Buni Yani mengatakan dirinya sebagai korban ketidakadilan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Buni Yani mengaku kecewa karena dirinya, yang lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat dan lulus dengan predikat cum laude, dibui.
"Kita anggap saat ini bangsa Indonesia dalam keadaan darurat, jadi perlu pemimpin yang baru. Terutama soal keadilan, keadilan itu sekarang sangat pincang. Jadi Pak Jokowi hanya mengurus relawannya saja, sama orang yang mendukung dia," kata Buni Yani di kediaman eks Panglima TNI Djoko Santoso, Jalan Bambu Apus Nomor 100, Jakarta Timur, Jumat (14/9/2018).
Buni Yani menuturkan Jokowi tak mengurusi kelompok masyarakat yang bukan pendukungnya. Buni Yani merasa tak bersalah atas kasus hukum yang menjeratnya terkait pengunggah potongan video pidato eks Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
"Pihak yang tidak mendukung beliau tidak pernah diurus. Kami kan rakyat Indonesia juga. Bayangkan saja saya sudah dua tahun begini. (Saya) nggak ada salahnya. Namanya pakar hukum pidana mengatakan pada bulan Oktobet 2016 tidak ada unsur pidananya unggahan saya," ujar Buni Yani.
"Tetap saja saya jadi tersangka dipidana. Coba bayangkan saja saya ini tamat cum laude di Amerika Serikat, dibeginikan coba. Pengacara saya itu puluhan, 50 sampai 60 orang. Saya orang berpendidikan, saya tahu soal-soal begini dan dibeginikan oleh rezim ini. Jadi itu yang saya lawan, soal keadilan," ujar dia.
Sontak saja statemen Buni Yani soal cum laude viral dan sampai juga di telinga teman sekampusnya.
Akun Ezky Suyanto lantas membeberkan kebohongan buni yani dengan menuliskan caption, Gue di block sama Buni Yani..kasih tahu dia jangan bohong gue kan lulusan Ohio University juga..dia bohong cum laude!! Kalau berani suruh dia bicara di depan semua alumni..kayak cuma dia aja lulusan OU..weekkkk
Cuitan Ezky Suyanto pun viral dan jadi pergunjingan netizen. Buru-buru Buni Yani pun memberikan klarifikasi sebagai berikut:
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kawan-kawan wartawan yang telah meliput berita seputar masalah Pemilu dan rencana saya membantu tim sukses pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Hari Jumat, 14 September 2018 saya mengikuti deklarasi Melati Putih Indonesia (MPI) yang memberikan dukungannya pada pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Di sela-sela acara itu sejumlah wartawan meminta konfirmasi mengenai rencana bergabungnya saya ke timses yang insyaallah akan diketuai oleh Pak Djoko Santoso.
Saya meminta kawan-kawan wartawan untuk menanyakan hal ini langsung ke Pak Djoko oleh karena beliaulah yang bisa menjawabnya. Saya tidak punya kapasitas untuk memberikan jawaban yang pasti. Namun seperti saya tegaskan berulang-ulang, karena saya sudah berjuang hampir dua tahun ini untuk bebas dari jerat hukum yang telah merenggut kebebasan saya dan tentu saja telah membuat keluarga saya sangat menderita, maka saya wajib mendukung Pak Prabowo-Sandi Uno.
Saya katakan pemerintahan yang sedang berkuasa telah melakukan kriminalisasi terhadap diri saya dan aktivis Islam lainnya serta ulama. Untuk menunjukkan hilangnya keadilan selama rezim Jokowi berkuasa, maka saya katakan, saya saja yang tamat "Cum Laude" di Amerika dan didampingi 50-60 pengacara bisa dikriminalisasi oleh rezim ini.
Saya mengambil posisi komparasi esktrem ini untuk menunjukkan telah hilangnya keadilan di negeri kita. Yang ingin saya katakan dengan kalimat di atas adalah orang berpendidikan saja yang didampingi oleh banyak penasihat hukum nasibnya bisa sangat naas dan tragis seperti yang saya alami, apalagi kalau menimpa saudara-saudara kita sebangsa-setanah air yang tidak berpendidikan dan tidak punya pengacara. Kondisi ini hanya bisa terjadi di negeri yang keadilannya telah hilang.
