Jauh sebelum Indonesia berdiri, orang-orang Tionghoa telah menjalin relasi dengan orang-orang di Nusantara. Salah satu versi menyebut, merekalah penyebar ajaran Islam.
April 2010 lalu pemerintah Indonesia dan RRC merayakan 60 tahun hubungan diplomatiknya. Hubungan kedua negara sempat putus ketika rezim Orde Baru berkuasa di Indonesia. Tali persahabatan baru terjalin lagi pada Agustus 1990. Semakin diperkuat lagi saat Gus Dur menjadi Presiden. Meskipun demikian, masyarakat kedua belah pihak telah berinteraksi jauh sebelum kedua negara berdiri pasca-Perang Dunia Kedua.
Pada abad ke-4 Masehi Fa Hien, pendeta Budha Tionghoa, telah mengunjungi Jawa dalam perjalanannya ke India. “Ia tinggal di Jawa sekitar lima bulan, dari Desember 412 sampai Mei 413,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Bagian II, Jaringan Asia. Catatan perjalanannya itu ia tuangkan ke dalam naskah yang berjudul Fahueki. Selain Fa Hien, bukti dari keramik-keramik Tiongkok yang ditemukan di Jawa juga menunjukkan kesamaan waktu dengan teks-teks antara abad kelima dan keduabelas Masehi.
Setelah Fa Hien, banyak pendeta Tionghoa lain yang mengikuti jejaknya. Sun Yun, Hwui Ning, dan I Tsing merupakan tiga di antaranya. I Tsing malah 14 tahun menetap di Sriwijaya. Pengalamannya itu ia catat ke dalam Nan Hai Chi Kuei Fa Ch’uan dan Ta T’ang Si Yu Ku Fa Kao Seng Ch’uan. “Hingga abad ketujuh hanya pendeta Buddha Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India yang mengunjungi Sriwijaya,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik.
Dalam perkembangan selanjutnya, kian banyak orang Tionghoa datang ke Nusantara. Mereka lebih memilih jalur laut lantaran jalur darat kian sulit dilalui. “Menurut catatan yang ada, orang-orang Tionghoa mulai berdatangan ke Nusantara pada abad kesembilan, yaitu pada zaman Dinasti Tang, untuk berdagang dan mencari kehidupan baru,” tulis Benny.
Barang dagangan mereka terutama sutra, batu permata, dan guci. Sebaliknya, mereka sangat membutuhkan beragam komoditas yang ada di Jawa seperti rempah-rempah, katun, hasil pertanian, buah-buahan, dan sebagainya. “Para pedagang Cina,” demikian Dennys Lombard, “membuat keuntungan yang sedemikian besarnya hingga kepeng Cina dari tembaga mereka selundupkan keluar untuk menukarnya di Jawa dengan lada.”
Pulau Jawa yang kaya telah menarik banyak pihak untuk mendatanginya. Itu pula yang menyebabkan aturan perdagangan resmi kerajaan Tiongkok dilanggar, yakni tentang pelarangan ekspor kepeng Cina tembaga dalam jumlah besar. “Jawa mempunyai reputasi yang agaknya beralasan sebagai negeri penampung kekayaan uang, ‘negeri penyedot’, yang dalam abad-abad sebelumnya telah menghimpun harta kekayaan besar,” tulis Lombard.
Banyak perantau Tionghoa menetap di berbagai wilayah Nusantara, terutama di Jawa. Tidak sedikit pula mereka yang kemudian menikahi penduduk setempat dan beranak-pinak. “Kegiatan dagang antara Jawa dan Cina pada waktu itu meningkat dan bahwa di Jawa sendiri peran masyarakat Cina dalam bidang perniagaan semakin lama semakin meningkat.”
Keuletan dan kehematan sangat menentukan keberhasilan orang-orang Tionghoa yang merantau ke sini meskipun faktor-faktor yang lain juga tetap penting. Orang-orang Tionghoa sejak dulu juga memiliki pengetahuan yang cukup maju. Di bidang maritim, junk menjadi salah satu bukti majunya teknologi orang-orang Tionghoa sejak berabad-abad silam. “Sejak dinasti Song orang Cina memainkan peran yang menentukan dalam kemajuan teknik-teknik kemaritiman,” tulis Lombard.
