Pesan Rahbar

Home » » Terkait Pribumi Dalam Sejarah; Bukan Sekadar Onderdaan

Terkait Pribumi Dalam Sejarah; Bukan Sekadar Onderdaan

Written By Unknown on Wednesday 18 October 2017 | 19:57:00

Zaman kolonial, orang-orang Tionghoa dijadikan warga kelas dua. Mereka diandalkan dalam bidang ekonomi, tetapi dibatasi dalam urusan politik. Reformasi membawa berkah.


Pemerintah di Hindia Belanda “memecah belah” kalangan Tionghoa dengan menggunakan orang-orang Tionghoa untuk mengatur orang-orang etnisnya. Belanda memberi gelar tituler seperti Mayor atau Kapitan kepada orang-orang Tionghoa yang bisa mereka ajak kerjasama. Di Batavia, pembagian itu lebih jelas terlihat dengan adanya benteng sebagai pembatas wilayah kota-luar kota. Orang-orang Tionghoa yang tinggal di dalam benteng umumnya menurut kepada pemerintah.

Perlakuan diskriminatif seperti itulah yang turut berperan penting terhadap terjadinya Pembantaian Etnis Tionghoa 1740, di mana 10 ribua-an Tionghoa menjadi korban. Pasca-pembantaian, perlakuan diskriminatif yang Tionghoa terima malah kian menjadi-jadi. Kebijakan passenstelsel dan wijkenstelsel dikeluarkan Belanda untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk lain. Kebijakan itu diperkuat lagi dengan keluarnya Regerings Reglement –stratifikasi sosial berdasarkan ras– pada 1854. Akibatnya, orang Tionghoa menanggung “biaya” sosial yang tidak murah, mereka dilabelkan ekslusif. Orang-orang non-Tionghoa kian cemburu.

Perlakuan diskriminatif selama bertahun-tahun telah membuat orang-orang Tionghoa “tidak tahu” lingkungan sekitar. Dalam beberapa hal mereka merasa tertinggal. Orang-orang Tionghoa yang sadar akan kekurangan itu akhirnya banyak berkumpul dan mendirikan perkumpulan. Tiong Hoa Hwee Koan, Chung Hwa Hwee, Siang Hwee merupakan sedikit nama dari organisasi-organisasi Tionghoa itu. Pada masa ini kesadaran akan eksistensi mereka mulai tumbuh. Mereka banyak aktif di berbagai bidang, termasuk bidang sosial –bidang yang selama ini dianggap “jauh” dari mereka.

Pengaruh revolusi Dr Sun Yat Sen juga turut menumbuhkan rasa nasionalisme orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda. Loyalitas mereka kepada pemerintah Hindia Belanda menyurut. “Terbukti dengan adanya aksi boikot para pedagang Tionghoa Surabaya kepada perusahaan dagang Belanda tahun 1902 dan insiden pengibaran bendera nasionalis Tiongkok pada Imlek 1912,” tulis Benny.

Seorang penulis peranakan, Kwee Tek Hoai, pernah membagi warga Tionghoa menjadi tiga kelompok besar. Pertama, Sin Po, kelompok yang berorientasi ke Tiongkok. Nama Sin Po diambil dari nama harian terkemuka di Indonesia, terbit tahun 1910 di Batavia. Sin Po berorientasi ke Tiongkok dan menganjurkan Hoa Kiao memertahankan identitas sebagai warga Tiongkok dan menolak menjadi Nederlands Onderdaan, kawula negara Belanda.

Kedua, Chung Hua Hwee (CHH), didirikan 8 April 1928. Secara politik, CHH berorientasi kepada pemerintah Belanda dengan pemikiran menjadi Nederlands onderdaan adalah satu kenyataan. Ketiga, Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang didirikan tanggal 25 September 1932 oleh Liem Koen Hian, Ong Liang Kok. PTI berorientasi kepada gerakan nasionalisme Indonesia.

Masa kolonialisme Belanda telah mengangkat peran para peranakan –terutama orang Tionghoa yang “telah lepas” dari budaya asal. “Karena mereka Hollandsch spreeken, otomatis mereka dekat dengan penguasa,” kata Eddie Lembong. Namun peran warga keturunan tak lagi dominan saat Jepang datang.

Pada periode Jepang (1942-1945), giliran orang-orang Tionghoa totok yang memegang peranan. Menurut Eddie Lembong, hal itu terjadi lantaran hanya orang totoklah yang bisa membaca huruf kanji. Jepang butuh mereka yang mengerti bahasa Kanji. Peranakan, yang Hollandsch spreeken, pun tersisih dari pentas. “Pendulum kembali bergeser,” ujar mantan ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) itu.

Ketika Jepang hengkang dan proklamasi kemerdekaan dibacakan Bung Karno, kesadaran masyarakat akan kemerdekaan terus menguat. Saat yang bersamaan banyak juga orang Tionghoa yang menaruh simpati. Mereka ikut berjuang langsung di medan pertempuran untuk memertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebut saja salah satunya Laksamana John Lie.

