Mekkah Dahulu Mekkah Kini

Mekkah di masa dahulu dan masa kini memang jelas berbeda. Mekkah kini berbeda dan menjadi kota moderen. Salah satu cirinya adalah munculnya puluhan terowongan untuk akses jalan dan dibangunnya Masjdil Haram dan berbagai hotel di sekelilingnya.

Pada pemandangan Mekkah di masa lalu, di situ terlihat berbagai perbukitan yang terdiri dari pasir dan batu. Namun pada masa kini, terutama perbukitan di sekitar Masjidil Haram suda tak ada lagi, berganti dengan aneka bangunan gedung dan hotel yang bertingkat tinggi.

Dan hal tersebut tentu berbeda suasananya dengan pemandangan Mekkah masa lalu yang masih serba sederhana khas kota di tengah gurun Arabia. Bahkan Mekkah sendiri punya arti lain yakni sebagai sebuah kota yang disebut ‘Bakah’, yakni sebuah tempat yang berada di wilayah pedalaman.

Guru besar falsafah dan kebudayaan Islam Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM, mengisahkan keberadaan Mekkah pada zaman dahulu yang serba sederhana itu. Lazimnya kota di tengah padang pasir dan perbukitan batu, Mekkah memang dahulu bukan kota gemerlap. Bahkan, sejak dahulu sudah kalah nyaman dengan Madinah yang terkesan lebih nyaman dan penduduknya lebih ramah.

“Mekkah pada tempo dulu. Masih tampak bukit-bukit di sekelilingnya. Menurut penyair Arab abad ke-11 M, seperti diutarakan kritikus sastra Abdul Qahir al-Jurjani, pada musim haji yang tampak di lembah-lembah sekeliling Mekkah adalah punggung-punggung unta. Mereka datang dari negeri-negeri jauh,’’ kata Abdul Hadi WM.

Menurut Abdul Hadi, oleh karena itu bagi banyak sekali orang yang selalu berkunjung dari berbagai tempat, Ka`bah yang ada di Mekkah disebut juga rumah terjauh. Apalagi di kota Mekkah ini para pemeluk Islam dari berbagai kaum, etnik dan bangsa berkumpul dan lebur menjadi satu.

“Sejak zaman dahulu kala semua bangsa melebur satu di Mekkah. Di sana tidak ada lagi Arab, Persia, Turki, Melayu, Jawa, Negro, Kurdi, Berber, Mongol, Cina, India, dan lain sebagainya. Syiah, Sunni, NU, Muhamadiyah atau SI. Semua tidak lagi jadi perhitungan. Yang penting kalau berhaji di Mekkah mereka mabrur,’’ujarnya lagi.

Jadi, Abdul Hadi menegaskan, sewaktu berada di Mekkah dan di depan Ka`bah semua jamaah haji tanpa kenal ras dan bangsa adalah merupakan tamu Allah. Namun sebagaimana di kawasan jazirah Arab, di sana ada Syiah, Wahabi, dan Aswaja, begitu juga, di Indonesia dan Turki. Hebatnya lagi, dalam peribadatan seperti shalat dan doa umat Islam memang hanya megggunakan satu bahasa, yakni bahasa Arab. Padahal bukan satu bangsa dan bukan satu nusa.

“Persatuan Islam dan persaudaraan Muslim diikat oleh tauhid, yaitu kesaksian bahwa Tuhan adalah satu. Karena itu sebenarnya dalam Islam tidak diperkenankan Muslim menolak Muslim lain hanya karena beda etnik, bangsa dan paham keagamaan. Namun demikian usaha memecah belah Islam sudah lama dilakukan, mungkin setua sejarah Islam itu sendiri. Dan itu dilakukan oleh mereka yang tidak senang orang Islam bersatu,’’ katanya.

Terkait dengan Mekkah, Ka’bah, dan persatuan Islam kemudian Abdul Hadi menyitir sebuah kazanah lama Islam tanah Melayu yang pada zaman dahulu akrab disebut ‘Jawi’ atau juga yang kini bernama Indonesia. Dia adalah Hamzah Fansuri yang seorang ulama dari Barus (Fansuri adalah sebutan orang untuk Barus dan juga Pancur).

Ulama ini menulis dalam syairnya begini:

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah

Mencari Tuhan di Baitil Ka’bah

Di Barus ke Quds terlalu payah

Akhirnya dijumpa dalam rumah

“Rumah dalam syair Fansuri artinya ialah Ka’bah. Alias rumah Tuhan. Rumah Tuhan ada di Mekkah dan dalam hati manusia. Disebut Bayt al-Ma`mur,’’ tegas Abdul Hadi.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)