Ilustrasi
Oleh: Ahmad Munjid
Beda dengan Kristen yang memahami wahyu (revelation) sebagai Inkarnasi (Firman yang mengejawantah dalam diri Yesus), dalam Islam wahyu adalah Komunikasi, “Firman yang menyapa manusia melaui bahasa”. Kitab Suci sebagai wujud simbolik wahyu sangat sentral dalam Islam. Sejak masa Islam awal, menghafal al Qur’an punya kedudukan sangat terhormat dalam masyarakat Islam. Mereka mendapat perlakuan khusus sebagai para penjaga Firman Tuhan, khususnya dalam urusan keagamaan.
Tapi meluasnya pemberian privelese di Indonesia terhadap para penghafal al Qur’an, seperti perlakuan istimewa untuk masuk tanpa tes ke program studi yg disiplin ilmunya tak terkait langsung dengan kompetensi hafalan al Qur’an dan di PTN (yg sebagian besar biaya operasionalnya menggunakan uang publik) pula adalah tindakan lebay yg salah arah. Hafalan Qur’an adalah kompetensi, tapi yg kompeten hafal Qur’an tidak berarti kompeten utk semua bidang ilmu, bahkan bidang ilmu agama Islam sekalipun. Jika privelese tentang kompetensi kitab suci itu diberikan di PTN, apa hal yang sama juga berlaku untuk yang beragama bukan Islam? Lagian, hafalan kitab suci memang bukan tradisi di luar Islam juga, karena pengertian tentang wahyu yang beda itu tadi. Lalu apakah kebijakan ini artinya semacam affirmative action? Masak affirmative action kok untuk mayoritas? Yang bener saja.
Selain itu, apa jadinya kalau kemudian banyak orang Islam yang mendorong anaknya untuk hafal Qur’an tapi dengan motif sangat duniawi, misalnya biar jadi dokter, biar jadi insinyur, lulusan PTN terbaik, yang ujung-ujungnya biar mendapat pekerjaan terbaik dan bergaji besar? Lah…. Jadi dokter, insinyur dll dan bergaji besar tentu baik dan gak salah. Hafal Qur’an tentu mulia. Tp kalau mau menghafal Qur’an dengan tujuan itu dan lalu minta atau diberi privelese, tak bersaing fair dengan orang-orang lain untuk mempertunjukkan kemampuan kompetensi dasar ketika masuk, ya dodol. Kenapa? Yang sebetulnya eligible utk diterima bisa jadi harus tersingkir karena jatahnya diambil, sementara yang mungkin sekali tidak eligible justru masuk dan mengambil jatahnya yang eligible. Nanti jangan-jangan bakal ada usulan kelompok yang diangkat khusus dari para penghafal Qur’an di parlemen, di kantor-kantor dan lembaga lain? Bagaimana orang-orang terbaik di bidangnya akan bisa benar-benar muncul kalau pengaturannya begini terus? Lha yang di kampus saja mikirnya begitu?
Jangan lupa, sekarang ini makin banyak sekolah dan pesantren baru bersponsor Wahabi yg mencetak para penghafal al Qur’an. Jika wahabisme, niat bengkok hafalan Qur’an demi tujuan duniawi, ketakadilan sistem seleksi, sampai inkompetensi lulusan yg kemudian kelak akan menghandle urusan publik kita, kemana kehidupan bersama kita mau diarahkan?
Banyak tindakan yang tampaknya sangat religius, tapi sebetulnya semua adalah urusan duniawi. Begitu pula banyak hal yang disangka hanya bermuatan dunia, ternyata ia justru sangat religius.
Kita sedang berada di gelombang pasang kecenderungan yang pertama. Bagaimana sodara-sodara?
(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email