Corak perniagaan kemudian juga berubah. Pada masa Majapahit, perdagangan tidak bebas lagi. Kegiatan itu diserahkan kepada pegawai yang mengurusi dan keuntungannya untuk negara. “Ada alasan kuat untuk memperkirakan – meskipun sumber-sumber dalam hal ini pun sangat singkat – bahwa di Majapahit, seperti di Cina pada zaman Song atau Ming, ataupun di Siam abad ke-17 dan ke-18, perniagaan diselenggarakan demi negara,” tulis Lombard.
Seiring waktu, hubungan Tionghoa-Nusantara kian berkembang ke berbagai bidang. Dalam sebuah linggapala peninggalan Dinasti Sung (960-1279) yang ditemukan pada 1961 di Kanton, misalnya, tertulis mengenai sumbangan Sriwijaya untuk keperluan pembangunan kembali kuil Tien Ching di Kanton. “Prasasti itu merupakan lambang dari persahabatan tradisionil antara Tiongkok dan Indonesia,” tulis Benny. Hubungan mereka terus berlanjut. Sriwijaya pun rajin mengirim utusannya ke Tiongkok. “Dapat dikatakan bahwa hubungan antara Cina dan Sumatra Selatan pada masa itu tampaknya tidak hanya menyangkut perdagangan tetapi juga kebudayaan,” tulis Lombard.
“Penaklukan propinsi-propinsi di Cina selatan oleh bangsa Monggol, lalu pengiriman ekspedisi-ekspedisi yang terutama terbentuk dari para pelaut dan serdadu yang direkrut dari bagian selatan kekaisaran itu, mungkin sekali mempercepat gerak perantauan Cina ke Asia Tenggara,” tulis Lombard. Hal senada juga ditulis Bernard HM Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia.
Dalam bidang kebudayaan, banyak pengaruh budaya Tionghoa yang diadopsi penduduk Nusantara. Meski kadarnya berbeda-beda, seni musik, seni pertunjukan, arsitektur, dan sebagainya hampir semua ada pengaruh Tionghoanya. Sulaman Minangkabau, misalnya, menurut Sativa Sutan Aswar dalam “Pengaruh Budaya Tionghoa Dalam Sulaman Minangkabau,”juga kuat pengaruh budaya Tionghoanya.
Di bidang politik, persentuhan Tionghoa-Nusantara telah berjalan berabad-abad lamanya. Pengiriman utusan Sriwijaya ke Tiongkok, merupakan salah satu bukti kuat di masa awal hubungan. Hubungan ini terus berkembang dan semakin ke sini, dinasti-dinasti yang memerintah Tiongkok tidak hanya berhubungan dengan satu kerajaan saja. Perutusan dan upeti yang terus dikirim raja-raja Jawa menjadi tanda keselarasan hubungan mereka. Ketika Kertanegara memerintah di Singosari, hubungan itu sempat rusak. Kertanegara mempermalukan utusan Kubilai Khan. Namun ketika Majapahit berkuasa, hubungan kembali mesra. Bahkan, gambaran lengkap mengenai masa akhir Majapahit yang “gelap”, terdapat dalam kronik Sam Po Kong. Dari kronik itu pula diketahui bahwa orang Tionghoa pernah ada yang diangkat menjadi penguasa Majapahit: Njoo Lay Wa. Namun, bekas rakyat Majapahit kurang simpatik kepadanya dan pada 1485, “timbul pemberontakan anti-Tionghoa di pelbagai tempat di wilayah Majapahit,” tulis Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara.
Ketika Islam mulai tumbuh dan akhirnya berkuasa di Nusantara, peran Tionghoa dalam penyebaran agama itu juga besar. Walisongo yang di Jawa dianggap sebagai penyiar Islam, kebanyakan merupakan orang Tionghoa. Sunan Ampel, misalnya, nama aslinya adalah Bong Swi Hoo. Dia datang ke Jawa pada 1445. Buah pernikahannya dengan Ni Gede Manila (anak mantan kapitan Tionghoa di Manila Gan Eng Cu) adalah Bonang (Sunan Bonang) dan Gan Si Cang atau Raden Said (Sunan Kalijaga). Selain itu, anggota walisongo yang lain adalah Toh A Bo (Sunan Gunung Jati) dan Ja Tik Su (Sunan Kudus). Orang-orang Tionghoa juga turut andil dalam berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Pendiri kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak, adalah Jin Bun alias Raden Fatah.
