Bisnis kelompok Tionghoa mengalami jatuh-bangun seiring pergantian kekuasaan dan iklim usaha yang tak menentu. Banyak yang tumbang, ada pula yang bertahan.
Pada 18 Desember 1639, Gubernur Jenderal Antonio van Diemen memberitakan kepada atasannya di Negeri Belanda, Heeren XVII, bahwa, “Saudagar Besar Cina Jan Con” telah meninggal dunia mendadak dengan meninggalkan kebangkrutan.
Jan Con adalah orang Tionghoa gelombang pertama yang lagi menyesuaikan hidup di Hindia. Sejak awal abad ke-17, gelombang imigran Tionghoa datang ke Hindia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka menetap, membentuk komunitas, bahkan menikah dengan penduduk pribumi dan melahirkan keturunan –yang kemudian disebut peranakan. Mereka bekerja sebagai buruh, pedagang kecil, atau pedagang perantara.
Sebagai pedagang, mereka berpengalaman. Jaringannya luas dan terbentang meliputi seluruh Nusantara jauh sebelum VOC menguasai kawasan ini. Tak heran jika VOC, sekalipun ingin memonopoli perdagangan, tak bisa mengabaikan peran perekonomian mereka, terutama untuk memasok barang-barang komoditas.
Bisnis kelompok Tionghoa juga naik-turun, tergantung situasi politik di Negeri Tiongkok dan perubahan kebijakan politik penguasa di Hindia. Kaisar pernah melarang pelayaran dan perdagangan ke seberang lautan. Tapi ini tak menyurutkan orang-orang Tionghoa, dengan modal sendiri, untuk tetap berdagang.
Jan Con mula-mula bekerja di bawah kekuasaan Banten, kemudian beralih ke Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), persekutuan dagang Belanda, di Batavia. Con mendapat pinjaman lahan, jadi pemasok kayu dan kontraktor untuk pembangunan kota Batavia, pemungut pajak, jadi juru runding bagi VOC dengan Banten, dan mendirikan pabrik gula dan garam. Kontan dia jadi pengusaha kaya tapi utangnya kian menumpuk. Kepada Kompeni saja, tunggakannya mencapai 27.500 real. Harta miliknya pun disita.
Sejak kematiannya, penguasa lebih berhati-hati dalam berurusan dagang dengan orang Tionghoa. Sebaliknya, orang Tionghoa mulai berpikir bagaimana kepentingan bisnisnya terlindungi sekaligus terjamin.
“Dia hidup dalam zaman pelopor, tatkala ketertiban masyarakat dalam arti penyelenggaraan keamanan bagi pribadi dan harta miliknya masih dalam proses pembentukan,” ujar Leonard Blusse, yang menulis kisah Jan Con dengan apik dalam Persekutuan Aneh.
Hubungan VOC dengan kelompok Tionghoa tidaklah selalu mulus. Sejarah mencatat bagaimana VOC membatasi gerak dan usaha mereka, bahkan melakukan genosida. Pada 1799, VOC bangkrut karena korupsi, dan pemerintah Belanda menggantikannya. Posisi kelompok Tionghoa tetap penting, terlebih ketika pemerintah mengambil kebijakan liberalisasi perdagangan. Di industri gula, Oei Tiong Ham pernah jadi yang tersukses.
Ayah Tiong Ham, Oei Tjie Sien, bermigrasi dari Fukien ke Semarang pada akhir 1850-an. Dia memulai bisnis gula beberapa tahun kemudian dengan nama Kian Gwan, dan sukses. Tiong Ham, yang lahir di Semarang, kemudian memimpin bisnis keluarga ini dan menjadinya kelompok bisnis terbesar di Asia Tenggara. Pada 1930, kelompok ini memiliki cabang di sejumlah negara, lima pabrik gula, perusahaan pelayaran, bank pertama di Jawa, perusahaan konstruksi dan real estate, dan perusahaan pergudangan besar yang beroperasi di sejumlah wilayah di Jawa. Pada tahun itu asetnya lebih dari ƒ.80 juta.
