Ilustrasi
Oleh: Sumanto Al Qurtuby
Sistem politik pemerintahan Islam itu tidak ada. Kalau sistem politik pemerintahan yang digali dari pemahaman dan penafsiran atas sejumlah ayat, teks dan diktum politik dalam Al-Qur’an maupun Hadis, atau “praktik kenabian”, itu baru ada. Hampir semua negara berpenduduk mayoritas Muslim dewasa ini mengklaim sistem politik pemerintahannya bersumber dari, berdasar atas, atau sudah sesuai dengan norma-norma ajaran dan Syariat Islam.
Kalau yang disebut dengan “sistem politik pemerintahan Islam” itu adalah sebuah sistem politik pemerintahan yang bersumber dari, berdasar atas, atau sesuai dengan ajaran-ajaran normatif Islam, maka hampir semua sistem politik-pemerintahan di dunia ini, termasuk sistem sosialis-komunis sekalipun, adalah “Islami” karena bisa dicari rujukannya dalam teks-teks keislaman. Negara Pancasila juga sangat Islami dan Qur’ani karena semua silanya berbasis kuat pada ayat-ayat Al-Qur’an dan ajaran normatif Islam.
Karena tidak ada sistem politik pemerintahan yang baku itulah mengapa sejak dulu umat Islam berbeda-beda dalam mengatur sistem politik dan mengelola pemerintahannya. Kalau ada sistem yang baku serta juklak dan juknis yang jelas, umat Islam tentu tidak ada yang berlainan dalam menentukan sistem politik dan mengelola pemerintahan mereka. Kenyataannya tidak.
Para sahabat pengganti nabi, era Khulafaur Rasyidun, dulu ada yang menerapkan sistem wasiat atau penunjukkan, sistem musyawarah, atau sistem formatur misalnya untuk memilih pemimpin mereka. Masing-masing didasarkan pada mekanisme yang dianggap paling baik dan membawa manfaat untuk umat, meskipun belakangan kisruh karena ada sejumlah sahabat nabi yang tidak terima.
Kemudian setelah era Khulafaur Rasyidin selesai, Islam memasuki zaman khilafah. Dulu, dunia Islam pernah memiliki sejumlah khilafah, baik yang besar maupun yang kecil: Umayyah, Abassiyah, Andalusiyah, Fatimiyyah, Turki Usmani, Saljuk, Buyid, Mamluk, dlsb.
Tapi harus diingat, sistem khilafah dulu itu malah tidak Islami sama sekali karena mengadopsi sistem monarkhi di zaman pra-Islam dengan mekanisme “raja diraja”. Namanya saja pakai Bahasa Arab “khilafah” atau “daulah”, tapi isinya adalah sistem dinasti. Dengan kata lain, “kutangnya merk khilafah, susunya berbentuk emperium atau kerajaan”.
Bahkan sejumlah pendirian khilafah itu sebetulnya adalah produk perang berdarah-darah antarsuku/etnis/klan sesama Muslim (misalnya klan Bani Hasyim versus bani Umayyah, Arab versus Berber; Arab versus Persi; Kurdi versus Persi dan seterusnya). Turki Usmani atau Daulah Usmaniyyah dulu juga didirkan oleh kepala suku Oghuz Turki bernama Usman.
Yang menarik dari Turki Usmani ini adalah dalam penerapan sistem hukumnya. Turki Usmani atau Ottoman bukan hanya menerapkan hukum syariat tapi juga hukum sekuler (Kanun). Sistem peradilannya juga ada tiga: sistem peradilan untuk Muslim, sistem peradilan untuk non-Muslim yang memberlakukan Hukum Kanon Kristen dan Halakha Yahudi, dan sistem peradilan untuk masalah perdagangan.
Menariknya, ketiga sistem peradilan ini bukan diatur oleh Syariat seperti yang banyak dipahami atau disalahpahami orang tetapi oleh Kanun, yaitu sistem hukum sekuler yang bersumber dari Tore (sistem hukum pra-Islam di Timur Tengah) dan Yassa atau Yasser, sebuah kode hukum rahasia ciptaan Jenghis Khan yang dulu digunakan untuk mengatur sistem peradilan dan pemerintahan Emperium Mongol.
Jabal Dhahran, Arabia
(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email