Ketika kerajaan-kerajaan Islam berkuasa atas kebanyakan wilayah Nusantara, misi persahabatan Tionghoa pimpinan Laksamana Cheng Ho tiba di Jawa. Kala itu peranan orang Tionghoa telah besar. Keahlian mereka dalam beragam bidang, menurut Eddie Lembong, pengusaha keturunan yang kini mengelola Yayasan Nabil, membuat banyak pihak menggunakan jasanya. “Di zaman sebelum Belanda datang, orang Tionghoa dekat dengan istana-istana. Yang mengurus keuangan di keraton atau yang membuat bangunan-bangunan keraton dan segala macam yang lain-lain, banyak sekali panggil orang-orang Tionghoa,” lanjut Edi.
Eddie benar. Salah satu nama arsitek asal negeri Tiongkok yang membantu Kesultanan Banten mendirikan menara masjidnya adalah Cek Ban Cut. Ban Cut mendesain dan membantu Banten mendirikan menara masjid yang sampai kini masih berdiri megah. Dari corak arsiteknya bisa dilihat pengaruh gaya Tiongkok. Ban Cut kemudian masuk Islam dan dianugerahi gelar Pangeran Wiradiguna oleh Sultan Banten. Keadaan itu berubah saat penjajah Barat datang, mendirikan hegemoni kekuasaan kolonial di Nusantara. Belanda membuat peraturan kewarganegaraan berdasarkan apartheid, memilah kelompok warganya berdasarkan warna kulit dan ras. Warga Tionghoa yang sudah berbaur dengan warga pribumi sejak berabad sebelumnya, di bawah kolonialisme kembali “dipisahkan” untuk kepentingan penjajahan itu sendiri.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
April 2010 lalu pemerintah Indonesia dan RRC merayakan 60 tahun hubungan diplomatiknya. Hubungan kedua negara sempat putus ketika rezim Orde Baru berkuasa di Indonesia. Tali persahabatan baru terjalin lagi pada Agustus 1990. Semakin diperkuat lagi saat Gus Dur menjadi Presiden. Meskipun demikian, masyarakat kedua belah pihak telah berinteraksi jauh sebelum kedua negara berdiri pasca-Perang Dunia Kedua.
Pada abad ke-4 Masehi Fa Hien, pendeta Budha Tionghoa, telah mengunjungi Jawa dalam perjalanannya ke India. “Ia tinggal di Jawa sekitar lima bulan, dari Desember 412 sampai Mei 413,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Bagian II, Jaringan Asia. Catatan perjalanannya itu ia tuangkan ke dalam naskah yang berjudul Fahueki. Selain Fa Hien, bukti dari keramik-keramik Tiongkok yang ditemukan di Jawa juga menunjukkan kesamaan waktu dengan teks-teks antara abad kelima dan keduabelas Masehi.
Setelah Fa Hien, banyak pendeta Tionghoa lain yang mengikuti jejaknya. Sun Yun, Hwui Ning, dan I Tsing merupakan tiga di antaranya. I Tsing malah 14 tahun menetap di Sriwijaya. Pengalamannya itu ia catat ke dalam Nan Hai Chi Kuei Fa Ch’uan dan Ta T’ang Si Yu Ku Fa Kao Seng Ch’uan. “Hingga abad ketujuh hanya pendeta Buddha Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India yang mengunjungi Sriwijaya,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik.
Dalam perkembangan selanjutnya, kian banyak orang Tionghoa datang ke Nusantara. Mereka lebih memilih jalur laut lantaran jalur darat kian sulit dilalui. “Menurut catatan yang ada, orang-orang Tionghoa mulai berdatangan ke Nusantara pada abad kesembilan, yaitu pada zaman Dinasti Tang, untuk berdagang dan mencari kehidupan baru,” tulis Benny.