Sejumlah Tionghoa lainnya, terutama peranakan, juga berhasil mendapat status ekonomi yang tinggi. Penguasa Belanda memberi dukungan berupa modal dan kepercayaan. Bisnis mereka masih bersifat lokal, dan umumnya ditangani oleh keluarga. Sementara kelompok totok, lahir di China dan tinggal di Indonesia, masih tertinggal dari peranakan.
Ironisnya, kedua kelompok Tionghoa itu memandang rendah satu sama lain, karena perbedaan bahasa, sejarah perpindahan, proses asimilasi, dan kesenjangan ekonomi. Gerakan pan-China di Hindia Belanda, melalui Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), sempat menyatukan keduanya. Tapi kebijakan baru Belanda kembali memecah-belah komunitas Tionghoa, yang lebih menguntungkan kelompok peranakan.
Kelompok totok umumnya berbisnis jual-beli eceran di Jawa dan Sumatra. Kebanyakan pemilik warung atau toko kelontong. Ada juga yang jadi tukang kredit. Segelintir totok meraih sukses, terutama yang menjadi ketua perkumpulan siang hwee, semacam kamar dagang dan industri. Menurut Twang Peck Yang dalam Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950, berbeda dengan THHK, siang hwee memiliki hubungan dekat dengan lingkaran kekaisaran dan kebijakan pemerintah China. Peran siang hwee dapat disamakan dengan konsulat China. Organisasi ini semacam unjuk kekuatan ekonomi dari kelompok totok.
Tjong A Fie termasuk totok yang berhasil. Orang Hakka kelahiran Kwangtung pada 1860 ini pindah ke Medan pada usia 15 tahun. Semula dia bekerja di toko kelontong. Dia lalu diangkat sebagai opsir Tionghoa berpangkat letnan sembari membangun bisnisnya. Dia menjalankan perkebunan tembakau, pabrik kopra, mengelola opium, menjalankan perjudian, membuka rumah bordil, dan mendirikan bank Tionghoa pertama di Indonesia (Deli Bank). Dia mempekerjakan orang-orang profesional dari Eropa di firma-firmanya. Pada 1920-an, krisis ekonomi menghantam imperium bisnisnya. Setelah dia meninggal pada 1921 pemerintah kolonial Belanda memperkirakan kekayaannya (di luar aset) sekitar 40 juta gulden. Imperium bisnisnya tak bisa dipertahankan. Sejumlah pengusaha Tionghoa juga mengalami kemunduran akibat krisis ekonomi.
Sementara A Fie hancur, kelompok totok lainnya justru melihat peluang bisnis akibat Depresi Besar. Mereka mengimpor barang-barang dari China. Jumlah pengusaha totok pun meningkat. Mereka umumnya berkecimpung dalam perdagangan dan industri di Jawa dan Sumatra. Bisnis kelompok totok pula yang berkembang ketika Jepang masuk, terutama melalui penyelundupan dan pasar gelap.
“Mereka ulet dan hemat, serta berani mengambil risiko. Selain itu, Jepang yang menggunakan huruf kanji lebih bisa berkomunikasi dengan orang totok,” ujar Eddie Lembong, mantan ketua Indonesia-Tionghoa (INTI) yang kini mendirikan Yayasan Nabil.
Sebaliknya, usaha milik peranakan kian terjepit. Sejak masa perang, banyak perusahaan Belanda menghilang. Firma-firma Tionghoa yang berafiliasi dan bergantung padanya ikut terkena imbasnya. Tapi secara umum, bisnis kelompok Tionghoa berada di ambang ketidakpastian dan keterbatasan akibat paksaan dan peraturan pemerintah. Kerajaan bisnis Oei Tiong Ham relatif bisa melewati masa sulit ini karena penguasa membiarkan perusahaan ini berjalan, bahkan menjadi pemasok kebutuhan tentara Jepang.
