan hal itu tidak mungkin didapati kecuali dari Dzat Yang Maha Kaya, Pemilik kesempurnaan absolut.
Jadi, setiap manusia akan selalu dituntut dan dituntun oleh fitrahnya untuk menuju Dzat Yang Maha Sempurna. Dzat itulah yang dalam bahasa agama disebut sebagai Tuhan, yaitu pemilik kesempurnaan absolut.
Penutup
Mengenal dan membuktikan keberadaan Tuhan melalui sarana fitrah, merupakan jalan yang paling mudah diterima oleh banyak kalangan. Hal itu karena setiap manusia memiliki fitrah, sementara fitrah manusia senantiasa hadir dan tidak akan pernah sirna dari dirinya untuk selamanya. Kecintaan fitrah kepada segala bentuk kesempurnaan merupakan modal dasar kecintaannya kepada Tuhan, Sang Pemilik kesempurnaan sejati. Segala kesempurnaan di alam semesta ini merupakan tetesan dari pengejewantahan kesempurnaan Tuhan. Dengan kata lain sebagai “akibat” dari satu “sebab”. Oleh karenanya, “akibat” itu dapat mengantarkan manusia kepada “sebab”nya yang hakiki (Bermula dari berbagai “akibat” dan berujung kepada satu “sebab”). Hal itu karena fitrah selalu menuntut hal yang paling hebat (perfect) dari berbagai kesempurnaan yang ada. Dari sekian mata rantai sebab-akibat di alam semesta ini, tidak ada yang lebih hebat kesempurnaannya selain sebab utama keberadaan alam semesta, Dia-lah kausa prima dan sekaligus merupakan titik akhir segala bentuk kesempurnaan yang dikehendaki oleh fitrah. Meskipun terkadang terdapat penyimpangan dalam persoalan penentuan realitas luar (ekstensi) bentuk kesempurnaan, namun dengan sedikit perenungan, manusia akan memahami dan menyadari bahwa apa yang selama ini ia anggap sebagai kesempurnaan sejati ternyata hanyalah kesempurnaan semu dan abstrak. Hidup memang membutuhkan perenungan di samping berpikir.
(Alhassanain/Al-Shia/Tebyan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email