Barang dagangan mereka terutama sutra, batu permata, dan guci. Sebaliknya, mereka sangat membutuhkan beragam komoditas yang ada di Jawa seperti rempah-rempah, katun, hasil pertanian, buah-buahan, dan sebagainya. “Para pedagang Cina,” demikian Dennys Lombard, “membuat keuntungan yang sedemikian besarnya hingga kepeng Cina dari tembaga mereka selundupkan keluar untuk menukarnya di Jawa dengan lada.”
Pulau Jawa yang kaya telah menarik banyak pihak untuk mendatanginya. Itu pula yang menyebabkan aturan perdagangan resmi kerajaan Tiongkok dilanggar, yakni tentang pelarangan ekspor kepeng Cina tembaga dalam jumlah besar. “Jawa mempunyai reputasi yang agaknya beralasan sebagai negeri penampung kekayaan uang, ‘negeri penyedot’, yang dalam abad-abad sebelumnya telah menghimpun harta kekayaan besar,” tulis Lombard.
Banyak perantau Tionghoa menetap di berbagai wilayah Nusantara, terutama di Jawa. Tidak sedikit pula mereka yang kemudian menikahi penduduk setempat dan beranak-pinak. “Kegiatan dagang antara Jawa dan Cina pada waktu itu meningkat dan bahwa di Jawa sendiri peran masyarakat Cina dalam bidang perniagaan semakin lama semakin meningkat.”
Keuletan dan kehematan sangat menentukan keberhasilan orang-orang Tionghoa yang merantau ke sini meskipun faktor-faktor yang lain juga tetap penting. Orang-orang Tionghoa sejak dulu juga memiliki pengetahuan yang cukup maju. Di bidang maritim, junk menjadi salah satu bukti majunya teknologi orang-orang Tionghoa sejak berabad-abad silam. “Sejak dinasti Song orang Cina memainkan peran yang menentukan dalam kemajuan teknik-teknik kemaritiman,” tulis Lombard.
Corak perniagaan kemudian juga berubah. Pada masa Majapahit, perdagangan tidak bebas lagi. Kegiatan itu diserahkan kepada pegawai yang mengurusi dan keuntungannya untuk negara. “Ada alasan kuat untuk memperkirakan – meskipun sumber-sumber dalam hal ini pun sangat singkat – bahwa di Majapahit, seperti di Cina pada zaman Song atau Ming, ataupun di Siam abad ke-17 dan ke-18, perniagaan diselenggarakan demi negara,” tulis Lombard.
Seiring waktu, hubungan Tionghoa-Nusantara kian berkembang ke berbagai bidang. Dalam sebuah linggapala peninggalan Dinasti Sung (960-1279) yang ditemukan pada 1961 di Kanton, misalnya, tertulis mengenai sumbangan Sriwijaya untuk keperluan pembangunan kembali kuil Tien Ching di Kanton. “Prasasti itu merupakan lambang dari persahabatan tradisionil antara Tiongkok dan Indonesia,” tulis Benny. Hubungan mereka terus berlanjut. Sriwijaya pun rajin mengirim utusannya ke Tiongkok. “Dapat dikatakan bahwa hubungan antara Cina dan Sumatra Selatan pada masa itu tampaknya tidak hanya menyangkut perdagangan tetapi juga kebudayaan,” tulis Lombard.
“Penaklukan propinsi-propinsi di Cina selatan oleh bangsa Monggol, lalu pengiriman ekspedisi-ekspedisi yang terutama terbentuk dari para pelaut dan serdadu yang direkrut dari bagian selatan kekaisaran itu, mungkin sekali mempercepat gerak perantauan Cina ke Asia Tenggara,” tulis Lombard. Hal senada juga ditulis Bernard HM Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia.
Dalam bidang kebudayaan, banyak pengaruh budaya Tionghoa yang diadopsi penduduk Nusantara. Meski kadarnya berbeda-beda, seni musik, seni pertunjukan, arsitektur, dan sebagainya hampir semua ada pengaruh Tionghoanya. Sulaman Minangkabau, misalnya, menurut Sativa Sutan Aswar dalam “Pengaruh Budaya Tionghoa Dalam Sulaman Minangkabau,”juga kuat pengaruh budaya Tionghoanya.