Dalam istilah Onghokham dalam Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang, “Zaman keguncangan ini menciptakan golongan orang kaya baru, yang menggantikan orang kaya lama.”
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Pada 18 Desember 1639, Gubernur Jenderal Antonio van Diemen memberitakan kepada atasannya di Negeri Belanda, Heeren XVII, bahwa, “Saudagar Besar Cina Jan Con” telah meninggal dunia mendadak dengan meninggalkan kebangkrutan.
Jan Con adalah orang Tionghoa gelombang pertama yang lagi menyesuaikan hidup di Hindia. Sejak awal abad ke-17, gelombang imigran Tionghoa datang ke Hindia untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka menetap, membentuk komunitas, bahkan menikah dengan penduduk pribumi dan melahirkan keturunan –yang kemudian disebut peranakan. Mereka bekerja sebagai buruh, pedagang kecil, atau pedagang perantara.
Sebagai pedagang, mereka berpengalaman. Jaringannya luas dan terbentang meliputi seluruh Nusantara jauh sebelum VOC menguasai kawasan ini. Tak heran jika VOC, sekalipun ingin memonopoli perdagangan, tak bisa mengabaikan peran perekonomian mereka, terutama untuk memasok barang-barang komoditas.
Bisnis kelompok Tionghoa juga naik-turun, tergantung situasi politik di Negeri Tiongkok dan perubahan kebijakan politik penguasa di Hindia. Kaisar pernah melarang pelayaran dan perdagangan ke seberang lautan. Tapi ini tak menyurutkan orang-orang Tionghoa, dengan modal sendiri, untuk tetap berdagang.
Jan Con mula-mula bekerja di bawah kekuasaan Banten, kemudian beralih ke Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), persekutuan dagang Belanda, di Batavia. Con mendapat pinjaman lahan, jadi pemasok kayu dan kontraktor untuk pembangunan kota Batavia, pemungut pajak, jadi juru runding bagi VOC dengan Banten, dan mendirikan pabrik gula dan garam. Kontan dia jadi pengusaha kaya tapi utangnya kian menumpuk. Kepada Kompeni saja, tunggakannya mencapai 27.500 real. Harta miliknya pun disita.
Sejak kematiannya, penguasa lebih berhati-hati dalam berurusan dagang dengan orang Tionghoa. Sebaliknya, orang Tionghoa mulai berpikir bagaimana kepentingan bisnisnya terlindungi sekaligus terjamin.
“Dia hidup dalam zaman pelopor, tatkala ketertiban masyarakat dalam arti penyelenggaraan keamanan bagi pribadi dan harta miliknya masih dalam proses pembentukan,” ujar Leonard Blusse, yang menulis kisah Jan Con dengan apik dalam Persekutuan Aneh.
Hubungan VOC dengan kelompok Tionghoa tidaklah selalu mulus. Sejarah mencatat bagaimana VOC membatasi gerak dan usaha mereka, bahkan melakukan genosida. Pada 1799, VOC bangkrut karena korupsi, dan pemerintah Belanda menggantikannya. Posisi kelompok Tionghoa tetap penting, terlebih ketika pemerintah mengambil kebijakan liberalisasi perdagangan. Di industri gula, Oei Tiong Ham pernah jadi yang tersukses.
Ayah Tiong Ham, Oei Tjie Sien, bermigrasi dari Fukien ke Semarang pada akhir 1850-an. Dia memulai bisnis gula beberapa tahun kemudian dengan nama Kian Gwan, dan sukses. Tiong Ham, yang lahir di Semarang, kemudian memimpin bisnis keluarga ini dan menjadinya kelompok bisnis terbesar di Asia Tenggara. Pada 1930, kelompok ini memiliki cabang di sejumlah negara, lima pabrik gula, perusahaan pelayaran, bank pertama di Jawa, perusahaan konstruksi dan real estate, dan perusahaan pergudangan besar yang beroperasi di sejumlah wilayah di Jawa. Pada tahun itu asetnya lebih dari ƒ.80 juta.