Itulah poin yang ingin saya sampaikan. Namun rupanya cara penyampaian saya kurang mengena. Pada malam harinya Detik Dot Com menulis berita dari hasil wawancara ini dengan judul "Serang Jokowi, Buni Yani Pamer Cum Laude di AS".
Saya ingin mengklarifikasi judul berita ini yang sangat tendensius. Pertama, saya tidak menyerang Pak Jokowi karena yang saya katakan adalah fakta yang juga dirasakan oleh jutaan rakyat Indonesia dari kubu oposisi. Kedua, saya tidak memamerkan apa pun, karena bukan itu tujuan saya. Saya gunakan cara ini (yaitu perbandingan yang ekstrem) untuk membuat kondisi yang saya alami dan rekan-rekan aktivis Islam serta ulama menjadi gampang dipahami oleh khalayak. Ketiga, saya juga ingin mengklarifikasi dan meminta maaf bahwa penggunaan kata "Cum Laude" sesungguhnya kurang tepat. Kurang tepat oleh karena meskipun GPA (IP Kumulatif) saya ada di di antara kisaran 3,500 - 3,749, tapi ini tidak berlaku untuk program Master (S2) di Ohio University (tempat saya kuliah). Nilai dengan kisaran tersebut memang mendapatkan predikat kelulusan "Cum Laude" tetapi hanya untuk lulusan S1 (Undergraduate). Keempat, seharusnya wartawan dan editor Detik Dot Com memahami kasus saya dan hasil persidangan selama lima bulan di Pengadilan Negeri Bandung sebelum menulis berita. Saya tidak dihukum karena "terbukti melawan hukum mengunggah video di akun Facebook-nya tanpa izin Diskominfomas Pemprov DKI" seperti ditulis Detik, tetapi karena dianggap oleh majelis hakim telah membuat video menjadi terpotong karena mengunggah potongan selama 30 detik yang saya dapatkan dari fanspage Media NKRI.
Untuk poin keempat, saya perlu memberikan informasi tambahan. Bahwa alasan majelis hakim menghukum saya 1,5 tahun penjara sangat mengada-ada. Dari mana logikanya orang yang meng-upload potongan video yang sudah 30 detik dianggap mengurangi video aslinya? Logika hakim sangat tersesat dan dipaksakan. Karena itulah saya dan penasihat hukum melanjutkan perlawanan hukum dengan mengajukan banding dan kasasi.
Selama lima bulan persidangan berlangsung, tidak seorang pun dari jaksa maupun hakim bisa membuktikan bahwa sayalah yang memotong video panjang dari Diskominfomas Pemprov DKI, karena memang saya mendapatkannya dari fanspage Media NKRI. Tetapi karena jaksa dan hakim terus memaksakan kehendak pokoknya saya harus salah tanpa mempertimbangkan fakta persidangan, maka persidangan sesat itu terus dilanjutkan.
Karena logika penegak hukum yang waras sudah tidak berlaku lagi dalam persidangan zalim itu, maka saya berulangkali melakukan sumpah mubahalah. Bunyinya, "bila saya benar memotong video itu, maka saya siap diazab dan dilaknat saat itu juga oleh Allah SWT, tetapi bila saya tidak memotong video itu, maka saya memohon kepada Alllah SWT untuk mengazab dan melaknat orang yang menuduh saya".
Demikian klarifikasi dari saya, semoga penjelasan ini bisa membuka wawasan para wartawan khususnya mengenai kasus hukum yang selama ini mencelakai saya secara kejam. Bila para wartawan sungguh-sungguh ingin melakukan invesitagasi atas kasus ini, saya dengan senang hati bisa menunjukkan dokumen pengadilan dan memberikan penjelasan.
Terima kasih.
Hormat saya,
Buni Yani
(Detik/Berita-Terhebog/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email