Di bidang politik, persentuhan Tionghoa-Nusantara telah berjalan berabad-abad lamanya. Pengiriman utusan Sriwijaya ke Tiongkok, merupakan salah satu bukti kuat di masa awal hubungan. Hubungan ini terus berkembang dan semakin ke sini, dinasti-dinasti yang memerintah Tiongkok tidak hanya berhubungan dengan satu kerajaan saja. Perutusan dan upeti yang terus dikirim raja-raja Jawa menjadi tanda keselarasan hubungan mereka. Ketika Kertanegara memerintah di Singosari, hubungan itu sempat rusak. Kertanegara mempermalukan utusan Kubilai Khan. Namun ketika Majapahit berkuasa, hubungan kembali mesra. Bahkan, gambaran lengkap mengenai masa akhir Majapahit yang “gelap”, terdapat dalam kronik Sam Po Kong. Dari kronik itu pula diketahui bahwa orang Tionghoa pernah ada yang diangkat menjadi penguasa Majapahit: Njoo Lay Wa. Namun, bekas rakyat Majapahit kurang simpatik kepadanya dan pada 1485, “timbul pemberontakan anti-Tionghoa di pelbagai tempat di wilayah Majapahit,” tulis Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara.
Ketika Islam mulai tumbuh dan akhirnya berkuasa di Nusantara, peran Tionghoa dalam penyebaran agama itu juga besar. Walisongo yang di Jawa dianggap sebagai penyiar Islam, kebanyakan merupakan orang Tionghoa. Sunan Ampel, misalnya, nama aslinya adalah Bong Swi Hoo. Dia datang ke Jawa pada 1445. Buah pernikahannya dengan Ni Gede Manila (anak mantan kapitan Tionghoa di Manila Gan Eng Cu) adalah Bonang (Sunan Bonang) dan Gan Si Cang atau Raden Said (Sunan Kalijaga). Selain itu, anggota walisongo yang lain adalah Toh A Bo (Sunan Gunung Jati) dan Ja Tik Su (Sunan Kudus). Orang-orang Tionghoa juga turut andil dalam berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Pendiri kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak, adalah Jin Bun alias Raden Fatah.
Ketika kerajaan-kerajaan Islam berkuasa atas kebanyakan wilayah Nusantara, misi persahabatan Tionghoa pimpinan Laksamana Cheng Ho tiba di Jawa. Kala itu peranan orang Tionghoa telah besar. Keahlian mereka dalam beragam bidang, menurut Eddie Lembong, pengusaha keturunan yang kini mengelola Yayasan Nabil, membuat banyak pihak menggunakan jasanya. “Di zaman sebelum Belanda datang, orang Tionghoa dekat dengan istana-istana. Yang mengurus keuangan di keraton atau yang membuat bangunan-bangunan keraton dan segala macam yang lain-lain, banyak sekali panggil orang-orang Tionghoa,” lanjut Edi.
Eddie benar. Salah satu nama arsitek asal negeri Tiongkok yang membantu Kesultanan Banten mendirikan menara masjidnya adalah Cek Ban Cut. Ban Cut mendesain dan membantu Banten mendirikan menara masjid yang sampai kini masih berdiri megah. Dari corak arsiteknya bisa dilihat pengaruh gaya Tiongkok. Ban Cut kemudian masuk Islam dan dianugerahi gelar Pangeran Wiradiguna oleh Sultan Banten. Keadaan itu berubah saat penjajah Barat datang, mendirikan hegemoni kekuasaan kolonial di Nusantara. Belanda membuat peraturan kewarganegaraan berdasarkan apartheid, memilah kelompok warganya berdasarkan warna kulit dan ras. Warga Tionghoa yang sudah berbaur dengan warga pribumi sejak berabad sebelumnya, di bawah kolonialisme kembali “dipisahkan” untuk kepentingan penjajahan itu sendiri.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email