Sejumlah Tionghoa lainnya, terutama peranakan, juga berhasil mendapat status ekonomi yang tinggi. Penguasa Belanda memberi dukungan berupa modal dan kepercayaan. Bisnis mereka masih bersifat lokal, dan umumnya ditangani oleh keluarga. Sementara kelompok totok, lahir di China dan tinggal di Indonesia, masih tertinggal dari peranakan.
Ironisnya, kedua kelompok Tionghoa itu memandang rendah satu sama lain, karena perbedaan bahasa, sejarah perpindahan, proses asimilasi, dan kesenjangan ekonomi. Gerakan pan-China di Hindia Belanda, melalui Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), sempat menyatukan keduanya. Tapi kebijakan baru Belanda kembali memecah-belah komunitas Tionghoa, yang lebih menguntungkan kelompok peranakan.
Kelompok totok umumnya berbisnis jual-beli eceran di Jawa dan Sumatra. Kebanyakan pemilik warung atau toko kelontong. Ada juga yang jadi tukang kredit. Segelintir totok meraih sukses, terutama yang menjadi ketua perkumpulan siang hwee, semacam kamar dagang dan industri. Menurut Twang Peck Yang dalam Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950, berbeda dengan THHK, siang hwee memiliki hubungan dekat dengan lingkaran kekaisaran dan kebijakan pemerintah China. Peran siang hwee dapat disamakan dengan konsulat China. Organisasi ini semacam unjuk kekuatan ekonomi dari kelompok totok.
Tjong A Fie termasuk totok yang berhasil. Orang Hakka kelahiran Kwangtung pada 1860 ini pindah ke Medan pada usia 15 tahun. Semula dia bekerja di toko kelontong. Dia lalu diangkat sebagai opsir Tionghoa berpangkat letnan sembari membangun bisnisnya. Dia menjalankan perkebunan tembakau, pabrik kopra, mengelola opium, menjalankan perjudian, membuka rumah bordil, dan mendirikan bank Tionghoa pertama di Indonesia (Deli Bank). Dia mempekerjakan orang-orang profesional dari Eropa di firma-firmanya. Pada 1920-an, krisis ekonomi menghantam imperium bisnisnya. Setelah dia meninggal pada 1921 pemerintah kolonial Belanda memperkirakan kekayaannya (di luar aset) sekitar 40 juta gulden. Imperium bisnisnya tak bisa dipertahankan. Sejumlah pengusaha Tionghoa juga mengalami kemunduran akibat krisis ekonomi.
Sementara A Fie hancur, kelompok totok lainnya justru melihat peluang bisnis akibat Depresi Besar. Mereka mengimpor barang-barang dari China. Jumlah pengusaha totok pun meningkat. Mereka umumnya berkecimpung dalam perdagangan dan industri di Jawa dan Sumatra. Bisnis kelompok totok pula yang berkembang ketika Jepang masuk, terutama melalui penyelundupan dan pasar gelap.
“Mereka ulet dan hemat, serta berani mengambil risiko. Selain itu, Jepang yang menggunakan huruf kanji lebih bisa berkomunikasi dengan orang totok,” ujar Eddie Lembong, mantan ketua Indonesia-Tionghoa (INTI) yang kini mendirikan Yayasan Nabil.
Sebaliknya, usaha milik peranakan kian terjepit. Sejak masa perang, banyak perusahaan Belanda menghilang. Firma-firma Tionghoa yang berafiliasi dan bergantung padanya ikut terkena imbasnya. Tapi secara umum, bisnis kelompok Tionghoa berada di ambang ketidakpastian dan keterbatasan akibat paksaan dan peraturan pemerintah. Kerajaan bisnis Oei Tiong Ham relatif bisa melewati masa sulit ini karena penguasa membiarkan perusahaan ini berjalan, bahkan menjadi pemasok kebutuhan tentara Jepang.
Dalam istilah Onghokham dalam Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang, “Zaman keguncangan ini menciptakan golongan orang kaya baru, yang menggantikan orang kaya lama.”
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email