Meskipun begitu, sentimen anti-Tionghoa belum benar-benar hilang. Bahkan Bung Tomo, tokoh pertempuran Surabaya yang baru-baru ini diangkat sebagai pahlawan nasional, pun pernah menyebarkan nada rasialis dalam pidatonya. Go Gien Tjwan, pemimpin Angkatan Muda Tionghoa di Malang yang waktu itu ditunjuk sebagai juru bicara, pun memerlukan diri untuk menjawab pidato itu. "Musuh rakyat Indonesia bukan etnis Tionghoa melainkan Belanda," kata Gien Tjwan seperti dikutip dari buku Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik.

Kalangan Tionghoa memang tidak memiliki satu orientasi politik, seperti juga yang terjadi pada zaman kolonial. Sebagian dari mereka juga ada yang memihak Belanda/Sekutu. Pao An Tui, barisan keamanan orang Tionghoa semasa revolusi fisik, banyak yang mendukung NICA saat Pertempuran 10 Nopember berlangsung, sebagaimana kesaksian dari Soemarsono –pemimpin pemuda Republik– dalam Negara Madiun. Organisasi dalam Pao An Tui begitu rapi sehingga organisasi ini, “dikenal kejam, sangar dan tergolong milisi paling kuat di Indonesia,” tulis sejarawan muda Universitas Negeri Medan Nasrul Hamdani dalam “Pao An Tui Medan 1946-1948”.

Cepatnya perubahan yang terjadi pasca-Indonesia merdeka turut berpengaruh terhadap eksistensi etnis Tionghoa. Beragamnya asal daerah, orientasi politik dan lain sebagainya, membuat tidak ada kesatuan yang benar-benar padu di antara mereka. Periode revolusi fisik itu, satu hal penting yang menandai eksistensi etnis Tionghoa di sini adalah pembunuhan orang Tionghoa di Tangerang pada 11 Juni 1946 yang memakan korban 600-an jiwa.

Terlepas dari pro-kontra yang ada mengenai peran ekonominya, etnis Tionghoa tetap menjadi pemain utama dan “dibutuhkan” siapa pun. Cengekeraman mereka sudah tak diragukan lagi kekuatannya. Pemerintah melalui Kabinet Ali Sastroamidjojo mencoba menjinakkan etnis itu dengan membatasi perdagangan mereka. Tapi tetap tidak berhasil, kongkalikong antara pejabat dan pedagang etnis Tionghoa malah memopulerkan istilah “Ali-Baba”. Nasution yang ketika berkuasa melalui SOB –Staten van Oorlog en Beleg, Keadaan Darurat Perang– mencoba mengeluarkan aturan pembatasan peran ekonomi etnis Tionghoa, dengan melarang mereka berdagang hingga ke wilayah pedesaan, tetap tidak berhasil.

Seberapa pun buruknya perlakuan tidak enak yang etnis Tionghoa terima pada masa Orde Lama, mungkin masih lebih baik ketimbang masa-masa pasca-G 30 S, ketika Orde Baru berkuasa. Etnis Tionghoa benar-benar dijadikan “mesin” penghasil uang. Mereka dijadikan ujung tombak perekonomian. Di satu sisi kebutuhan materiil mereka “dijamin”, tapi eksistensi mereka, kemanusiaan mereka tidak dihargai sedikit pun. Hak-hak seperti politik, agama, atau budaya mereka benar-benar dipapras penguasa. Suara mereka dibungkam bertahun-tahun. Orde Baru juga terus memberi stigma negatif terhadap mereka di samping mencitrakan mereka homogen dan PKI. Orde Baru juga menamakan mereka dengan Cina –tentu konotasinya negatif. Hanya sebagian kecil etnis itu, yang dekat dengan istana, yang benar-benar bisa menikmati “fasilitas”.

Sebagian kecil etnis Tionghoa yang dekat penguasa itu punya peran yang dominan di bidang ekonomi. Perekonomian negara “ditentukan” mereka. Kecemburuan sosial pun terus membesar bagai bola salju. Kecemburuan itu pula yang mendasari beberapa kali kerusuhan rasial yang menimpa etnis Tionghoa. Tak heran ketika krisis moneter 1997 melanda negeri ini, yang turut disebabkan ulah segelintir pengusaha Tionghoa, mereka kembali jadi bulan-bulanan rakyat yang bertahun-tahun menaruh dendam. Lagi-lagi, ulah sebagian kecil etnis Tionghoa harus dipikul rata akibat buruknya oleh mereka semua yang beretnis Tionghoa.

Ketika Orde Baru tumbang dan kebebasan datang, etnis Tionghoa belum benar-benar terbebas dari ketakutan. Rakyat masih banyak yang menaruh curiga. Sentimen rasial masih tetap ada. Tapi, kebebasan dan harga diri etnis Tionghoa berangsur-angsur membaik. Terlebih ketika Gus Dur naik memerintah, kemanusiaan dan harga diri mereka benar-benar “pulih”. Mereka dibebaskan menggelar pertunjukan-pertunjukan budaya di depan umum, Kong Hu Cu diakui sebagai salah satu agama resmi di negeri ini, dan seterusnya. Kini, setelah lebih satu dasawarsa reformasi berlangsung, etnis Tiongha –sama seperti etnis-etnis lain– juga punya tanggung jawab untuk tetap menjaga keharmonisan hubungan antar-etnis.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: